CHAPTER 12

1163 Kata
"Ngapain lo ke sini?" Ujar Abi ketus begitu Argio masuk ke dalam kamarnya. Ia tengah membersihkan luka di tangannya. "Bisa nggak kita ngomong baik-baik?" Abi tak menjawab. "Ada apa? Kenapa sampai ada keributan besar di rumah Om Gunawan?" tanya Argio. Abi menyeringai. "Apa perduli lo?" Argio menghela napas. Bukan hal baru baginya mendapat respon tak bersahabat dari Abi. Itu sudah semacam bagian dari hidupnya. "Kalau ada masalah jangan dipendam sendiri.." ujar Argio. Abi langsung menoleh pada kakaknya itu. "Apa lo sedang bersikap jadi kakak yang baik sekarang?" Argio mengepal tangannya. Menahan sekuat tenaga amarahnya. Melawan Abi tidak bisa dengan amarah. Hanya akan membuat suasana menjadi semakin buruk. "Gue perduli sama lo, Bi. Apa lo nggak bisa sekali aja lihat niat baik gue?" tanya Argio putus asa. Abi tertawa sumbang. Ia kembali mengobati luka di tangannya. "Mending urus aja hidup lo sendiri. Nggak usah urus hidup gue. Sikap lo nggak akan merubah apa-apa. Jangan lupa, lo yang udah hancurin hidup gue." Abi menatap luka di telapak tangannya itu. Ia seolah tengah memikirkan sesuatu. "Udah bagus gue nggak anggap lo penyebab ini semua." Argio tertegun. Seperti ada yang ingin ia ucapkan. Tapi sampai akhir Argio pilih diam kemudian keluar dari kamar Abi. "Apa maksud kata-kata Abi tadi?" Ternyata Cenilaa ada di sana. Menunggu di depan kamar Abi. Dan Cenilaa mendengar semuanya. Seperti disihir, Argio langsung tersenyum. Semua amarah tadi seolah lenyap ditelan bumi. Ia usap punggung Cenilaa. "Biasa, pertengkaran kakak-adik. Nggak usah diambil hati." Kening Cenilaa mengerut. "Pertengkaran kakak-adik? Tapi kalimat Abi tadi itu—" "Sayang.." Argio menatap Cenilaa. "Itu biasa. Kamu aja yang kakak-adik kandung sama Tayra sering berantem. Apalagi aku sama Abi yang beda Ibu." Cenilaa tau itu semua, tentu saja. Ia juga tau bagaimana hubungan Abi dan Argio. Tapi Cenilaa merasa ada yang aneh. Ia yakin kata-kata Abi tadi tidak hanya sekedar kalimat marah Abi seperti biasa. Cenilaa yakin ada sesuatu lain. Sesuatu yang dirahasiakan Argio dari dirinya. Tapi apa? "Yuk. Mending kita berangkat sekarang. Ntar macet.." Argio genggam tangan Cenilaa. Perempuan itu pandangi tunangannya sebentar. Akhirnya ia hanya bisa pasrah dan mengikuti Argio. ... "Apa maksud kamu, Abi?" Kali ini terlihat jelas kalau Ram marah. Rahangnya mengeras dan wajahnya memerah. Abi tidak gentar sama sekali. Masih duduk dengan tenang di hadapan sang ayah. "Abi nggak akan menikah sama Tayra," ulang Abi mantap. "Jangan sembarangan kamu!" Ram meledak. "Ini bukan main-main Abi. Ini bukan masalah sepele seperti apa yang kamu lakukan setiap hari." "Abi tau, Pi." "Terus kenapa kamu bisa bicara begitu?! Kamu nggak bisa seenaknya lepas tanggung jawab! Mau taruh di mana muka Papi?! Apa yang akan Gunawan dan Erika katakan nanti?!" Abi menghela napas, menatap sang ayah dengan ekspresi serius. "Pi, ini bukan hanya masalah malu dan nama keluarga besar." "Terus apa alasan kamu?! Dan apa yang terjadi tadi?!" Ram sama sekali tidak menurunkan nada suaranya. "Abi lakuin ini justru untuk kebaikan kita semua." "Kebaikan?" Ram mendecih. "Sejak kapan kamu perduli sama kebaikan orang lain? Kamu hanya perduli diri kamu sendiri," cibir Ram. Tangan Abi mengepal. Inilah kenapa Abi hampir tak pernah bicara dengan ayahnya. Entah kapan terakhir kali mereka bisa bicara dari hati ke hati. Abi lupa kapan terakhir kali ayahnya itu bisa mengerti isi hatinya. "Papi benar. Abi emang nggak pernah mikirin orang lain. Abi cuma perduli sama diri Abi sendiri. Abi bahkan nggak perduli sama orang di rumah ini." Napas Abi menggebu-gebu. "Tapi Abi perduli sama Tayra!" Ram menaikkan sebelah alisnya. Kemudian seringaian halus muncul di sudut bibirnya. "Perduli kata kamu? Apa dengan tidak menikahinya itu bentuk dari rasa perduli kamu?" Abi berusaha keras menahan diri agar tetap tenang. "Pokoknya keputusan Abi udah bulat. Abi nggak akan menikahi Tayra. Papi nggak bisa paksa Abi." "Abi!" Abi bersiap bangkit dari duduknya. "Abi akan tanggung jawab dengan cara Abi sendiri. Abi harap Papi nggak ikut campur." Kemudian Abi meninggalkan ruang kerja ayahnya itu. Jika saja Abi tidak melihat bekas luka di leher Tayra tadi, mungkin Abi masih akan bersikeras untuk menikahi Tayra. Tapi dari bekas luka itu Abi yakin Tayra tidak sekedar mengancamnya saja. Kemungkinan Tayra memang sudah berencana untuk bunuh diri. Bagaimana bisa Abi biarkan itu? ... Keluarga Tayra gempar, tentu saja. Siapa yang akan terima jika anaknya tidak dinikahi padahal sudah hamil. Untungnya Gunawan bukan jenis orang yang hot temper jadi dia tidak layangkan tinju atau pukulan apapun pada Abi. Ia dengan sabar dengarkan semua yang Abi sampaikan. Termasuk janji dan jalan keluar yang Abi sertakan saat membatalkan rencana pernikahannya dan Tayra. Tapi itu tidak mudah bagi Erika. Bagaimanapun Tayra adalah anak perempuannya. Erika paham bagaimana bebasnya kehidupan anak muda jaman sekarang. Tapi masalahnya Tayra hamil. "Please, percaya sama Abi, tante. Abi pasti akan pegang janji Abi." "Terus kalian mau bagaimana kalau tidak menikah?" tanya Erika putus asa. "Abi yang akan urus itu. Tapi untuk menikah saat ini, Abi benar-benar nggak bisa." Abi ingin katakan alasan sebenarnya ia membatalkan rencana itu. Tapi Abi merasa tidak tepat. Ia takut orang tua Tayra tidak mengerti kondisi Tayra dan semakin mendesak Tayra. Itu bisa berakibat sangat fatal. "Apa Om bisa pegang janji kamu, Abi?" Gunawan buka suara. Abi mengangguk mantap tanpa keraguan. Gunawan menarik napas pelan. "Baiklah," katanya akhirnya. Erika melotot namun akhirnya pasrah. "Om pegang janji kamu." Abi tersenyum. "Terimakasih, Om." ... "Kenapa leher lo, Tay?" tanya Karin. Tayra sudah kembali kuliah sejak dua hari lalu. "Oh, kejedot pas gue kepleset di kamar mandi." "Kejedot doang ampe diplester gitu?" "Males ntar banyak yang nyinyir ngira cupang." Karin tergelak. "Njir. Biasa juga.." Tayra pun ikut tertawa. Memang tidak ada yang tau. Hanya Minda dan Resha yang tau derita di balik tawa Tayra itu. "Lo hobi ke perpus? Bohong banget.." celetuk Resha. "Seumur-unur kenal lo gue cuma pernah lihat lo dua kali ke perpus.." Karin memanyunkan bibirnya. "Dua kali? Enak aja. Gue sering ke perpus. Lo aja yang nggak tau.." ia membela diri. "Liat tuh muka bohongnya. Sering ya? Iya, sering ngecengin cowok-cowok kan?" Tayra geleng-geleng melihat teman-temannya itu. Minda mendekat ke Tayra. "Habis ini mau hunting makanan nggak?" Bisiknya. "Hah? Ke mana?" "Resha tau tempat yang enak. Kata lo makanan khas Thai yang home made kan?" Tayra mengangguk. "Aman.." "Lo berdua bisik-bisik. Ayam tetangga hilang woy.." sembur Vanya. "Asal jangan burung tetangga aja yang hilang," balas Minda. Langsung saja tawa mereka berlima pecah. "Njir, Minda mainnya burung.." Tak jauh dari sana. "Berasa penguntit beneran gue," celetuk Jun. Ia dan Abi sedang berdiri di dekat sebuah pohon besar di ujung taman. Mereka tidak sedang bersembunyi. Tapi jelas mereka sejak tadi mengawasi kelompok Tayra yang sedang bersenda gurau di taman. "Sampai jam berapa nih mau di sini?" tanya Jun. Ponsel Abi bergetar. Pesan masuk. Ia membalas pesan itu. Abi kembali menyimpan ponselnya. "Dah yuk cabut. Gue mau ketemu Rinata dulu. Eh lo inget yang gue suruh tadi." Jun memutar bola matanya. "Iya iya. Gue bakal ikutin mereka dan pastiin Tayra sampai di rumah dengan selamat." Jun mengulang kalimat perintah Abi tadi. PERINTAH. "Pinter. Kan lo untung juga. Jangan pasang muka tertindas gitu. Gue tau lo nggak keberatan buat buntutin Minda, eh maksud gue mereka. Anggap aja ini balasan dari gue atas kerja keras lo." Abi mengedipkan mata dan menepuk bahu Jun. "b******k!" Maki Jun yang dibalas Abi dengan tawa. ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN