78. Terancam

1409 Kata
Randra terlihat sedang menelepon seseorang. "Ck! Ada apa dengan mereka?!" kesal Randra. Entah sudah berapa kali pemuda itu terus menerus menelepon nomor yang ia tuju, namun sepertinya sang empunya telepon tidak mengangkat. "Sialan," umpat Randra kesal. Pemuda itu melajukan kembali mobilnya membelah jalanan, malam-malam seperti ini seharusnya para anak buahnya memberi tahu atau melaporkan tentang keadaan dan kondisi tunangannya. Entah apa yang terjadi dengan pemuda 25 tahun itu, tapi hati dan pikirannya seperti sedang merasa gelisah. Drt drt drt Randra menoleh ke arah ponselnya, rupanya sang kakak dari tunangannya yang menelepon, segera ia menyambungkannya dengan earphone yang ada. "Hal--," "Sialan! Anak buah om Christian ada di tempat Momok!" Ciiiitttt "Argh!" Randra menghentikan mobilnya mendadak. "Apa?! Sialan!" marah Randra "Kau dimana?" Randra bertanya nyaring, ia tak sanggup menahan emosinya. "Aku baru saja menuju ke bandara, pesawat om Jamal akan berangkat setengah jam lagi, mungkin tidak sampai, Cika dan om Jamal sudah ada di pesawat," jawab Agil dari seberang. "Aku akan dengan jet pribadi!" Klik Panggilan diputuskan oleh Randra. Broomm broomm brooooomm Laju mobil sport putih itu melebhi diatas rata-rata, Randra menancapkan gasnya. Randra terlihat menekan angka sembilan pada ponselnya. Terdengar nada sambung di seberang. "Tuan non--," "Leo, siapkan jet pribadiku ke Singapura segera!" "Dalam persiapan, saya baru mendapat--," "Aku sudah tahu!" Klik Randra memutuskan panggilan itu, rupanya angka sembilan pada ponselnya tadi adalah panggilan cepat untuk Leo, sang anak buahnya. Leo juga mendapat kabar dari seorang anak buah Randra yang berada di bawahnya, di sela-sela kesibukan mereka yang mendadak akibat keadaan darurat, salah satu anak buah yang berada di rumah sakit menelepon Leo. "Laki-laki sialan!" "Lihat saja apa yang aku lakukan padamu!" "Tua bangka b******k!" "Tidakkah cukup dua kali dia ingin membunuh tunanganku?!" "Tidak akan ku biarkan!" "Tua bangka k*****t!" Sepanjang perjalanan ke landasan pacu udara, Randra mengumpat dan menyumpahi Christian. ♡♡♡ "Agil! Ayo cepat!" Cika menyeru kepada sepupunya. Ciiittt Cekrak Agil memarkirkan sembarangan mibilnya di dalam landasan pacu itu, dia bahkan meninggalkan mobilnya dalam keadaan terbuka tanpa mengambil kunci mobil sport itu. Tak Tak Tak Agil berlari ke arah pesawat paman kandungnya, dia dapat melihat sang sepupu perempuannya terus menyeru padanya agar cepat sampai. Tak Tak Tak Hap Agil menaiki tiga anak tangga sekaligus, dia sampai di dalam pesawat. "Om Christian tahu dimana Momok! Anak buah papa dan anak buah Randra sedang melakukan perlawanan!" ujar Cika panik. "Siap! Berangkat!" Terdengar perintah dari Jamaludin. Pesawat itu akan lepas landas, Agil memutarkan penglihatannya ke samping, ada seorang pemuda yang ia kenal sedang berlari memasuki sebuah jet pribadi terbaru. "Randra," gumam Agil. ♡♡♡ Perjalanan dari Jakarta-Singapura yang memakan waktu sekitar 1 jam 30 menit itu terlihat cepat dibandingkan seperti biasanya, pesawat jet pribadi milik Randra bahkan hanya menempuh waktu sekitar 1 jam 10 menit saja, sungguh mengagumkan. Bagaimana tidak, tuan muda Basri itu baru saja membeli peswat jet keluaran terbaru, tentu saja dengan harga yang fantastis. Tak Tak Tak Randra tak berjalan, melainkan pemuda itu melompat turun dari pesawat jet pribadinya. "Tuan muda, kami sudah mengamankan nona Moti," ujar salah satu anak buahnya dengan sigap. Randra terus melangkahkan kakinya cepat. Sret Hap Pemuda itu masuk ke dalam helikopter yang sudah di siapkan. Pemuda itu terlihat memakai headseat yang tersedia. "Bagaimana keadaan tunanganku?" Randra bertanya dengan raut datar dan dinginnya. "Dokter Hong dan dokter yang lainnya sudah menangangi nona Moti yang sempat drop akibat pencabutan selang pernapasan dan infusnya dicabut paksa dari beberapa orang yang tak dikenal yang memasuki ruang rawat nona Moti," jawab anak buahnya cepat. Tatapan Randra nyalang, rahangnya mengeras, entah apa yang harus dideskripsikan lagi tentang api kemarahan yang timbul dan berkobar di dalam jiwa dan hatinya. "Sialan," desis Randra. Beberapa menit kemudian Randra sampai di tempat tujuan. Tak Tak Tak Randra berjalan memasuki rumah sakit terbaik di Singapura itu, langkahnya menuju ke arah ruang rawat Moti. Dapat ia lihat juga banyak polisi lokal dan banyak bodyguard dari paman Moti yang sedang mangamankan rumah sakit itu. Terlihat juga ada pecahan kaca dari beberapa jendela di rumah sakit itu, garis polisi setempat terpasang manis di sekitar area kejadian. Bahkan sudah ada wartawan yang meliput secara langsung ditempat kejadian. "I am sorry mister, you can't enter in this area, where are--," "I am her fience, the patient on that's room is my fiences," sela Randra dingin. Terlihat salah satu anggota bodyguard Randra dan polisi yang mengenal Randra, mereka mendekat ke arah seorang detektif yang menahan Randra untuk masuk. Tak Tak Tak Mereka terlihat berbisik ke arah telinga sang detektif itu, sang detektif itu terlihat manggut-manggut, lalu ia melihat ke arah Randra dengan tatapan menyesal. "I am sorry, please come in." Ujar detektif itu. Tak Tak Tak Tanpa kata dan kalimat, Randra berjalan masuk ke ruang rawat yang sementara ini telah menjadi ruang rawat Moti. Ceklek "Pernasannya bagus. Nona Moti sempat sadar tadi, namun dia mengalami syok karena goncangan kejadian tadi," ujar dokter Hong cepat ke arah Randra. Tak Tak Tak Randra berjalan cepat ke arah Moti yang baru saja membuka matanya. Tak Tak "Moti!" panggil Randra khawatir. Moti melototkan matanya, mata yang lama tertutup itu memerah, ada genangan air disana. "R-ran! R-ran! Ahh--," "Nona, tenang! Bernapaslah!" ujar dokter Hong. Moti menggeleng-gelengkan kepalanya berulang-ulang. Gadis 23 tahun itu berusaha untuk menggapai Randra meskipun harus menahan sakit dan ngilu di seluruh sendi-sendi tulangnya. Hap Randra memeluk Moti, lelaki itu berusaha menenangkan Moti. "Ran...Ran...Ran...," Moti terus menerus menyebut nama Randra. "Sstt! Aku disini, Ran disini, tenanglah!" ujar Randra. "Huhh...aahhh...," Moti kesulitan bernapas. "Nona, tenanglah, tidak akan terjadi apa-apa lagi, tuan Randra sudah disini," ujar dokter Hong. "Tarik napas lalu hembuskan perlahan," pinta dokter Hong. Gleng Gleng Moti tetap menggelengkan kepalanya tanda takut, tubuh itu gemetaran hebat. "Leo!" panggil Randra. "Sisakan mereka untukku, apapun dan bagaimanapun caranya," desis Randra dingin. Leo mengangguk mengerti. Dia berjalan keluar dari ruang rawat Moti sementara, dia akan melaksanakan tugasnya. "Ran...Ran...Ran...haa...haaa...," Moti terengah-engah, ia tak kuat menahan panik dalam dirinya. "Moti...tenang sayang, aku disini, Ran-mu disini! Tidak akan ada yang bisa berbuat jahat padamu!" Randra semakin memeluk erat tubuh kekasihnya berusaha tanpa menyakiti tubuh sang kekasih yang masih terasa sakit dan ngilu. ♡♡♡ Tak Tak Tak Cika dan yang lainnya datang beberapa puluh menit kemudian. "Haa!" Cika melototkan matanya. "Hancur, pecah!" kaget Cika. Suasana di dalam dan di luar rumah sakit itu terlihat ramai oleh polisi-polisi dan tak lupa juga wartawan dan reporter. "Ini!" Cika menunjuk ke arah salah satu dinding rumah sakit yang masih tertancap beberapa buah peluru. Matanya melotot sempurna. Dug dug dug Jatung Agil bagaikan dicekik oleh tangan yang tak kasat mata. Jantung pemuda itu tak bisa berdetak seperti biasanya ia berdetak. Kepalannya mengerat, dalam hati dia terus berdoa kepada sang Maha Kuasa agar selalu melindungi adiknya. Tak Tak Tak Agil dan Cika berlari cepat ke ruang rawat Moti yang sementara. Sedangkan Jamal terlihat bercakap dengan seorang petinggi polisi yang berada di tempat itu. ♡♡♡ Ceklek "Momok!" seru Agil dan Cika bersamaan. Tak Tak Tak Randra menoleh ke arah Agil dan Cika. "Sstt!" isyarat Randra. Tak Sret Agil berhenti di tempat untuk sementara. Randra menunjuk ke arah pelukannya yang ada Moti, gadis itu baru saja tertidur, Randra tak henti-hentinya menenangkan dan membujuk Moti agar tenang. ♡♡♡ "Keterangan polisi dan beberapa orang lainnya menunjukan bahwa ini merupakan penyusupan dengan niat pembunuhan berencana," ujar Jamaludin membuka pembicaraan. Jam dua belas malam waktu Singapura. "Keberadaan Momok sudah diketahui oleh publik," lanjut Jamaludin. Agil mengangkat pandangannya. "Pelakunya om Christian kan?" tanya Agil berapi-api. Jamaludin terlihat menahan amarahnya. "Sialnya, pelaku yang berhasil ditangkap oleh bodyguardku dan Randra tutup mulut, mereka tidak memberikan keterangan apa-apa," ujar Jamaludin. Agil terlihat murka, tangan lelaki itu mencengkram kuat celana kerja yang ia pakai. Bahkan baju polisi saja belum sempat ia buka. "Bagaimana kita bisa membuktikan bahwa om Christian yang menyuruh mereka?" Cika berusaha memutar otaknya. "Serahkan itu padaku," ujar Randra datar. Semua mata mengarah ke arahnya. Randra terlihat sedang mengusap-ngusap ubun-ubun Moti. "Langkah kita yang pertama dan utama adalah mencabut dan membatalkan tuntutan dari teman ayahmu yang tidak berasalah, lalu setelah itu tuntut pria sialan yang bernama Christian itu," ujar Randra. "Tapi kita tidak bisa menggunakan satu saksi utama, Momok masih dalam keadaan lemah, memang dia bisa menjadi saksi di pengadilan nanti, tapi sesuai dengan ketentuan pidana bahwa satu orang saksi bukanlah saksi," sanggah Agil dengan perasaan kesal mercampur kecewa. Randra menaikan sebelah alisnya, lelaki itu terlihat tersenyum iblis. "Jangankan satu atau dua saksi yang bisa aku dapatkan, sepuluh saksipun akan duduk manis di kursi pengadilan nanti," ujar Randra dingin. Agil dan yang lainnya saling memandang. "Ini kejahatan internasional, melibatkan pihak Singapura dan Indonesia," ujar Agil. "Keberadaan Momok juga sudah diketahui, mungkin besok pagi-pagi sekali berita besar ini akan segera tersebar di Indonesia," ujar Cika. Jamaludin terlihat berpikir. "Dokter Hong," panggil Jamaludin. "Saya, tuan." Sahut Dokter Hong. "Bagaimana kondisi keponakan saya?" tanya Jamaludin. "Seperti yang sudah dijelaskan, kondisi nona Moti sebelumnya drop, namun berkat penanganan yang cepat, kondisinya kembali membaik, yang perlu diwaspadai adalah kondisi psikis nona Moti yang baru saja terguncang akibat kejadian tadi," ujar dokter Hong. Semua orang di ruangan itu manggut-manggut. "Pencabutan selang oksigen, infus dan alat-alat medis lainnya secara paksa tadi menyebabkan nona Moti syok, dia baru beberapa menit tersadar dari hampir tiga hari yang lalu ia drop akibat ingatannya kembali stabil, dan ditambah lagi dengan insiden tadi yang sempat diwarnai dengan aksi tembak menembak diantar bebera pihak, diantaranya polisi lokal disini, bodyguard tuan Baqi dan tuan Randra, dan orang-orang yang ingin mencelakai nona Moti," jelas dokter Hong. Agil terlihat mengangguk mengerti. "Jujur saja, sekarang ini yang ingin aku lakukan adalah ingin meledakan kepala orang itu," desis Agil dingin. "Saya sudah putuskan ini," ujar Jamaludin. "Pulangkan Momok ke Indonesia," lanjutnya. ♡♡♡
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN