77. Terungkap 3

1926 Kata
"Apa yang kau dapat?" Christian bertanya ke arah anak buahnya. "Satu minggu kemarin anak dari Mochtar dan keponakan beliau pergi ke Singapura," jawab anak buahnya. Christian menaikan sebelah alisnya. "Untuk apa Agil dan sepupunya pergi ke sana?" "Mereka terlihat mengunjungi rumah sakit National University Hospital, Tuan." Jawab sang anak buah. Christian menaikan sebelah alisnya. "National University Hospital?" gumam Christian. "Bukan hanya itu, menurut informan kita yang berada di rumah sakit disana, terlihat wakil panglima TNI yang sekarang juga terlihat disana," lanjut sang anak buah. Christian mendongak ke arah anak buahnya. "Kau yakin? Wakil panglima TNI yang sekarang?" "Ya, saya yakin." Jawab sang anak buah. "Anak perempuannya juga ada sana, ayahnya juga ada, dan sepupunya juga ada," ujar Christian. "Hmm...ada apa mereka ke sana?" tanya Christian sambil berpikir. "Kami tidak bisa mengakses informasi itu, tapi yang pastinya ada satu lantai dan ruang yang tidak diperuntukkan untuk umum, menurut informasi yang kita dapat, ada yang membayar cukup besar nilainya hanya untuk ruang itu dan sebagian lantai yang tidak bisa dimasuki oleh orang lain, hanya orang tertentu saja yang boleh,"  jelas sang anak buah. Christian terlihat mengerutkan keningnya, dia sedang berpikir. "Tidak bisa sembarangan orang masuk...itu berarti dijaga ketat...dia membayar mahal untuk sebagian lantai dan ruang itu?" gumam Christian. "Tapi...untuk apa?" Christian bertanya-tanya. "Ah, ada lagi, Tuan." Ujar anak buahnya. "Apa itu?" Christian mendongak ke arah anak buahnya. "Mantan tunangan dari putri Mochtar juga berada di rumah sakit disana dan sudah satu minggu ini tetap disana, dua hari yang lalu dia baru pulang ke Jakarta," jawab anak buahnya. "Mantan tunangan putri dari Mochtar?" "Bukankah itu...putra salah satu pengusah kaya? Basri?" Christian terlihat berpikir. "Untuk apa mereka beramai-ramai kesana? Hubungan mereka seharusnya putus atau tidak terjalin lagi selama lima tahun ini," Christian berpikir. "Kecuali jika...," ucapan Christian menggangtung. Matanya melotot. "Jika gadis itu masih hidup!" ♡♡♡ "Sayang, tunangan dari adik sepupumu itu dia gila," ujar Adam tiba-tiba. Cika yang sedang makan siang mendongak ke arah sang kekasihnya. "Randra?" Cika menaikan sebelah alisnya. Adam mengangguk berulang-ulang. Dia janjian dengan sang kekasih akan makan siang, namun Cika sudah tak sanggup menahan lapar yang menderanya. Alhasil, Cika duluan yang mengisi perutnya. "Dia memang gila, adik sepupuku baru kelas satu SMK saja dia sudah melamarnya, padahal kita belum lulus termasuk dia sendiri," ujar Cika. Adam membulatkan matanya. "Itu kan? Dia benar-benar tidak waras," heboh Adam. Cika hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. "Jika menyangkut Momok, memang dia tidak waras, bahkan dia saja hampir gila dan bunuh diri karena hilangnya Momok," ujar Cika sambil memakan makan siangnya. "Apa?!" Adam melotot kaget. Cika hanya tersenyum tipis melihat keterkejutan sang kekasih yang sudah tiga tahun ini menemani hari-harinya. "Pantas saja dengan mudahnya dia membuat pelaku penculik kalian membuka mulut dengan cara dia menyayat si pelaku itu diwakili oleh setiap keluarganya!" heboh Adam. "Uhuk! Buuufffff! Uhuk! Uhuk! Akh! Uhuk! Uhuk! K-kau, kau bilang apa?!" Cika tersedak nasi yang ia makan, gadis itu melotot lebar. "Astaga, sayang. Makan hati-hati, kenapa bajumu jadi penuh semburan nasi begini?" Adam melotot ke arah Cika, pemuda 30 tahun itu membersihkan butir-butir nasi yang tadi dikeluarkan oleh sang kekasih. Cika menggoyang-goyangkan kedua bahu Adam. "Kau bilang apa?!" "Randra apa?" "Dia kenapa?" Cika mendesak sang kekasih. "Satu-satu! Ini! Minum dulu!" pinta Adam sambil memberikan segelas air ke arah kekasihnya. Cika cepat-cepat menerima gelas air itu dan dia meninumnya. "Sudah," lapor Cika. "Sekarang jelaskan padaku, Randra, lelaki itu, apa yang dia lakukan?" Cika menuntut Adam agar menjelaskan. "Tadi pagi, Randra datang ke tempat penahanan pelaku yang menculikmu dan yang lainnya," jawab Adam. Cika mengangguk. "Lalu?" "Dia menemui pelaku yang waktu itu kau pukuli hingga babak belur," ujar Adam, wajahnya berubah masam jika mengingat kelakuan sang kekasih cantik nan galaknya itu kepada pelaku yang menculik Cika dan keluarga Moti. Cika mengangguk singkat. "Lalu?" Adam melirik kiri dan kanannya, lalu pemuda 30 tahun itu mendekat ke arah sang kekasihnya. "Randra, lelaki itu mampu membuat penculik itu buka mulut dan penculik itu berbalik haluan ke kubu kita," bisik Adam pelan ke arah telinga kanan sang kekasih. Cika melotot kaget. "Apa?! Kau serius?" Adam mengangguk. "Bagaimana caranya?" Cika menuntut jawaban dari pacarnya. "Kau tidak akan percaya jika aku ceritakan ini, tadi kan aku sudah bilang, kalau Randra membut pelaku itu buka mulut dengan cara menyayat si pelaku tapi diwakili oleh setiap anggota keluarga pelaku itu," "Apa!?" Cika hampir saja menjatuhkan bola matanya saking kagetnya ia. ♡♡♡ "Moti menyaksikan kejadian peristiwa itu," gumam Randra. Lelaki 25 tahun itu sedang terlihat berpikir. "Moti bahkan merekam aksi mereka," gumam Randra lagi. Kening pemuda itu berkerut. "Merekam...merekam...itu berarti Moti punya rekaman aksi mereka!" Randra mendongakan kepalanya. "Ponsel. Ya, ponsel." Gumam Randra. "Dimana ponsel Moti?" Randra mengerutkan keningnya. Randra melihat ke arah pergelangan tangan kirinya. "Sore, sebentar lagi malam." Pemuda itu terlihat merogoh ponselnya. Terlihat dia sedang memanggil seseorang. Terdengar nada sambung dari seberang. "Halo, Randra. Ada apa?" terdengar suara seorang lelaki. "Agil, kau dimana? Ada yang harus kita bicarakan." Tanya Randra. "Baru saja pulang dari kantor, sedang menuju ke apartemenku." Jawab lelaki yang bernama Agil itu dari seberang telepon. "Bisa langsung ke Farikin's the Cafe, ada hal penting yang ingin aku bicarakan denganmu," pinta Randra. "Baik." Sahut Agil dari seberang. ♡♡♡ Tak Tak Tak Agil terlihat memasuki sebuah kafe berdesain mewah. Kafe itu merupakan kafe milik Busran. Busran mengelola kafe yang diberikan oleh paman bungsunya, Arya. Jaket hitam membalut tubuhnya yang didalamnya masih menggunakan baju dinas kepolisiannya. Terlihat seorang pelayan perempuan memberi hormat padanya. "Tuan Agil, mari ikut saya, tuan muda Basri yang menyuruh saya." Pelayan perempuan itu menuntun Agil ke sebuah ruangan. Tak Tak Tak Agil berjalan mengikuti pelayan tadi. Ceklek "Silahkan masuk, Tuan." Pinta pelayan itu sopan. Agil mengangguk singkat lalu ia berjalan masuk, pandangannya dapat melihat tunangan adik perempuan sulungnya, tak lupa juga teman sekaligus saingannya semasa SMA. Randra mendongak ke arah Agil, begitu juga Busran yang di dalam ruang privat itu. Ceklek Pintu itu kembali ditutup oleh sang pelayan tadi. Tak Tak Tak Sh Agil duduk di sebuah kursi. Pandangannya mengarah ke arah Randra. "Jadi, hal penting apa yang ingin kau bicarakan denganku?" tanya Agil. "Dimana ponsel Moti?" Randra bertanya tanpa menjawab pertanyaan dari Agil. Agil mengerutkan keningnya. "Untuk apa kau menanyakan ponsel Momok padaku?" tanya Agil tanpa menjawab pertanyaan Randra. Busran menarik napas dongkol. "Jangan saling melempar pertanyaan tanpa menjawab, kita akan buang-buang waktu," ujar Busran. Agil dan Randra menoleh serentak ke arah Busran. Busran menelan salivanya sambil mengangkat kedua bahunya. "Moti adalah saksi lima tahun lalu, penyelendupan senjata ilegal yang di lakukan oleh teman ayahmu, dia menyaksikannya," jelas Randra. Agil menatap serius ke arah Randra. "Om Ikhsan, aku tidak yakin om Ikhsan yang melakukannya, bukti-bukti dan pengakuan pelaku penculikan memang mengarah pada om Ikshan--," "Christian Hindanata orangnya," sela Randra. Agil terdiam, dia terlihat menengang. "Dia yang ada di Imperial Resto bersama Moti, kan?" tanya Randra. Agil mengangguk. "Dia lari ketakutan dari restoan itu kan?" tanya Randra lagi. Agil mengangguk. "Tentu saja tunanganku lari ketakutan, orang sialan yang bernama Chritian itu berusaha mengejar dan membunuh tunanganku karena menyaksikan dan merekam langsung aksi mereka." Ujar Randra dingin. Agil membulatkan matanya. "Merekam?!" ♡♡♡ Tak Tak Tak Randra berhenti tepat di depan pintu kamar sang tunangannya. Pemuda itu melirik ke arah Agil. "Kamar ini tidak terisi dan terpakai oleh siapapun selama lima tahun ini, semenjak insiden itu, hanya Nira yang membersihkan kamar ini satu minggu sekali dari debu," jelas Agil. Randra menggangguk singkat. Ceklek Randra melangkah masuk ke dalam kamar Moti. Pandangannya mengarah ke sekeliling, terdapat kain putih yang menutupi seluruh furnitur dan barang-barang yang ada di dalam kamar itu. Tak Tak Agil maju dua langkah. "Aku yang menyuruh bibi Nira untuk menutup semua barang-barang Momok dengan kain putih itu," ujar Agil. Randra melirik ke arah Agil. "Jika tidak menutup semuanya, aku akan berusaha bunuh diri lagi," sambung Agil. Randra membulatkan matanya. Agil melirik ke arah Randra dan tersenyum masam. "Bukan kau saja yang depresi," Agil tersenyum kecut. "Huuuhh!" hembusan napas lega dari Agil. "Sekarang tidak lagi, meskipun tidak bisa kembali seperti semula, tapi setidaknya adikku yang ceroboh dan pembuat masalah ini telah terlihat oleh penglihatanku," Agil tersenyum kecil sambil memandangi seluruh isi ruangan itu. "Cari yang kita butuhkan, aku tidak tahu dimana ponsel Momok, bibi Nira juga bilang kalau dia tidak tahu ponsel Momok ada dimana, jadi, cari disini," ujar Agil. Randra dan Agil mulai mengobrak-abrik isi kamar gadis 23 tahun yang sedang tertidur di ranjang rumah sakit itu. ♡♡♡ Busran sedang menunggu di ruang tamu, cukup lama ia duduk disana. Putra kedua pasangan Agri dan Lia itu melihat pergelangan tangan kirinya. "Dua puluh lima menit, apa yang mereka lakukan diatas sana?" Busran mulai dongkol. Sret Dia berdiri dari kursi sofa itu. Tak Tak Tak Terlihat Agil dan Randra turun dari lantai dua dengan wajah datar bercampur kecewa mereka. "Ada?" tanya Busran. "Kalau ada, kau tidak akan melihat raut wajah ini," balas Agil. Busran hanya menelan salivanya. "Bi Nira!" panggil Agil. Tak Tak Tak "Ya, den Agil?" tanya Nira. "Ponselnya Momok tidak ada di dalam kamarnya, bahkan di kolong ranjang tempat dia bersembunyi juga tidak ada," ujar Agil. Nira menggaruk-garuk kepalanya. "Aduh den Agil, bibi juga bingung kemana ponselnya neng Momok," ujar Nira. Agil memijit pelipisnya. "Mang Jono dimana?" tanya Agil. Jono sudah mulai bekerja setelah satu tahun alpa dari tugasnya, namun dia tidak lagi menjadi supir anak-anak Mochtar, dia hanya bertugas menjaga dan memanaskan mobil-mobil yang ada di kediaman Mochtar. "Ada den, itu, mang Jononya baru aja mau pulang, dia dari garasi mobil di belakang," jawab Nira. "Panggilkan mang Jono," pinta Agil. Nira mengangguk. "Baik, den Agil." ♡♡♡ Tak Tak Tak "Den Agil! Kenapa tidak bilang mau datang? Biar saya yang jemput," ujar Jono girang. Agil tersenyum tipis, tipis sekali. "Mang Jono, aku ingin tanya, Mang Jono lihat ponsel Momok?" tanya Agil serius. Jono menggaruk-garuk kepalanya. "Sudah lama den Agil, terakhir saya lihat neng Moti pegang ponselnya yah waktu keluar dari restoran itu," jawab Jono. Agil membulatkan matanya. "Lalu, dimana ponsel itu?" tanya Agil. "Mang Jono, tolong ingat-ingat lagi, ini penting," desak Agil. Jono mengangguk. Lelaki itu terlihat sedang mengingat-ingat. Flashback on "Cepat mang Jono!" Moti berteriak histeris. "Aduh neng Moti, pelan-pelan--," Plak Buk "Awh!" Jono meringis kesakitan. Sesuatu menimpa kepalanya. Slash "Neng Moti malam itu nggak sengaja lempar kepala saya dengan ponselnya, den Agil." Ujar Jono. "Lalu ponselnya dimana?" desak Agil. "Tunggu, mobil yang saya pakai waktu antar neng Moti itu ada di garasi belakang, waktu itu sebelum antar neng Moti paginya saya cuci, tapi sampai sekarang belum pernah cuci karena tidak dipakai lagi, palingan saya panasin mobilnya aja dan bersihin debu." Ujar Jono. Tak Tak Tak Agil menuju ke arah belakang garasi mobil di rumahnya. Tak Tak Tak Randra dan Busran juga ikut. Tak Tak Agil berhenti. "Garasinya terkunci," ujar Agil. "Sebentar den, saya ambilkan kuncinya dulu," ujar Jono. ♡♡♡ Agil membuka mobil yang pernah dinaiki adiknya semalam sebelum insiden lima tahun lalu. Matanya tak henti melihat dan mencari-cari benda yang dimaksud. Sret Pemuda itu mencari di jok depan. Sret Randra tak sabar, pemuda itu ikut mencari di jok paling belakang. "Tidak ada," ujar Agil. Brak Randra juga sama, ia menutup kesal pintu mobil itu. Sret Dengan perasaan kecewa Agil akan menutup pintu mobil tengah itu. Matanya tak sengaja berhenti kolong kiri jok mobil bagian belakang. Ada benda persegi bewarna merah muda yang hanya terlihat setengah. Sret Hap "Ponsel!" Agil mendapatkan barang yang dicari. ♡♡♡ "Charger?" Busran menaikan sebelah alisnya. "Ponsel ini mati, sudah lima tahun tak terpakai, aku tidak tahu kartunya bisa digunakan atau tida--," ucapan Agil terputus. "Mencariku?" Sret Adam duduk di kursi yang ada, dia mengeluarkan benda yang sudah menemaninya selama didunia kepolisian, komputer canggihnya. Adam langsung menyalakan komputernya itu. Ia menoleh ke arah Agil. "Ponsel itu yang ingin kau isi?" tanya Adam. Agil mengangguk. "Berikan padaku!" pinta Adam. Hap Adam menyambungkan kabel datanya ke dalam colokan komputernya. "Lima menit bisa dipakai," ujar Adam. Agil dan yang lainnya berusaha sabar. ♡♡♡ "Kartunya sudah lama mati dan sudah tidak terpakai lagi, masa aktif sudah lewat," ujar Adam ketika menghidupkan ponsel milik Moti. "Lakukan sesuatu agar bisa dibuka lagi," pinta Agil. Adam mengangguk. Entah apa yang dilakukan polisi bujangan berusia 30 tahun itu. "Ada banyak panggilan telepon tak terjawab, dua ratus sepuluh panggilan tak terjawab dan semua dari 'Ran Jelek', ini...," Adam melirik ke arah Randra. Glik Adam menelan susah air ludahnya. "Lebih baik aku diam." Batin Adam Busran dan Agil melirik ke arah Randra. "Ehm! Buka galerinya," pinta Randra. Adam cepat-cepat membuka isi galeri dari ponsel itu. "Cari rekaman video terbaru," pinta Randra. Kening Adam berkerut. "Aku dapat, ini adalah rekaman terakhir dari ponsel ini," ujar Adam. Jemari ibu dari Adam menekan tombol putar pada video itu. Rekaman itu berjalan. "Ck! Kerekam lagi," "Pastikan kau melenyapkan Mochtar besok ketika dia akan menghadiri upacara kenaikan pangkatnya," "Baik bos," Tak Tak Tak "Buka!" "Ini senjata jenis baru, baru diimpor dari Rusia," "Bagus, pastikan jangan sampai kepolisian mencium ini," "Baik, bos," "Oh! Aku akan kaya! Hahahha!" "Ingat besok, lenyapkan Mochtar, lelaki itu terlalu berani dan pintar, namun aku lebih pintar lagi, dia akan mati besok, hahahaha!" Bruk "Eh!" "O-om...," Sh Sh Sh "Kau!? Tangkap dia!" Sret Tak Tak Tak "Hei! Jangan lari!" "Berhenti!" Tak Tak Tak "Eh neng Moti udah--," "Mang Jono jalan!" Brak "Eh! Neng--," "Jalan! Ayo jalan!" "Cepat mang Jono!" Moti berteriak. "Aduh neng Moti, pelan-pelan--," Plak Buk "Awh!" Klik Rekaman itu berhenti, durasinya satu menit empat puluh satu detik. "Ini...ini...," Adam tak kuasa menelan salivanya. "Ini buktinya!" ♡♡♡
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN