Menjaga Aura

1022 Kata
"Baby Aura sudah tidur, apa saya boleh pulang dulu buat beres-beres?" tanya Aldara saat turun kembali. "Terus yang jagain dia siapa sekarang?" tanya Shaga lagi. "Ya gak ada, mbok Ira lagi ada kerjaan. Kan Bos bisa jagain sebentar, Bos lagi gak ada kerjaan, kan?" tanya Aldara. "Berani banget kamu memerintahku, kamu pikir aku siapa. Aku pemilik perusahaan tempat kamu kerja, bahkan kamu saja memanggilku Bos. Ya meski yang manggil gitu cuma perempuan aneh sepertimu," jawab Shaga membuat Aldara kesal. "Bos bisa gak sebentar aja gak ngeredahin saya, kalau saya perempuan aneh kenapa dipilih buat ngurusin anak Anda. Saya juga tidak memerintah, tapi itu sudah kewajiban Bos buat mengurus darah daging Bos. Kan saya ada urusan, kalau saya gak beresin barang saya kapan saya bisa pindah. Tidak mungkin saya menginap di sini tanpa ganti pakaian, apalagi buat ngurus bayi itu harus bersih. Jadi kalau Bos gak ngijinin, apa Bos yang mau beresin barang-barang saya?" tanya Aldara setelah mengomeli Shaga panjang lebar. "Berisik, sudah sana pergi. Axel!" teriak Shaga memanggil Axel. "Iya, Tuan. Ada apa?" tanya Axel setibanya di ruang tengah. "Antar dia dan bantuin dia beres-beres, ajak pak Iwan biar kalian gak berduaan saja. Nanti apa kata orang," ucap Shaga. "Baik, Tuan. Ayo Nona kita pergi!" ajak Axel. Aldara pun langsung mengikuti Axel, dia bahkan enggan berpamitan lagi pada Shaga. Hatinya masih kesal mengingat Shaga yang menyebutnya perempuan aneh seenaknya. Axel mengajak pak Iwan untuk ke tempat kost Aldara, mereka pun meninggalkan rumah besar itu. "Akhh, kenapa jadi aku yang harus jagain bayi itu. Kalau dia nangis gimana, aku kan gak bisa gendong." Shaga bersungut-sungut tapi tetap beranjak dari duduknya. Shaga tidak langsung naik ke lantai atas, dia menuju dapur untuk menemui mbok Ira. Ternyata mbok Ira tidak ada di dapur, Shaga langsung mencari mbok Ira di tempat mencuci pakaian. Dan ternyata mbok Ira ada di sana, Shaga pun langsung mendekati. "Loh kok Mbok yang nyuci, memangnya Neni tidak datang?" tanya Shaga. "Iya, Tuan. Pagi tadi saat dia mau pergi kerja tiba-tiba anaknya muntah-muntah, jadi dia menelpon saya meminta ijin untuk libur. Padahal saya sudah merendam pakaian, takutnya malah jadi bau. Apalagi sekarang ada pakaian bayi, makanya saya kerjain dulu sebentar. Memangnya ada apa, Tuan?" tanya mbok Ira. "Ya sudah kalau begitu, nanti kalau udah beres tolong naik ya. Perempuan itu sedang pergi mengambil barang-barangnya, jadi tidak ada yang menjaga bayi itu. Berhubung bayi itu masih tidur jadi saya saja yang jaga, takutnya bayi itu bangun saya tidak bisa gendong. Jangan lupa telepon keponakan Mbok biar segera kemari, jadi mbok tidak terlalu repot kalau Neni sedang tidak bisa datang." Shaga menjelaskan maksudnya menemui mbok Ira. "Baik, Tuan. Ini juga tinggal jemur aja kok," ujar mbok Ira. "Ya udah saya ke atas dulu," ucap Shaga pamit dan langsung berlalu dari tempat itu. Shaga langsung menuju ke lantai atas, dia memasuki kamar di mana Aura berada. Shaga melihat Aura yang tertidur, wajah tenangnya saat tidur begitu menggemaskan menurut Shaga. Tapi saat dia rewel, Shaga merasa sedikit kesal dan terganggu. "Apa benar kamu anakku, tapi bener sih kata Axel. Ternyata wajahmu mirip denganku, besok kita akan lakukan tes DNA, kalau kamu benar putriku maka aku akan membuat surat-surat resmi. Supaya kelak ibumu yang sudah tega meninggalkanmu itu tidak bisa merebutmu seenaknya," gumam Shaga bicara sendiri. Shaga duduk di salah satu sofa, yang menghadap ke arah ranjang. Dia tidak mau sampai bayi itu terbangun kalau dia ikut duduk di tempat tidur. Shaga kembali sibuk dengan tabletnya, menunggu mbok Ira selesai dengan pekerjaannya. Prang! Shaga terkejut saat tangannya tidak sengaja menyenggol Vas bunga, ketidak dia hendak berbaring di sofa karena lelah. Suara Vas bunga yang pecah membuat Aura seketika menangis. "Duh bagaimana ini? Aku ceroboh banget sih, bayi itu jadi bangun dan nangis. Aku mesti gimana, mbok Ira kemana belum naik juga?" gerutu Shaga dan beranjak dari duduknya untuk melihat Aura. "Cup ... cup, jangan nangis ya. Kamu mau s**u ya? Kita tunggu mbok Ira ke sini dulu ya." Bayu menepuk-nepuk pelan paha bayinya agar mau diam. Perlahan bayi itu mulai tenang, Shaga langsung berjalan menuju telepon yang ada di kamar. Belum juga Shaga mengangkat gagang telepon, pintu kamar di ketuk. "Masuk," ucap Shaga tak lama mbok Ira masik ke kamar. "Duh maaf, Tuan. Tadi ada orang yang mengantar stok air mineral, jadi saya lama dia bawah. Apa non Auranya nangis?" tanya Mbok Ira. "Tadi nangis sebentar, aku menjatuhkan Vas bunga. Tapi sekarang sudah diam, Mbok." "Oalah, kalau gitu saya bersihkan dulu ya, Tuan." Mbok Ira yang hendak mendekati Aura hendak berbalik tapi dicegah Shaga. "Gak usah, Mbok. Biar nanti saja kalau perempuan itu sudah kembali, biarin aja gitu dulu. Mbok urus bayinya saja, aku mau keluar dulu." "Ya sudah kalau gitu, Tuan." Shaga bergegas keluar dari kamar itu, dia benar-benar merasa pusing saat harus mengurus bayi meskipun hanya sebentar. Apalagi mendengar tangisannya, Shaga seperti merasa ada beban berat dalam hidupnya. "Bagaimana kalau mama dan papa kembali, terus mereka tau aku punya anak. Ini akan jadi masalah besar, semoga saja mereka bisa menerima hasil kesalahanku." Shaga mengoceh sendiri seraya masuk ke dalam kamarnya. ***. "Ayo cepat Pak Axel, Pak iwan. Saya merasa tidak tenang meninggal bayi itu lama-lama, mbok tadi sedang mencuci semoga aja sudah selesai." Aldara mengumpulkan semua barang yang sudah disiapkan untuk dibawanya. "Iya, Nona Dara eh Aldara. Semua sudah siapkan?" tanya Axel. "Iya, Pak. Semua sudah, memang tidak terlalu banyak," jawab Aldara. Mereka pun keluar dari tempat kost Aldara untuk kembali ke rumah Shaga, Aldara benar-benar melakukannya dengan cepat karena dia khawatir pada bayi yang harus ditinggalkan bersama Shaga. Begitu semua barang dimasukkan ke bagasi mobil, pak Iwan melajukan kendaraan meninggalkan pekarangan tempat kost. "Anda sepertinya mulai menyukai mengasuh bayi itu," celetuk Axel. "Bukan masalah itu, saya hanya merasa cemas karena harus meninggalkan bayi itu bersama bos. Anda tau sendiri beliau gak ngerti apa-apa," jawab Aldara. "Iya juga sih, tapi kan bisa saya telepon buat tanya apakah mbok Ira sudah selesai." "Iya, kenapa saya tidak kepikiran. Tapi udah kepalang tanggung juga," ucap Aldara menyengirkan bibirnya. Setibanya di rumah Shaga, Aldara dengan cepat hendak mengeluarkan barang-barang miliknya. Tapi Axel mencegah dan meminta Aldara langsung masuk saja. "Welcome to penjara mewah," batin Aldara dengan senyum yang dipaksakan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN