Kabar Kepulangan Orang Tua Shaga

1044 Kata
Dia Minggu sudah Aldara tinggal di rumah Shaga, hari ini Shaga mendapatkan telepon dari kedua orang tuanya jika mereka akan kembali dari Jerman. Adik perempuan Shaga sudah di wisuda dan mereka semua akan kembali ke ranah air, meskipun tidak tinggal di rumah yang sama tapi orang tuanya sering berkunjung terutama mamanya. "Ada apa, Tuan? Anda terlihat gelisah," ucap Axel saat masuk ke ruang kerja sang bos. "Papa dan mama akan pulang, Shelia sudah selesai wisuda. Bagaimana kalau mereka tidak suka dengan keberadaan Aura?" tanya Shaga bingung. "Ya mau bagaimana lagi, Tuan. Anda harus mempertahankannya, bukankah sudah jelas hasil tes DNA jika nona Aura putri Anda. Mau tidak mau mereka harus menerima," jawab Axel. "Iya sih, sudahlah biarlah nanti aku pikirkan cara meyakinkan mereka. Lagipula aku laki-laki, aku harus bertanggung jawab dengan apa yang sudah aku lakukan. Aku juga pria dewasa, mereka tidak bisa mengaturku lagi. Apa masih ada meeting?" tanya Shaga mengalihkan pembicaraan. "Tidak ada, Tuan. Saya ke sini juga mau ajak Anda pulang," sahut Axel. "Ya udah, ayo kita pulang." Shaga langsung berdiri dan mengambil jasnya, lalu mereka meninggalkan ruang kerja Shaga. *** Setibanya di rumah Shaga yang hendak melihat Aura ke kamarnya batal. Karena ternyata Aldara sedang mengajak Aura duduk di ruang tengah. Shaga langsung menghampiri keduanya dan melihat Aura yang berada di baby stroller. "Darah, apa dia rewel hari ini?" tanya Shaga melihat ke arah anaknya. "Alda, Bos. Dia gak rewel kok, baby Aura anak pinter dia jarang banget nangis. Kecuali kalau sedang lapar dan habis dimandiin," sahut Aldara. "Suka-suka saya mau panggil apa, sana geser mau duduk dekat dia. Besok orang tua saya akan kembali dari Jerman, mungkin lusa mereka pasti akan langsung ke sini. Sebaiknya jangan turun dulu, saya mau jelaskan pada mereka dulu. Jangan sampai mereka terkejut karena tiba-tiba ada bayi di rumah ini," ucap Shaga berpesan. "Memangnya Bos belum bilang sama mereka? Kenapa gak ngomong lewat telepon, biar mereka tidak terkejut saat kembali ke sini. "Ngomong sih enak, kamu tidak tau saja bagaimana mereka. Apalagi adikku juga akan wisuda kemarin, bisa-bisa mereka kembali sebelum adikku selesai wisuda. Mereka itu keras pada anak-anaknya, terutama Mama yang masih suka mengatur. Jadi ikuti saja apa yang aku katakan tadi," jelas Shaga. "Baik, Bos. Saya akan di kamar saja sama baby Aura, memangnya mereka bisa terima kehadiran baby Aura. Bagaimana kalau mereka marah terus suruh Bos membuang bayi ini?" "Ya gak mungkinlah, mereka juga masih manusia. Masa main buang bayi saja, palingan kalau mereka tidak suka mereka akan minta menitipkan bayi ini ke panti." "Ya sama saja, Bos. Itu sama saja seperti membuang bayi ini, begitu maksud saya tadi. Bukan berarti dibuang beneran," ujar Aldara. "Menurutmu aku harus bagaimana? Kalau seandainya mereka meminta itu?" tanya Shaga. "Tergantung nurani, Bos. Kalau Bos masih punya hati nurani gak akan mau lakuin itu, ingat hasil tes DNA kalau bayi ini darah daging Bos. Bagaimana Bos akan bertanggung jawab dalam banyak hal, kalau sama darah daging sendiri tidak tanggung jawab. Apa tidak kasihan bayi selucu ini malah mau dititipkan ke panti asuhan," cecar Aldara yang tidak suka jika sampai Shaga menitipkan Aura. Shaga terdiam, dia menatap wajah bayinya. Dia mungkin belum bisa menyayangi Aura sepenuhnya. Karena kehadirannya yang mendadak, tapi ikatan batin terutama setelah hasil tes DNA keluar tidak bisa dipungkiri. "Saya memang belum bisa sepenuhnya menyayangi anak ini, tapi karena sudah terbiasa ada dia selama dua Minggu ini. Saya pasti akan merasa kehilangan jika sampai dipisahkan dengan dia, bayi ini tidak berdosa. Sayalah yang berdosa di sini," ungkap Shaga keluar begitu saja. "Wah, ternyata Anda bijaksana juga, Bos. Saya pikir Anda tidak punya pikiran seperti itu," ucap Aldara dengan santainya. "Kamu pikir saya manusia tanpa perasaan? Saya itu sama saja seperti orang lain, punya perasaan juga kecuali sama kamu. Karena kamu selalu bikin orang lain kesal," sungut Shaga. "Lah emang apa salah saya, Bos. Sampai sekarang saya juga masih bingung, Anda bisa baik sama yang lain. Tapi kenapa sama saya selalu ketus, atau jangan-jangan Bos sebenarnya suka sama saya. Tapi menutupinya dengan sikap seperti itu," ujar Aldara yang langsung mendapatkan tawa ejekan dari Shaga "Tidurmu terlalu miring sepertinya, makanya kalau ngomong asal jiplak. Mimpi aja kali saya suka sama kamu, mungkin kalau di dunia ini hanya sisa kamu satu-satunya wanita. Saya lebih memilih tidak menikah daripada harus sama kamu, boro-boro mikirin suka sama kamu." "Siapa juga yang mau sama, Bos. Saya juga begitu kalau di dunia ini hanya sisa Bos satu-satunya pria, bisa tekanan batin saya kalau harus sama Bos apalagi untuk seumur hidup. Jadi jangan kepedean, Bos." Aldara tidak mau kalah, tidak ada rasa takut sedikitpun pada Shaga. "Kamu boleh ngomong apa aja, cuma satu yang perlu kamu ingat. Kamu itu saya yang gaji, jadi ingat saja di mana tempatmu." Shaga yang kesal langsung beranjak dan meninggalkan Aldara dan Aura. "Dih, dia sendiri yang mulai. Giliran di jawab dia mau marah sama orang, dasar orang aneh. Kenapa juga sampai aku bisa punya bos seperti itu," gerutu Aldara. "Ada apa, Nona?" tanya Axel saat masuk dan melihat Aldara mengoceh. "Itu si bos, sehari saja tidak bikin saya kesal sepertinya dia akan gatal-gatal. Dia yang mulai dia juga yang marah, jadi serba salah hidupku. Pak Axel juga, sudah dibilang jangan panggil nona masih saja. Saya ini juga karyawan bos, bahkan jabatan saya kalau di kantor lebih rendah. Di sini juga saya cuma seorang pengasuh, jadi tolong jangan panggil Nona. Panggil Alda saja gitu, Pak." Aldara mengomeli Axel, seolah meluapkan kekesalannya pada Axel. "Maaf, saya hanya belum terbiasa. Baiklah kalau begitu saya akan mulai membiasakan diri memanggil Mbak Alda saja," jawab Axel. "Bagaimana bisa begitu, kan saya lebih muda dari pak Axel. Jadi jangan panggil Mbak juga," ucap Aldara masih memprotes. "Ya sudah, kalau begitu saya permisi, Mbak Alda." Axel tidak menggubris ucapan Aldara dan tetap memanggil sesuai keinginannya. "Bos sama asistennya sama saja, sama-sama ngeselin. Ya tuhan, kenapa bisa aku terjebak di rumah ini. Jika bukan karena iming-iming gaji besar, ogah benget aku tinggal di sini. Lama-lama aku bisa gila menghadapi mereka," gerutu Aldara kesal. Aldara langsung beranjak dari duduknya, menggambil Aura dari dalam baby stroller-nya. Lalu kembali ke lantai atas menuju kamar Aura dan dirinya. "Kamu kalau besar jangan seperti papamu itu ya, Baby Aura. Kamu harus jadi anak baik yang bisa menghargai orang lain," gumam Aldara sambil meletakkan bayi Aura ke tempat tidurnya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN