Jebakan

1091 Kata
Mega tersenyum melihat Kakaknya yang terbaring di atas lantai, inilah rencananya. Mega akan memiliki kakaknya seutuhnya, dia menginginkan pria itu selalu bersama dengannya. Mega berjongkok untuk melihat wajah Radit secara dekat, dia mengusap pipi pria itu sebelum memberinya kecupan di dahi. “Aku cinta sama kamu, Kak. Tingkah nyebelin sama onar aku cuma biar Kakak perhatiin aku tau. Aku ini gak bisa kehilangan Kakak, aku mau Kakak seutuhnya. Aku tulus, aku cinta sama Kakak.” Tidak ada jawaban dari pria tampan itu, membuat Mega menghela napasnya kuat. Rasanya sakit mencintai Radit seperti ini, dia tidak bisa bersikap seperti gadis normal lainnya. “Aku lakuin ini agar bisa bersamamu, Kakak. Kakak berhak atas perusahaan, silahkan saja. asalkan Kakak harus denganku, lagipula masa pendamping ceweknya gak cantik caman aku. Gak elite lah, jadi Kakak sama aku aja. Aku ini yang terbaik. Yang 100% cinta sama Kakak. Oke, Kakak Sayang?” Kemudian dengan kekuatannya, Mega mencoba menarik Radit ke atas ranjang. Dia kesulitan membawa kakaknya ke atas tempat tidur, membuat keningnya berkeringat. "Ya ampun Ya Keboooo… berat banget sih ini cowok. Kakak berapa kilo sih? " Mega mendumal, apalagi saat menaikan Kakaknya ke atas ranjang. Mega dibuat kewalahan dengan tubuh kekar Kakaknya. Tapi tenang saja, Mega adalah wanita kuat, balapanpun dia bisa, apalagi rintangan untuk mendapatkan Radit. BRUK! Pria itu akhirnya telah tertidur di atas ranjang. “Akhirnya….,” ucap Mega lega. Setelahnya dia tersenyum dan mencium pipi Radit dengan lembut, sedetik kemudian ekspresinya berubah menjadi malu, dia tidak menyangka bisa sedekat ini dengan Radit. "Ups, tenang saja, Kak. Untuk bagian bibir harus Kakak yang memulainya." Kemudian Mega berdiri, dirinya harus dandan terlebih dahulu sebelum membuka pakaian Radit. "Astaga…. Aku tidak sabar," ucapnya menatap sang kakak yang terlelap, rencananya sudah dia siapkan sejak jjauh jauh hari. Mega tidak boleh terlambat, jika dia tidak kunjung melakukannya maka aka nada wanita lain yang menarik perhatian Radit. Sampai dering telpon menyadarkan, Mega mengambil ponsel kakaknya. Itu dari Feyra, membuat Mega kesal mengetahui dia seorang wanita. Apa hubungan mereka? Kenapa dia menelpon malam malam? Mereka berpacaran? Begitulah terka Mega di benaknya sendiri. Mega mengangkatnya. "Hallo, siapa kau? Kak Radit sedang tidur." Bahkan Mega bisa mendengar bagaimana napas gugup seorang wanita di sana. "Mau apa kau?" tanya Mega lagi. "Em… apa kau Mega? Adiknya Pak Radit?" Mega menatap Radit seketika yang terlelap, pria itu telah menceritakan banyak ternyata. "Mau apa kau?" "Tidak, kalau begitu aku akan menutup telponnya. Sampai jumpa." "Dasar w*************a," gumam Mega menyimpan kembali ponsel Radit. Setelah itu dia mematikan ponsel miliknya sendiri agar orangtuanya curiga. Lalu Mega perlahan membuka pakaiannya. "Astaga, calon suamiku. Tunggu aku," ucapnya membuka pakaian. "Sayang sekali Kakak terlelap, Kakak harus lihat tubuhku yang indah," ucapnya menyisakan dalaman saja. Mega merangkak ke atas kasur dan melentangkan posisi Radit. "Kak, ayo. Bagianmu buka baju," ucap Mega mulai melepaskan mantelnya. Melamparnya kemudian membuka lapis yang lain. "Ayo buka! Astaga Kakak berat," ucapnya sampai berkeringat saat membuka kemeja dan kaos dalam. "Wow." Mega tersipu malu melihat tubuh kakaknya yang kekar dan penuh otot. "Boleh aku pegang ya, Kak? Oh astaga! Ini kenyal." Pipi Mega memerah malu. "Bagian celananya." Dia membukanya dengan susah payah. "Aduh, susah sekali." BUG! Mega terjungkal ke belakang saat menarik celana itu, dia memegang kepalanya yang terasa sakit. "Ini menyebalkan sekali." Kemudian Mega kembali berdiri. "Astaga, sisa boxer. Aku tidak akan melepaskannya." Setelahnya Mega bergabung di dalam selimut, dia memeluk erat kakaknya dari samping. "Aku yakin besok Mamah dan Papah akan mencari kita. Kakak akan jadi milikku, suamiku. Setidaknya itu setimpal, Kak. Kakak mendapat kasih sayang dari orangtua kandungku, kakak juga akan mendapatkan perusahaan mereka. Jadi setidaknya balas cintaku agar semuanya impas." Mega mengirup dalam aroma tubuh kakaknya yang selalu menenangkannya. Radit adalah candu untuknya. “Aku mencintaimu, Kak. Kakak akan selalu mendapatkan cintaku.” *** "Mas, Mega gak aktif," ucap Mila menatap Tom yang sedang membaca koran pagi dengan kopi di sampingnya. Itulah rutinitasnya sebelum memulai aktivitas. "Mas!" "Mungkin dia keluyuran lagi, anak itu memang tidak bisa diandalkan,” ucap Tom dengan malas, dia sudah lelah mengurus anak kandungnya itu. Lebih baik baginya mengurus Radit yang jelas jelas memberinya keuntungan dan rasa bangga dengan memiliki anak sepintar dirinya. "Radit juga gak aktif, masa dia tega nyuruh adiknya pulang sendiri malem malem? Tapi kalau nginep pasti ngabarin ‘kan? Gimana ini, Mas? Jangan diem terus kenapa sih,” keluh Mila lagi. "Radit mungkin sedang istirahat, dan Mega keluyuran balapan motor lagi. Astaga, apa lagi alasan jika kita harus ke kantor polisi kalau Mega kembali tertangkap?" "Mas!” mila membentak suaminya karena kesal. Akhirnya Tom menurunkan koran dan menatap istrinya. "Apa yang harus aku lakukan? Mereka sudah dewasa." Mila menghela napas, dia duduk di dekat suaminya saat pelayan menyajikan sarapan. "Bagaimana kalau kita menengok Radit? Aku yakin dia akan luluh karenamu." "Dia masih tidak ingin memegang perusahaan?" "Mas, sudah lama dirimu tidak menemuinya. Apa Mas tidak rindu pada putramu? Ayo ke sana, mungkin Mega juga menginap di sana." Ya, Tom memang masih kesal dengan Radit yang tidak kunjung menerima permintaanya dan malah bekerja di Universitas Swasta. Tom mulai sarapan sambil mendengarkan istrinya. Saat itulah datang sekretarisnya yang juga menjabat sebagai pengacara pribadi, yang menjadi tangan kanan perusahaan tembakau milik keluarga Alfareza, yakni A.F.Z Group. "Selamat Pagi Tuan Besar, ini profil pengusaha yang akan menjadi mitra kita," ucap Sekretaris Kim memberikan berkas. "Bagus, Kim. Siapkan mobilku sendiri, aku akan ke apartemen putraku." "Baik, Tuan Besar." Mila tersenyum senang. "Kita akan ke apartemen Radit?" "Jangan bertanya lagi, Sayang. Aku bisa merubah pemikiranku." Setelah sarapan, keduanya pun menuju apartemen putranya sebelum dia berangkat ke kampus. Mila yang mengetahui pin apartemennya membuka dan masuk dengan girang. "Radit?" Panggil Mila. "Lihat ini, Sayang. Sepatu Mega di sini, dia menginap." "Sudah aku duga. Radit?! Nak?! Sayang?! Dimana kalian?!" Mila takut anak perempuannya membuat kekacauan dan menyebabkan Radit kewalahan. “Radit?! Mas, bagaimana jika Mega menyusahkan Radit?" "Radit mungkin di kamarnya," ucap Tom yang membuat istrinya segera melangkah ke kamar putranya. Mila membuka dengan senyuman, tapi senyuman itu luntur tatkala melihat sosok Mega yang sedang menangis di ujung kamar. "Mega?" "Mamah? Hiks…. Hiks…. Mamah….." "A… apa yang terjadi? tidak mungkin kan….?” Wajah Mega berantakan, ada luka cakaran di tubuhnya. Dia juga hanya tertutupi selimut tipis. Sementara di atas ranjang, Mila melihat Radit yang hanya memakai boxer masih tertidur. "Kak Radit…. Dia…. Dia…. Jahat, Mah…." "Tidak… ini tidak terjadi… tidak." Mata Mila terasa berembun, kemudian kegelapan mulai menyelimuti. BRUK! Suara Mila yang terjatuh membuat Tom berlari ke kamar putranya, dan dia melihat apa yang dilihat istrinya. Mila yang memiliki jantung lemah itu pingsan. "Sayang, sayang, bangun." "Papah… hiks… maafkan… hiks…"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN