Kejahatan

1297 Kata
Keduanya tertawa saat Radit menambahkan lelucon tentang orang yang terpeleset di lampu merah, mencairkan suasana agar sosok yang ada di sampingnya itu merasa nyaman. Kini dirinya dan Feyra sedang berada dalam mobil, keduanya baru pulang makan malam. Radit memberanikan diri untuk mengajak Feyra keluar. Apalagi dirinya juga sudah muak dengan terror dari Mega yang tidak berhenti menelpon, mengirimi pesan dan membuat onar yang membuat Mila pusing. Sesekali Radit ingin menuntaskan kekesalannya dengan menyenangkan hatinya. Selama makan malam, tidak ada materi yang dibahas sesuai rencana. Mereka malah bercerita dengan bertukar pikiran tentang hal hal kecil seperti warna kesukaan, pengalaman menyenangkan dan juga hobby yang sedang didalami saat ini. Tidak terasa pembicaraan mereka berhenti karena Radit telah sampai di depan gerbang rumah megah milik Feyra. Saat keluar dari mobil, Feyra terlihat malu malu. Tentu saja dia bahagia bisa berduaan dengan pria yang disukainya, apalagi membawa Radit kemana mana adalah sebuah kebanggan. Radit adalah sosok yang tampan dan berwibawa. “Terima kasih, Pak.” Radit tersenyum., dia mengangguk menatap wajah manis milik Feyra. “Kalau begitu, saya masuk dulu.” “Tunggu, Fey,” ucap Radit menahan Feyra yang belum melangkah terlalu jauh. Radit keluar dari mobil supaya dia bisa berhadapan dengan Feyra. “Iya, Pak? Gimana?” Feyra sama sama gugup. “Emm…. Tadi kamu bilang kamu gak punya pacar, karena kamu maunya memiliki tujuan dalam hubungan.” “Iya….” Feyra mulai merasakan atmosfer di sekitarnya berubah. “Gimana kalau saya mau jadi pacar kamu? Saya mau punya tujuan hubungan sama kamu?” Feyra jelas terkejut, dia mengadahkan kepalanya tidak percaya. “Iya, Pak?” dia jelas kebingungan. Radit terkekeh. “Saya tau ini terlalu cepat. Tapi, Feyra, saya tertarik sama kamu sejak pertama kali mengajar. Ditambah dorongan umur saya yang hampir tiga puluh tahun, saya rasa ini waktu yang tepat menuju pernikahan. Jika alasan kamu tidak memiliki pacar karena itu.” Feyra diam tidak percaya, tangannya yang saling bertautan mencubit satu sama lainnya. Feyra dibuat berbunga bunga, mana mungkin dia menolak pria sesempurna Radit. “Fey?” “I…. Iya, Pak?” “Gimana?” Masih tidak ada jawaban membuat Radit terkekeh. “Jangan dianggap serius kalau per--” “Bukan begitu, Pak!” Feyra menelan ludah kasar, dia sangat gugup. “Saya… saya mau kok.” “Apa? Saya tidak dengar.” “Saya mau, nanti hubungi saja lagi untuk lebih lanjut,” ucap Feyra berlari begitu saja ke dalam rumah. Saat Feyra hilang, Radit tersenyum menyeringai dan masuk ke dalam mobil. Radit diam di dalam, sampai akhirnya dia berkata, “Yes!” Bahagia karena mendapatkan balasan dari Feyra yang dipikir Radit akan serumit hubungannya dengan Lily, yakni wanita yang pernah dia sukai tapi sekarang sudah menikah dan bahagia. Ternyata Tuhan berkata lain, hubungannya dengan Feyra tidak seburuk itu. Radit menghela napas, dia ingin membuka lembaran baru. Dirinya juga sudah memiliki pekerjaan mapan, dan siap untuk berumah tangga. Masalah perusahaan Tom? Radit siap membantu, bukan memilikinya. Itu akan seterusnya menjadi milik Mega. Dia hanya akan membantu jika adiknya membutuhkan bantuan. Ya, Mega dulunya dalah adik yang sangat menyayanginya, penuh kelembutan. Namun berubah begitu dia mulai serakah, dan entah mengapa kini Mega menjadi mengejarnya sebagai wanita. Membuat Radit gila akan hal ini. “Setidaknya jika aku menikah, aku akan pergi jauh dari Mega. Dia tidak akan segila itu lagi. Aku tidak akan mengecewakan Papa dan Mama, apalagi jika mereka mendengar anak kandung mereka mencintai anak angkat. Aku tidak akan membiarkannya tahu.” Karena Radit yakin, Mila dan Tom pasti mengharapkan sosok lain untuk Mega. Dia tidak ingin mengecewakan menjadi anak pembangkang dengan berhubungan terlarang bersama adiknya, meskipun dirinya hanyalah anak angkat saja. *** Radit berjalan menuju apartemennya sambil menelpon sosok yang begitu dia sayangi, yang tidak akan pernah Radit lupakan jasa jasanya. “Jangan lupa makan, jangan sering bergadang. Mamha kangen tahu sama kamu, biasanya pulang ke sini sekarang punya apartemen, Mega ganggu ya? Dia telpon kamu terus gak? Kan katanya mau kuliah di sana di tempat kerja kamu. Udah tau belum? Eh, belum ganggu? udah ganggu belum sih?” tanya sosok di dalam telpon. Radit tersenyum. “Ganggu gimana, orang dia adik aku.” Mencoba tenang dan berlapang d**a demi Mila sang mama. “Dia jahat sama kamu setelah tahu…..” “Radit anak Mamah, itu gak akan berubah,” ucap Radit menenangkan, dia menekan tombol lift menuju apartemennya. Mila tertawa di sana. “Mama hsayang sama kamu, Kak. Gak akan merubah apapun. Udah makan kan? Makan belum? Jangan telat, Kak.” “Iya, Mah.” “Um… Mamah juga ngasih tau apartemen kamu ke Mega. Maaf ya.” Radit menghela napas. “Iya gak papa, orang dia adek aku kok.” “Sudah, Mamah. Jangan khhwatir. Bagaimana kabar Papah?” “Papah udah kembali bekerja. Kondisinya baik. Kamu kapan mau bekerja di perusahaan Papah? Papah mau memperkenalkan kamu sebagai anaknya, Nak.” “Mah, aku ini Dekan. Aku nggak bisa lepas tanggung jawabku.” Mila berdecak di sana. “Itu hanya akal akalanmu saja supaya tidak masuk ke perusahaan kan? Jangan dipikir Mamah gak tau yah, Mamah itu yang besarin kamu. Itukan swasta, bisa keluar. Ganti rugi? Nanti Mamah ganti. Emang berapa sih? Jangan ngehindar lagi, Kak, nanti Mamah tumis kamu.” “Bukan begitu, Mah.” Radit terkekeh sesekali. “Pokoknya Mamah dan Papah sepakat kamu yang mimpin perusahaan untuk tahun depan. Semua kekuasaa sedang diurus oleh Pengacara Kim sekarang ini.” “Mamah… kenapa melibatkan Pengacara Kim?” tanya Radit, karena jika sudah menyangkut orang itu, maka hal serius akan terjadi. “Pengacara Kim adalah sekretaris pribadi Papahmu, yang kelak akan menjadi sekretaris pribadimu.” Radit menghela napasnya dalam. “Jangan seperti itu, tidak sopan.” “Mega lebih layak atas perusahaan.” “Maka dari itu kamu ajari dia, dia bisa apa? Belajar juga gak becus, Mamah gak mau kalau Papah pensiun nanti malah bangkrut ya. Mamah gak mau.” Tidak ingin memperpanjang masalah dan membuat Mamanya kecewa, Radit hanya mengangguk, “Baiklah, Nyonya Besar. Selamat malam.” “Pikirkan apa yang Mamah katakan. Kau keras kepala. Oh iya, dimakan makanannya ya.” “Baik, Mah. Eh, makanan apa, Mah?” TUT. “Lah, Mamah tutup telpon?” D ia masuk ke apartemennya dengan kode. “Hai, Kakak Sayang.” Sapa seseorang begitu Radit masuk. Radit menengang seketika. Kenapa dia di sini? Bagimana dia ada di sini? Di jam ini? “Kakak kaget ya? Mamah minta aku nganterin makan malam buat Kakak. Nih. Dimakan buatan Mamah itu, nanti Mamah kutut kalau gak makan katanya.” Radit masih enggan berkata kata, dia takut serba salah. Apalagi Mega adalah adiknya, dan dia anak kandung dari orangtua angkat Radit yang sangat disayangi Radit. “Kak?” “Tinggalkan di sana dan lekaslah pulang,” ucap Radit hendak melangkah ke kamar. “Setidaknya makan ini dulu, cicipi masakan Mama. Apa Kakak tega membuangnya?” “Aku gak mungkin buang masakan Mamah, Mega,” ucap Radit akhirnya memandang wajah Mega yang tersenyum menggoda. “Dimakannya nanti aja.” “Oh ya! Mamah nyuruh aku buat mastiin Kakak minum ini. Ini jamu biar tetep Vit. Cepetan minum sebelum aku macem macem terus nyium kakak, Kakak mau? Oh iya aku gak akan pergi sebelum Kakak minum ini.” Radit jengah, tapi dia menahannya. Maka darinya, Radit mengambil botol itu. Menuangkannya dalam gelas dan meminumnya. “Sudah, cepat pulang, ini sudah malam.” “Iya, yang sabar napa, Boss.” Kenyataannya, saat Radit masuk ke kamar. Mega masih di sana menunggu kira kira sekitar lima menit. Sampai akhirnya dia memanggil nama sang kakak. “Kak? Kakak?” Mega berlari menuju kamar kakaknya, dia membuka pintu dan melihat kakaknya sudah dalam pengaruh obat yang dituangkan Mega ke dalam ramuan. Mega tersenyum senang. “Hai, Kak. Mari lucuti pakaianmu. Hihi, asyik juga ya beginian. Akhirnya rencana aku berjalan baik, Kakak Sayang.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN