“Kak, aku udah siapin airnya.”
Radit yang masih menatap laptop itu mengangguk paham. “Sebentar.”
“Mandi berdua yuk.” Kalimat yang dikeluarkan Mega begitu mudah dan datar.
“Apaan mandi berdua?” gumam Radit yang sibuk dengan layar laptop.
Hal itu membuat Mega kesal, tanpa berkata apa apa lagi dia tiba tiba menduduki paha Radit dengan tangan yang melingkar di leher pria itu. Tentu saja itu membuat Radit terkejut bukan main. “Kamu ngapain? Turun, Mega.”
“Kak.” Nada suaranya begitu berat, dia menatap manik kakaknya mencoba mencari sesuatu. “Kakak kalau masih marah sama Mega yang tinggal marah aja, kenapa ditahan?”
“Jangan seperti ini, menyingkir,” ucap Radit mencoba mendorong Mega dari pangkuannya.
Tapi Mega malah merubah posisi menjadi menghadap Radit sehingga kakinya mengunci pinggang pria itu, mereka berhadapan. “Kak, jangan ditahan kalau marah kenapa? nanti cepat tua.”
“Kalau gak mau Kakak marah berhenti bertingkah, Mega. Lepaskan, Kakak masih melihat berkas berkas itu. Kamu ingin nanti Kakak ke kantor Papah terus gak ngerti apa apa di sana? Mau kakak dipermalukan?”
Mega menggeleng, dia berdehem dan turun dari pangkuan Radit. Dia masih menunggu pria itu menyelesaikan kegiatannya. “Udah belum, Kak? Ayo mandi nanti airnya keburu dingin, nanti tagihan listrik naik loh pake air panas terus.”
“Makannya lain kali bathubnya jangan dulu diisi, biarin aja asal nyalain air panasnya.”
Mega berdecak, dia mencoba menjadi istri yang baik. “Cepetan, Kak. Mandi bareng ayo, aku buka baju nih.”
Seketika matanya menatap Mega yang hendak membuka pakaiannya. Radit segera berdiri dan menahan tangan Mega untuk tidak melakukannya.
“Mandinya sendiri aja.”
“Nah kan, dari tadi kemana aja? Sama aku temenin aja.”
“Gak bisa.”
“kenapa?” Tanya Mega yang mulai menaikan nada bicaranya kesal. “Kak!”
“Kakak mules,” ucapnya lalu masuk ke kamar mandi.
Mega yang melihat di sana sudah tahu itu adalah tipuan belaka. Maka darinya dia mendekat ke arah pintu dan mencoba untuk masuk. Sayangnya dari dalam sudah terkunci dengan rapat.
Yang mana membuat Mega berdecak. Dia memukul pintu dari luar. “Kak!”
“Gak bisa.”
“Aku mau ikutan mandi.”
“Nanti aja sendiri.”
“Aku mau ikutan.”
“Siapin aja sarapan.”
“Hih,” ucapnya kesal kemudian mencoba menemukan roti untuk di bakar. Mega menarik napas dalam, dia kehilangan kesempatan untuk ikut mandi bersama suaminya.
Mega harus punya cara lain. “Bagaimana caranya agar dia mau menerimaku?”
Mega bergumam seorang diri, sampai dia kesal seketika dan memainkan pisau. “Aku harus bagaimana?”
Sampai Radit keluar dan hanya memakai handuk saja, mata Mega menatap tajam. “Nanti aku mau ikut mandi.”
“Gak bisa gitu.”
“Kenapa?”
“Kata Kakak kan pelan pelan.”
“Sekaligus juga gak papa kok.”
“Hah?”
“Aku bisa tahan sakitnya.”
“Otak kamu,” ucap Radit penuh penekanan dengan memberikan tatapan tajam pada Mega.
Dan Mega hanya tertawa. “Kalau gitu aku mau mandi, sarapannya nanti bareng.”
“Iya.”
Sengaja, Mega mandi tidak lama seperti biasanya. Dia mandi lebih cepat dan singkat supaya suaminya bisa melihatnya dengan hanya mengenakan handuk saja.
Namun sayang, saat itu Radit kembali focus dengan laptop. Yang membuat Mega putus asa dan memakai baju seperti tidak terjadi apa apa. Kemudian bibir mungilnya bergumam tanpa suara, “Butuh rencana, butuh rencana.”
**********
Dan akhirnya, mereka berdua hanya sarapan dengan roti bakar. Mega melahapnya karena merasa sangat lapar dan mengantuk di saat yang bersamaan.
“Nanti mamah ke sini?” tanya Radit sambil mengunyah roti buatan istrinya.
Mega mengangguk. “Siangan. Kakak jam berapa pulang?”
“Sore kali.”
“Kita belanjanya kapan dong?”
“Belanja apa?”
“Ya makanan di kulkas, gimana sih?”
“Nanti aku minta Mamah yang anter ya.”
“Gak maul ah, maunya sama Kakak. Kan aku nikah sama kakak, bukan sama Mamah.”
Radit tidak bisa berkata kata. Dia menarik napasnya dahulu sebelum mencoba menjelaskan. “Kan kamu tau aku pulangnya sore.”
“Kalau gitu malem gimana?”
Karena malam Radit juga tidak punya kesibukan, dia akhirnya mengangguk. “Oke.”
“Terus…..”
“Apalagi?”
“Biasa aja kali nadanya kayak yang kesel gitu,” ucap Mega kesal.
“Gak gitu.”
Dengan sabar, Radit menampung semua rasa kesal dirinya sendiri. Dia mencoba mengingat kalau perempuan di depannya ini adalah anak dari wanita yang selalu menyayanginya, melimpahi kasih sayang dan perasaan sebagai seorang mamah.
Radit merasa sifat Mega kembali pada sifat sebelumnya, tapi lebih aktif. tidak ada lagi ujaran kebencian yang mengata-ngatai dia hanyalah anak angkat supaya mendapatkan perhatiannya. Tentu saja, karena Mega telah mendapatkan apa yang dia inginkan selama ini.
“Kenapa? Apa lagi?” tanya Radit dengan lembut.
“Aku gak mau kuliah lagi ya? Aku mau di rumah aja, nungguin Kakak pulang."
“Mega, pendidikan itu penting.”
Mega berdecak, dia menyandarkan punggungnya di kursi dengan tangan memainkan roti di hadapannya.
“Kakak mau aku tetep kuliah?”
“Iya, aku mohon jangan karena aku kamu berhenti kuliah. Papah sama Mamah udah mercayain kamu sama Kakak, jadi kuliah itu penting. Kalau mau ambil kelas karyawan aja.”
“Kalau aku ambil kelas karyawan ya weekend gak bisa berduaan sama Kakak.”
“Biasanya juga kalau weekend masuknya jumat sama sabtu doang. Minggu libur, kita bisa……,” ucapan Radit mengambang. Dengan berat dia mengatakan, “Berduaan.”
Mega masih terdiam. Dia memang sudah daftar di universitas tempat dulu Kakaknya menjadi dekan. Tapi kini Radit memutuskan untuk lebih focus pada perusahaan Papahnya.
“Gimana?”
“Nanti aku diskusiin dulu sama Mamah.”
Akhirnya Radit mengangguk. “Tapi Kakak min⸻”
“Iya aku tau, Kakak mau aku tetep lanjut kan?”
Radit kembali mengangguk. “Sayang banget otak kamu, kamu itu pinter.”
Mega malah terkekeh. “Kirain mau bilang gini…. ‘Sayang kamu cantik.’ Eh…, ternyata ini kata Sayang buat ungkapin gak guna.”
“Bukan gitu.”
“Iya, gitu. Aku paham.”
Radit mengerjapkan matanya, kadang dia bingung bagaimana cara menghadapi Mega. Dan melihat jam, dia harus segera pergi.
“Aku harus berangkat.”
Dan Mega dengan sigap mengambilkan mantel milik suaminya untuk dikenakan.
“Dijemput sama Kim?”
“Enggak, bawa mobil sendiri.”
“Yang mobil biru ditinggal kan?”
“Ya masa aku pake dua mobil,” jawab Radit yang membuat Mega kembali kesal. “Mau keluar?”
“Liat nanti, takutnya Mamah ngajak keluar.”
“Kalau keluar izin dulu.”
“Iya.”
Dan setelah suaminya siap dengan mengenakan mantel hitam dimana dibagian dalamnya ada rajutan turtle neck yang membuat Radit semakin keren, Mega segera mengalungkan tangannya di leher Radit.
“Kenapa ini?”
“Kakak sebelum berangkat selalu cium Mamah, sekarang aku mau.”
Ragu ragu, Radit mendekatkan wajahnya pada Mega kemudian mencium pipinya.
“Kok di pipi?”
“Mamah juga suka di pipi.”
“Aku istri kamu, bukan Mamah,” ucap Mega kemudian menarik tengkuk suaminya dan bibirnya berakhir di bibir sang suami.
CUP.
“Asek dapet.”