PICCOLO

1532 Kata
"Ini Pak, barangnya. Bisa dicek dulu, Pak!” Di luar Rio memang serius sekali menunggu sang kurir. Jaket hijau yang dikenakan kurir membuat Rio tadi melambaikan tangan karena paham sekali pasti barang yang dibawa kurir itu adalah miliknya. Paper bag yang bertuliskan logo toko ponsel tempatnya memesan barang. "Terima kasih. Ini untukmu." "Waduh, banyak nih Pak. Makasih Pak, sehat selalu ya, Pak. Panjang umur dan nambah terus rezekinya, Pak!" "Amin! Makasih, ya Pak!” Pria itu ngeloyor pergi setelah mendapatkan lembaran merah dari Rio. Wajahnya sumringah. Mungkin itu nilainya tidak ada apa-apanya dengan jumlah uang yang dimiliki Rio tapi bagi kurir tadi sudah lumayan besar. Rio tak mempermasalahkan pemberian itu karena menurutnya sudah setimpal dengan benda yang diantarkan pria tadi. Rio jadi bisa memaksimalkan waktunya untuk melakukan hal lain yang penting di saat pria itu membawakan belanjaannya. "Loh, udah selesai?" "Udah, nih!" Pas, untung saja Mbaknya cepet tadi! Dini menghempaskan napas lega karena memang makanan yang dibelinya sudah selesai dibayar juga. Bonnya, Dini remas dan sengaja dimasukkan ke saku celananya. "Beli apa?" "Cemilan aja untuk Anggia!" Rio tak bisa melihat isinya karena sudah dimasukkan kardus makanan tertutup. "Oh, ya udah. Duduk dulu di sini deh. Aku mau aktivasi kartu handphone-nya dulu. Tolong pesenin aku kopi, ya!" "Iya, sebentar ya, Kak Rio!" "Makasih ya, Dini! Sama boleh deh kalau ada apa yang bisa dimakan, cemilan juga. Ada makanan apa di sana?” "Sebentar ya Kak, aku beliin!" "Iya makasih ya!" Belinya juga pakai duit dia sendiri pake bilang makasih! gumam di dalam hati Dini menahan geli sendiri. Dia kembali mendekat pada penjual yang menjaga cafetaria. "Pesan ini, ya!” Dini menunjuk makanannya. Lalu melihat ke menu kopi. "Ada Piccolo di sini?" tanya Dini pelan, tentu tak terdengar dari posisi Rio duduk. "Ada!" seru pelayan. Piccolo adalah jenis racikan kopi yang hampir mirip isinya dengan cafe latte, cuma persentase espresso di dalamnya lebih banyak dan rasa espressonya lebih kuat dibandingkan lattenya. Jarang ada yang menyediakan itu, karena kebanyakan coffee shop mereka menyediakan cafe latte. Bagi pecinta piccolo, mereka biasanya meminta tambahan espresso di dalam cafe latte pesanannya jadi dua atau tiga shot. "Adalagi yang mau dipesan?" "Tambahin air mineralnya deh, dua botol." "Tunggu sebentar ya, Bu." Dini mengangguk saat wanita itu mempersiapkan semua yang dipesannya. Tangannya masih memegang belanjaannya tadi, tak menaruhnya dulu di meja. "Terima kasih, ya!" Dan setelah menggesekkan kartu yang diberikan Rio, Dini membawa makanan juga kopi pesanannya ke meja tempat Rio duduk. "Kak, ini uangnya gak kepake." "Pegang aja." Rio yang melihat Dini merogoh sakunya, segera memotong. "Kamu nggak beli buat kamu?" Rio yang baru saja memasangkan sim card ke dalam handphone, melirik ke baki makanan dan sudah bertanya lagi. "Ini aku beli minum aja, Kak Rio. Lagi nggak laper.” "Tapi kan kamu harusnya makan. Tadi malem belum makan." "Nanti aja. Aku belum kepengen. Lagian, nanti sayang kalo gak dimakan kan makanan untuk penunggu pasien di ruang opname Anggia." Kata-kata yang membuat Rio menatap Dini lagi dengan senyum di bibirnya. "Ini onde-ondenya ada dua! Kamu makan yang satu.” "Aku beli semuanya buat Kak Rio, kok.” Dini mau menolak "Kalau kamu nggak makan, ya aku juga nggak makan. Biarin aja kebuang di situ." Sejak kapan ya dia jadi tipe orang yang memaksa kayak gini? Dulu gak gini? Dini menggerutu dalam hatinya, tapi dia terpaksa harus mengambil salah satu dari onde-onde itu. "Nah, udah selesai! Nomor di panggilan cepat nomor satu itu nomor teleponku. Di sana aku juga masukin nomor teleponnya Teddy kalau kamu ada butuh apa-apa juga bisa hubungin dia." Rio sudah selesai mendaftarkan handphone Dini dan kini dia menaruh KTP yang tadi dipegang dengan tangan kirinya dan tangan kanannya menyerahkan handphone itu pada Dini. "Makasih ya, Kak!" Dini menjawab saat Rio mengambil Onde-onde. Sebelumnya, pria itu membersihkan tangannya dengan hand sanitizer yang tersedia di setiap meja. "Aku juga ni lagi isi pulsanya! Tunggu paling bentar lagi masuk!" Rio bicara sambil satu tangannya memegang onde-onde dan satu tangannya terhubung dengan aplikasi online untuk order pulsa. "Iya, Kak. Makasih." "Tapi aku belum sempat daftarkan M-Banking di sana. Nanti ya, pulang aku kerja aku baru beresin." "Gak usah buru-buru. Aku juga gak pake kok." "Hmm, tapi harus aku urus cepet, supaya kamu gak repot terus bisa aku hubungin sama aplikasi onlie untuk pesen makanan, kali kamu mau beli makan di luar, belanja, atau apa gitu, biar gampang." "Kak Rio!" "Ssst, cek pulsanya, udah masuk belum?" lagi Rio tak mengizinkan Dini membantahnya. "Sudah." Dini yang baru membaca notifikasi menjawab cepat di saat Rio mengambil cangkir minumannya. "Dan makasih juga buat piccolo-nya, Dini." Haish, dari senyumnya itu aku yakin sekali sebenarnya dia mau bilang terima kasih sudah mengingat minuman favoritnya, gitu kan? kesal sebetulnya Dini karena senyum Rio itu memang memiliki banyak arti yang sebetulnya malas untuknya diduga-duga, tapi pikirannya melayang sendiri ke sana. "Aku udah lama nggak makan onde-onde. Kebenaran banget di sini ada, ya. Onde-onde ini enak, tapi gak seenak yang di kantin sekolah dulu, Din. Inget gak kamu?" Nggak sekalian dia bilang ini juga jajanan favoritku! Dini menggerutu dalam hatinya tapi bibirnya memang tak mengatakan apapun. Dia memilih mengambil botol air mineralnya. "Wah, ada pastel juga nih! Jaman kuliah dulu aku sering beli pastel sama ini, nih, risoles kaya gini!" Rio melirik Dini dengan senyumnya. "Sama risoles ini, yang di depan rumah sakit tempatku praktek, mirip ya, dan paling enak nyemil ini, supaya ada manis-manisnya aku praktek. Abis, sering diomelin ama senior, aku pilih ini aja sama onde-onde." Rio makan cukup cepat sehingga dia sudah mengambil cemilan kedua, ketiga dan keempat yang semua memang ada sejarah yang membuat Dini kesal. Kenapa dia harus membeli makanan itu? Ke mana dia menaruh otaknya? "Kalau lapar mendingan makan nasi, Kak Rio!" "Ini kalorinya udah lebih banyak dari nasi, Dini. Apalagi kamu juga pesenin aku risoles. Aku suka kue susnya juga. Kenapa di sini jadi banyak makanan yang aku suka, ya?" Dari dulu kan emang dia suka banget cemilan makanan-makanan yang kayak gitu, lagi-lagi Dini menggerutu sebal hatinya. Sebuah kenangan yang tidak mau diingat olehnya tapi terpaksa harus diingat-ingatnya lagi dan membuat hatinya tambah luka. "Kak Rio, aku harus tunggu di sini sampai Kak Rio kapan? Sampe Kak Rio habisin semuanya?" "Aku udah ngabisin satu kue sus, terus ini risolnya juga udah aku makan satu, terus aku udah makan pastel sama onde-ondenya juga. Masih sisa satu-satu, tuh. Kamu yang makan aja dulu." "Tapi aku beli buat--" "Kalorinya kebanyakan Dini, lagian kamu beli dua-dua, kita berdua, jadi abisin berdua." Ya, Dini kembali mengumpat dirinya, kenapa juga dia memesan semua serba dua? Dini mengumpat sendiri. "Habiskan, sambil nemenin aku. Kopiku juga belum habis. Nanti kalau itu semua udah habis, baru kita pergi." "Tapi kan, aku udah bilang enggak laper, Kak?" "Ya udah, kalau gitu kita tunggu di sini sampai kamu laper, terus habisin makanannya." "Iya, iya, aku makan!" Tak ada pilihan karena Dini juga harus naik ke atas dan membawakan cemilan untuk putrinya. "Kamu beli apa buat Anggia?" "Cuman cemilan doang. Apa aja lah, Kak!" "Dini pesenin aku lagi dong onde-ondenya. Dari semua ini yang paling aku suka nomer satu tetep onde-onde." Ya, emang makanan kesukaannya dari dulu ya itu. Yang lain dia suka, tapi cuma pelengkap, tetep aja onde-onde nomer satu! Tapi kenapa rasa makanan di sini semuanya sama kaya rasa onde-onde di sekolah kami dulu ya? Risoles sama pastelnya juga sama kayak di kantin kampus dan kue sus sama kayak di tempatnya dulu praktek. Apa aku gak salah icip? Atau mungkin hanya imajinasiku merindukan makanan-makanan itu? Dini tak mau melanjutkan pikirannya. Dia berjalan lagi menuju ke konter dan memesan apa yang diinginkan Rio. "Kamu beli berapa?" “Lima." "Hmm, pas!" Kembali pria itu tersenyum yang membuat Dini makin tak kuat tetap tinggal di sana. "Makananku juga udah habis, kak! Aku ke atas, ya! Aku nggak enak kalau di sini kelamaan, kasihan Anggia. Takutnya gak nyaman kalau cuma ama suster." "Iya, iya, temenin dia cepat. Sampaikan maaf padanya, tolong kasih tahu aku tadi meminjammu agak sedikit lama.” "Kakak nggak berangkat sekalian?" Dini tak mau membahas itu. "Nggak, belum. Aku mau ngobrol dulu sama Teddy sebentar.” Tau gini aku pergi dari tadi! Dini pikir Rio juga akan pergi. Makanya dia tak enak karena khawatir kalau Rio akan menunggunya makan. Tahunya Rio memang punya agenda lain. "Mukamu gitu. Kamu mau marah sama aku, Dini?" “Enggak, Kak! Makasih ya, Kak, aku pamit dulu!" "Jangan kemana-mana Dini! Tunggu aja di kamar Anggia, ya! Jangan tinggalin dia." "Iya Kak, aku ngerti. Permisi, Kak." Selepas wanita itu mengambil handphone di meja, Dini pergi membiarkan Rio tersenyum getir. “Fuuuh!” Rio hanya menghempaskan napas dan kembali lagi wajahnya terlihat muram. Mata Rio masih menatap ke arah meja yang ada di hadapannya dengan kopi yang sudah habis lalu piring berisi cemilan yang juga sudah kosong, hanya bungkusan makanan saja di sisinya yang masih ada isinya tapi tidak dibuka. Beberapa menit waktu seperti tidak berjalan bagi Rio karena dia hanya menatap itu tanpa mengatakan apapun sebelum tangannya mengambil handphone miliknya. Teddy: Di mana gue bisa nemuin lo Rio? Rio: Gue masih di cafetaria! Lo ke sini dulu, bentar! “Bossy!” gerutu Teddy, tapi dia tetap keluar dari ruangannya dan menuju tempat Rio menunggunya. "Rio--" "Ted, coba lo tanya ama pelayan, apa tadi yang dibeli Dini buat anaknya."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN