5. Kemalangan Hani

1028 Kata
Syamil tengah berjalan di trotoar sambil menenteng nasi bungkus. Awalnya ia ingin makan di tempat, karena sudah tidak kebagian bangku duduk, Syamil memutuskan pulang saja. Perutnya masih tidak nyaman kalau memaksakan makan mie instan lagi. Waktu ia sakit, untunglah Hani memberikan makanan sehat untuknya sehingga ia lekas pulih. "Eh, bungkusan apa itu?" Syamil berjalan lebih cepat untuk melihat bungkus makanan yang terjatuh, rupanya berisi buah jambu potongan. Kepalanya menoleh ke kanan dam ke kiri untuk mencari pemilik buah yang mungkin tanpa sadar sudah menjatuhkan bungkusan tersebut. Syamil mengangkat bungkusan itu dan seketika itu juga ia melihat sandal yang sangat ia kenali. Sandal Hani. Ditambah dengan bungkusan buah jambu, Syamil yakin pemilik buah ini adalah Hani. "Mbak Hani! Mbak Hani!" Syamil berlarian ke sana-kemari mencari keberadaan Hani, tetapi ia tidak menemukan wanita hamil itu. Syamil semakin panik, ia mencoba menghubungi Joko, tetapi tidak diangkat. Suara berisik di balik tembok membuat Syamil memberanikan diri untuk masuk ke sana. Ada lorong panjang yang bisa terhubung dengan gang sebelah. Syamil juga memungut beberapa batu berukuran sedang di jalan, lalu dengan menguatkan kedua tungkai kaki agar tidak gemetar, Syamil terus berjalan mencari keberadaan Hani. Tidak lupa potongan buah jambu yang sudah ia pegang kuat. "Woy! Ngapain lu?!" Puk! Puk! Syamil membabi buta melemparkan batu kerikil pada dua pria yang seperti sedang ingin menyakiti seseorang. Dua pria itu pun lari tanpa memperlihatkan wajahnya. "Ya Allah, innalillahi, Mbak Hani!" Syamil menghampiri Hani yang sudah terduduk lemas dengan derai air mata. Sudut bibirnya nampak terluka dan juga pipi yang biru. "Ya Allah, apa yang terjadi, kenapa mereka lakukan ini pada Mbak Hani?" Syamil yang bingung, terpaksa menggendong Hani, tetapi tidak mungkin melewati lorong yang tadi, karena sangat sempit. Tidak akan muat dilalui olehnya dan juga Hani. Maka Syamil memutuskan lewat gang yang bersebelahan dengan gang kosannya. Semua mata memandang Syamil dengan terheran. Pemuda itu berlari untuk membawa Hani pulang ke rumahnya. "Kenapa Mbak Hani?" tanya ibu tetangga yang sedang membeli siomay yang kebetulan lewat di depan rumahnya. "Ada yang ganggu, Bu. Tolong saya bukakan pintu rumah Mbak Hani, Bu. Kuncinya ada di gelang tangan Mbak Hani." Wanita setengah baya itu pun membantu membukakan pintu untuk Syamil dan Hani. Bahkan ia juga langsung ke dapur rumah Hani untuk membuatkan teh. "Bang, siomaynya dua lagi!" Seru ibu itu pada pedagang siomay. "Mbak, ayo minum!" Syamil mendekatkan bibir cangkir pada Hani. Wanita itu masih terisak ketakutan, tetapi ia mau menelan teh yang diberikan Syamil. "Neng Hani, makanya kemarin Ibu bilangin, jangan keluar malam. Di sini walau banyak mahasiswa, tetap saja rawan begal atau copet. Udah, jangan sedih, yang penting sekarang Mbak Hani aman." Ibu itu mengusap rambut Hani dengan lembut penuh keibuan. "Ini makan dulu somaynya, Ibu tahu, Mbak Hani pasti belum makan kan?" Hani mengangguk. Gadis itu masih bungkam saat Syamil dengan sabar ikut menyuapi Hani. Pemuda itu belum berani bertanya siapa yang tadi telah membuat Hani terluka. Hingga somay dalam piring tandas, Hani masih saja bungkam. "Syamil, buah jambu aku tadi kenapa kamu pakai buat lemparin perampok itu? Sekarang aku jadi gak punya jambu, padahal aku pengen banget! Aku minta tolong kamu tadi siang, sampai sore kamu gak balik-balik. Bikin aku sedih dan bingung. Aku mau makan jambu air, hua.... " Syamil dan Bu Retno saling pandang. Tanpa menunda lagi, Syamil berlari keluar untuk segera membelikan Hani buah jambu yang seperti ia lemparkan pada perampok tadi. Hari yang sungguh melelahkan. Setelah mendapatkan buah jambu sesuai keinginan Hani, wanita itu malah sudah tertidur. Syamil menggaruk kasar rambutnya menahan kesal. Tadi pingin jambu, udah dibeliin sampai keringetan lari, sampai di rumah dia malah tidur. Dasar wanita hamil, memang selalu labil! Bu Retno tertawa melihat ekspresi Syamil yang kesal. "Taruh saja di meja. Nanti kalau Hani terbangun, pasti dimakan. Kasihan wanita ini. Dia korban dari kesalahan orang tua dan keluarga, sehingga terpaksa mau dinikahi untuk menjadi istri kedua. Setelah ia hamil, istri tua dan suaminya yang dosen itu malah membuangnya kemari. Kamu baik-baik dengan Hani ya, Syamil. Hani terlihat pecicilan dan gak bisa diam, hanya untuk menutupi kesedihannya. Oh, iya, peristiwa malam ini, besok akan saya laporkan pada Pak RT. Jika nanti kamu dimintai keterangan, bisakan?" Pemuda itu mengangguk kaku. Ternyata Hani yang dilihat dengan mata secara langsung, sangat berbeda dengan aslinya yang penuh dengan ujian hidup. Untunglah wanita ini tidak depresi dan pantas saja calon kakak iparnya memintanya mengawasi Hani, karena memang wanita ini sangat butuh ditolong dan diperhatikan. Syamil pun pamit undur diri. Nasi bungkus yang ia beli tadi sudah tidak tahu di mana ia lemparkan tadi. Untunglah Bu Retno mentraktirnya siomay, sehingga rasa laparnya terobati. Begitu sampai di kamar kos, Syamil mandi karena badannya begitu lengket karena keringat. Setelah segar, Syamil menyempatkan memantau rumah Hani dengan teropong miliknya. Rumah sudah dalam keadaan gelap dan juga pintu sudah tertutup rapat. Tandanya Bu Retno sudah pulang dan Hani tinggal sendirian. Semoga saja wanita itu tidak apa-apa setelah menjadi korban perampokan. Batin Syamil. Kring! Kring! Ponselnya berdering. Syamil menurunkan teropongnya, lalu masuk ke dalam kamar. Ada nama Om Didin muncul di layar. "Halo, Om, assalamu'alaikum." "Halo, Sya, wa'alaykumussalam. Gimana kabar kamu dan gimana kabar Hani?" "Kabar saya buruk, Om, karena wifi habis." Terdengar suara tawa di seberang sana. "Oke, nanti saya kirim uang untuk kamu bayar wifi ya. Terus, Hani gimana? Apa masih pakai baju seksi?" "Kemarin udah pakai gamis, Om, tetapi dia buka lagi, gak betah, katanya gerah." "Oh, iya Mbak Hani baru saja kecopetan Om di dekat kosan. Untunglah saya datang tepat waktu. Sehingga gak ada yang hilang, cuma bibirnya terluka sedikit." Syamil pun menceritakan kronologi kejadian Hani sampai dengan masalah jambu air. "Sya, wanita hamil memang seperti itu. Cerewet dan banyak maunya. Kamu harus sabar dan belajar jadi suami siaga. Siapa tahu Hani nanti jadi janda, malah jodohnya sama kamu." "Om, saya pipis aja masih suka zigzag airnya, mana mungkin udah mikirin nikah. Apalagi sama janda yang pake bajunya gak pernah cukup bahan. Udah, ah, saya mau tidur dulu." "Tunggu, Syamil, saya mau minta tolong. Kalau ceritanya seperti yang kamu sampaikan tadi, saya rasa ini bukan perampokan biasa. Mungkin memang ada yang ingin melukai Hani dan bayinya. Saya titip dulu ya. Lusa saya mungkin ke Bandung. Usahakan Hani jangan keluar malam atau siang-siang sendirian." "Baik, Om Didin."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN