Pria yang bernama Didin sudah tiba di Bandung. Hari ini ia memang sedang ingin membawa bus tujuan Bandung untuk menemui Syamil, sekaligus melihat dari kejauhan sosok Hani.
Hani adalah anak dari wanita yang hampir membunuh putranya. Ia tidak dendam dengan gadis itu, justru ia iba dengan Hani. Dalam satu keluarga, hanya Hani yang benar, tetapi ia terjebak dengan pernikahan kontrak bersama dosennya. Untuk itu ia meminta Syamil untuk mengawasi Hani memastikan gadis itu baik-baik saja, meskipun di dalam hati dan pikiran gadis itu terluka.
"Om!" Teriakan Syamil membuat Didin menoleh. Syamil melambaikan tangan, lalu berlari menghampiri Didin dengan senyuman. Pemusat itu mencium punggung tangan calon kakak ipar yang sampai saat ini belum bisa ia panggil dengan sebutan Mas' , tetapi 'Om.
Mereka berada cafe yang letaknya tidak jauh dari kampus Syamil. Didin memang sengaja yang menjumpai Syamil agar ia bisa melihat juga keadaan Hani.
"Gimana, Hani?" tanya Didin pada Syamil.
"Masih begitu, Om. Pakai celana pendek terus." Syamil memutar bola mata.
"Coba sekali-kali kamu suruh pakai celana panjang."
"Gak mau, katanya gerah. Ini sebenarnya yang bikin saya agak takut, Om. Pakaian Mbak Hani itu mengundang mata lelaki jahat. Jika kebetulan ada saya sih, bisa saya tolongin kayak kemarin, kalau gak ada saya." Syamil menyesap kopi dingin pesanannya.
"Iya, juga, coba aja nasihati pakai celana panjang, Sya. Pelan-pelan tapi kasih tahunya. Mmm... atau gini deh, biasanya kalau wanita hamil itu suka pakai daster. Saya kasih uang wifi kamu dan uang buat beli daster Hani, gimana?" Syamil mengerutkan keningnya.
"Nggak, ah, nanti Mbak Hani GR, Om. Dikiranya saya naksir ibu-ibu modelan begitu, kalau saya belikan daster." Kali ini Didin tertawa melihat ekspresi sebal pemuda belia di depannya.
"Ya sudah, terserah kamu saja kalau gitu. Pokoknya saya titip Hani ya. Paling tidak, sampai Hani melahirkan. Setelah itu kita lihat, apakah suaminya menyusulnya ke sini. Mm, apa kamu pernah bertemu suaminya?" Syamil menggeleng.
"Sendirian terus, Om, makanya mungkin juga kesepian ya." Didin menghela napas. Jika ia pernah susah, maka hidup Hani lebih susah. Pada dasarnya ia anak baik, hanya saja tengah dipermainkan oleh takdir.
"Iya, makanya kamu sabar-sabar saja dengan Hani ya." Syamil mengangguk paham.
"Om Didin kapan nikah sama Teh Laila? Masih lama gak?"
"Dua minggu lagi. Makanya saya mau puas-puasin ngebolang keluar kota, karena kalau sudah nikah sama teteh kamu, saya mau jadi suami rumahan. Lelaki kamar." Syamil mencebik, sedangkan Didin malah terbahak.
"Lelaki kamar apaan?" tanya Syamil tidak mengerti.
"Nanti kalau kamu mimpi basah, baru saya kasih tahu, ha ha ha .... " Syamil semakin kesal dengan Didin. Pemuda itu bisa menebak, kalau bicara dengan Didin pasti ujung-ujungnya urusan perkamaran. Terkadang ia berpikir, bagaimana bisa pria dewasa hampir seumuran Abahnya, bisa menaklukan hati sekeras batu bata merah seperti Teh Laila-nya.
"Ayo, Om, kopi udah habis. Mumpung masih sore nih. Biasanya Mbak Hani suka nyapu di terasnya." Didin mengangguk. Ia membayar tagihan kopinya dan juga kopi Syamil. Lalu keduanya berjalan menuju kos-kosan pemuda itu. Di perjalanan, Didin dan Syamil mampir di warung makanan untuk membeli lauk matang.
Kring! Kring
Syamil menunjukkan pada Didin saat nama yang muncul di layarnya adalah nama Hanum.
"Siapa?" tanya Didin tanpa suara. Syamil melekatkan jari telunjuk dan juga jempol dengan menyilang. Ala-ala simbol korea.
"Halo, assalamu'alaikum, Hanum."
"Wa'alaykumussalam, Syamil. Saya mau minta tolong sama kamu. Adik saya ada PR bahasa Arab, kamu kan pinter ya. Ajarin adikku ya."
"Boleh, mau kapan?"
"Malam minggu nanti gimana? Kamu main aja ke rumahku, nanti aku kasih alamatnya."
"Oke, siap, Hanum."
Panggilan pun disudahi ketika kedua pria itu sampai di depan gerbang kosan Syamil.
"Mana rumah Hani?" tanya Didin sambil menoleh.
"Itu dia, baru aja keluar pintu. Ayo, cepat masuk, Om, nanti pasti saya.... "
"Syamil, sini!" baru saja ia hendak menyelamatkan diri dari Hani, gadis itu sudah memanggilnya dengan nada riang. Didin terkikik geli, lalu dengan kode gerakan mata, meminta Syamil untuk menghampiri Hani.
"Om lihat aja pakaian Mbak Hani itu, kekurangan bahankan?" Syamil menggaruk rambutnya yang tidak gatal. Seperti biasa, baju besar dan juga hot pants menjadi pakaian favorit Hani.
Ia berjalan menyeberang jalan untuk menghampiri Hani dengan malas, sedangkan Didin masuk ke dalam halaman kosan, sambil mengintip Syamil dari seberang.
"Duh, Mbak, kata saya jangan pakai celana pendek terus. Ampun deh! Kalau masih pake celana pendek, saya gak mau kalau di suruh atau dipanggil Mbak Hani lagi!" Syamil memejamkan matanya di depan Hani. Ia tidak mau menambah dosa mata karena melihat pakaian yang dikenakan Hani.
"Ish, udah aku bilang, kalau aku itu gerah. Ya udah tunggu, aku ganti celana panjang deh. Aku mau minta tolong soalnya." Hani berjalan cepat masuk ke dalam rumah, meninggalkan Syamil yang masih berdiri di depan rumah Hani, tetapi kedua matanya sudah ia buka lebar. Syamil menoleh ke belakang. Pria bernama Didin masih memantaunya dari seberang sambil memberikan jari jempol pada Syamil.
"Syamil, ini lihat! Semua udah aku ganti biar kamu gak tutup mata kalau bicara sama aku." Hani tersenyum amat lebar. Bahkan ia berputar di depan Syamil dengan begitu percaya diri setelah mengenakan celana panjang. Pemuda itu buru-buru memejamkan matanya kembali.
"Mbak, hot pants-nya emang udah bener diganti dengan celana panjang, tapi itu kenapa jadinya baju Mbak Hani malah ditukar juga jadi keliatan ketek. Baju mah udah yang tadi bener. Astaghfirullah, tobat gue!"
"Oh gitu, ya udah, aku ganti lagi." Hani masuk ke dalam rumah untuk mengganti pakaiannya lagi.
"Ini, Syamil, aku udah gak pakai baju terbuka." Syamil masih menunduk.
"Kalau bohong, dosa loh!" Kata Syamil tidak yakin.
"Iya, makanya lihat aja sini! Angkat wajah kamu! Semua udah tertutup." Hani tak sabar dengan kelakuan bocah kecil yang sedari tadi ribut dengan pakaian yang ia kenakan.
"Ya Allah, Mbak, bukan selimutan bed cover juga kali, ha ha ha... astaghfirullah, gila gue bisa gila!" Hani menggulung tubuhnya di dalam bed cover hello kitty dan hanya memperlihatkan kepalanya saja.