4. Hani Dilarikan ke Klinik

969 Kata
"Sudah sana berangkat ngampus! Aku gak papa." Hani mengangkat suaranya begitu ia sudah siuman dari pingsan. "Udah terlambat. Mau masuk juga udah gak semangat." Syamil bangun dari duduknya, lalu mengambilkan minum untuk Hani. Pemuda itu mengulurkan ujung sedotan pada bibir Hani yang seksi. Dengan cepat Syamil menggelengkan kepala agar tidak terlalu fokus pada bibir Hani yang padat. "Udah, Syamil, apa yang mau disedot, orang airnya udah habis!" Syamil menggaruk rambutnya yang tidak gatal, diikuti seringai lebar. Pemuda itu meletakkan kembali gelas yang telah kosong di atas nakas. Ia ingin pulang, tetapi ia tidak tega juga dengan Hani. Ingin bertanya lebih detail tentang suami atau keluarga wanita itu, tetapi rasanya sungkan. "Sya, ini udah jam satu, kamu makan dulu sana! Aku gak papa kok. Kata dokter klinik juga aku cuma kecapean aja. Bayi aku juga sehat. Sore ini mungkin aku sudah boleh pulang juga. Jadi kamu jangan terlalu khawatir." Hani tersenyum penuh hangat. Jauh di dalam hatinya sangat bersyukur bertemu pemuda baik seperti Syamil. Jika tidak ada pemuda itu, tentulah tidak akan ada yang tahu ia pingsan seorang diri di dalam rumah. "Nanti saja, belum lapar," jawab Syamil santai. "Ish, aku mau buka selimut ini, ganti baju. Kamu mah tega, masa aku dipakein gamis. Ini lagian gamis siapa?" Hani menggaruk lehernya yang gatal. Gerah, sumuk, sehingga ia ingin mengganti pakaiannya. "Makanya kalau mau pingsan itu bajunya yang sopan. Masa pakai tank top doang sama celana pendek. Bayinya nanti kalau masuk angin gimana? Ya udah, saya pinjam gamis ibu samping rumah Mbak Hani aja." "Ya kali gue mau pingsan siap-siap dandan, ganti baju pakai gaun pesta, make up, pake parfum, pingsan ya pingsan aja!" Balas Hani dengan memberengut. Syamil tertawa sambil mengunyah permen karet. Rasanya seru juga dicereweti perempuan, karena dua wanita di rumahnya yaitu ummi dan tetehnya gak ada yang cerewet. Semua kalem dan cerewet hanya pada saat tertentu saja. "Sya, kamu punya uang gak?" "Nggaklah, ada sih buat makan doang, kenapa?" "Mau minta tolong belikan rujak jambu air. Uangnya aku ada di rumah." Hani setengah memohon. Wanita itu menelan air liurnya karena tiba-tiba ingin makan rujak jambu. "Nanti sore, pas aku pulang, aku gantiin." Syamil mengangguk setuju. Pemuda itu pun pergi mencari buah jambu sesuai keinginan Hani. Sudah cukup jauh ia berjalan, tetapi pedagan rujak buah keliling belum juga ia temui. Alhasil, Syamil memutuskan untuk mampir di warung makan untuk makan siang. Setelah perutnya kenyang, Syamil melanjutkan perjalanan mencari buah untuk Hani. Karena sudah cukup lama berkeliling dan tidak menemukan apa yang diinginkan, maka Syamil membelikan Hani buah jeruk Medan yang ternyata sedang murah. "Syamil, kamu Syamil'kan?" tegur seorang remaja wanita seumuran dengannya. Pemuda itu memicingkan mata, mencoba mengingat wajah manis wanita berkerudung lebar dan juga berkacamata ini. "Iya, saya Syamil, Mbak siapa ya?" "Saya Zulaikha Hanum. Biasa dipanggil Hanum. Saya yang kemarin bareng kamu ospek, tapi kamu gak masuk dua hari ya?" "Oh, iya, kalau gitu kita seumuran. Aku panggil Hanum aja ya?" Syamil tersenyum manis. Ia terpesona dengan sosok remaja yang menutup auratnya dengan baik. Kerudung besar itu berkibar ditiup angin, sehingga menamba kesan elegan wanita muslimah. Hanum mengangguk, membalas senyuman Syamil dengan tak kalah sumringah. "Sekarang kamu sudah sehat? Kenapa tadi gak masuk? Waktu perkuliahan besok dimulai loh." "Oh, iya, Hanum, kakak saudara saya sakit, jadi saya gantian yang urus beliau. Ini saya disuruh belikan buah." Syamil dan Hanum terus berbincang seru tentang dunia kampus. Pemuda itu lupa, ada Hani yang tengah menunggunya sampai berlinangan air mata. Ia sangat ingin makan buah jambu, tetapi Syamil tidak kunjung kembali. "Ini obatnya diminum rutin ya, Mbak Hani. Kalau bisa jangan memikirkan hal berat dulu. Usahakan jangan pingsan lagi ya." Hani mengangguk paham. Obat yang dimasukkan ke dalam plastik itu ia bawa pulang setelah semua administrasi ia bayarkan. Untunglah ponselnya ada M-banking sehingga ia bisa membayar perawatannya sendiri tanpa perlu menyusahkan orang lain. Dengan ojek online, Hani pulang tanpa menunggu Syamil. Ini sudah jam empat sore, sehingga tidak mungkin Syamil pergi meninggalkannya sangat lama. Bisa saja pemuda itu memang sedang ada urusan. Saat duduk di boncengan, tanpa sengaja ia melihat Syamil dan seorang wanita berkerudung besar yang wajahnya sama belianya dengan pemuda itu. Pantas saja Syamil tidak balik-balik ke klinik. Kenapa tidak dipanggil? Tidak, ia tidak akan mau mengganggu keseruan Syamil dengan teman wanita yang setipe dengan dirinya. Begitu sampai di rumah, Hani pun mengunci pintu. Ia memutuskan mandi air hangat agar tubuhnya kembali segar. Kring! Kring! "Halo." "Halo, Mbak Hani, aduh maaf, saya sampai lupa kalau Mbak Hani menunggu saya di rumah sakit. Ini tapi kata suster Mbak Hani sudah pulang naik ojek." "Iya, gak papa. Jambunya dapat gak?" "Nggak, Mbak, adanya jeruk." "Ya udah kalau gitu gak jadi. Makasih kamu udah mau aku repotin ya. Aku mau mandi dulu." Hani memutus panggilannya. Ia memaklumi Syamil yang masih muda dan tentu saja berbeda dunianya dengan dunia kelam yang saat ini ia jalani. Ia tidak boleh selalu mengharapkan Syamil ataupun mengandalkan remaja itu, karena memang dunia mereka berbeda. Ibu dipenjara, ayah sudah lama tidak ada. Kakak hidup serba kekurangan, lalu dirinya malah menjadi istri kedua yang dibuang. Tidak ada yang mau bernasib menyedihkan seperti dirinya, tetapi ini sudah takdir dan ia harus menjalani dengan lapang d**a. Pukul delapan malam, Hani keluar untuk mencari jambu air. Rasa penasaran dan ngidamnya begitu kuat, sehingga ia merasa sedih jika tidak bisa menikmati rujak buah jambu itu dengan segera. Tujuannya adalah minimarket super berwarna merah yang isi tokonya lumayan lengkap. Ada banyak buah potong di sana, mulai dari nanas, semangka merah, semangka kuning, buah naga, mangga, jeruk, pir, dan masih banyak lagi yang lainnya. Untunglah apa yang ia inginkah tersedia juga di etalase buah. Lekas Hani mengambil secukupnya untuk ia bawa pulang. Srek! Brak! "Aw! S-siapa kalian? Apa yang... mmmppp!" Dua pria bertubuh besar menarik Hani ke balik tembok besar. Buah jambu terlepas dari tangannya, begitu juga dengan sebelah sandal karena ia memberontak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN