Tidak terasa di kelas Tamara perlahan mulai ramai. Tamara yang belum memiliki teman yang akrab hanya diam saja sambil mengeluarkan satu per satu buku dan meletakkannya di atas meja. Beberapa menit kemudian guru mulai masuk ke dalam ruang kelas melihat semua murid sudah berkumpul.
"Anak-anak, mari kita kenalan dengan anak baru ya. Sini Nak, maju ke depan, perkenalkan diri kamu," kata Lea yang merupakan guru yang mengajar disana.
Tamara beranjak dari kursi berjalan ke depan kelas. Saat sudah di depan, Tamara mulai memperkenalkan dirinya dengan detail. Setelah selesai memperkenalkan dirinya Tamara kembali duduk di kursi lalu guru tersebut mulai menjelaskan pelajaran.
Tet Tet
Bel Istirahat berbunyi. Tidak terasa waktu jam istirahat sudah tiba. Ibu guru mereka menutup sesi mengajarnya, semua murid keluar dari kelas kecuali dua orang yang masih berada di kursinya. Tamara yang belum terlalu akrab dengan siapa pun memilih untuk tetap di kelas, sedangkan orang yang duduk di belakangnya tidak tahu mau ngapain masih di kelas.
"Hei," panggil orang tersebut.
Tamara merasa ada suara orang memanggil dari belakang menolehkan kepalanya belakang. Ia melihat seorang anak laki-laki yang tempat duduknya di belakang kursinya.
"Hai juga, kamu kok masih di kelas?" tanya Tamara.
"Aku sama seperti dengan dirimu, susah untuk bergaul dengan orang baru," jawab orang tersebut.
"Oh begitu. Namamu siapa?" tanya Tamara.
"Theo. Ayo kita main bareng yuk, di luar ada tempat bermain yang sangat seru," kata Theo.
"Ayo," balas Tamara.
Mereka berdua beranjak dari kursinya lalu berjalan keluar kelas menuju taman bermain. Sesampainya di sana, mereka melihat berbagai macam mainan yang sangat banyak. Theo menarik tangan Tamara berjalan menuju mainan jungkat jungkit.
"Kita main ini yuk," kata Theo.
Tamara menganggukkan kepalanya, lalu mereka duduk di tempat masing-masing dan mereka langsung memainkan jungkat jungkit tersebut. Saat Tamara yang berada di atas, ia akan berteriak senang dan sama juga dengan Theo yang melakukan hal yang sama. Tanpa mereka sadari ada seorang anak laki-laki yang mengamati mereka. Anak tersebut mengepalkan tangannya lalu ia berjalan dengan cepat menuju tempat Tamara berada.
"Hei, jauhkan dirimu dari adikku!" teriak Justin sambil menarik tubuh Theo hingga tersungkur ke tanah.
Seketika Tamara yang melihat tingkah kakaknya turun dari jungkat jungkit lalu menghampiri Theo. Tamara memeluk tubuh Theo tapi tangannya ditepis oleh Justin.
Bugh bugh bugh
Justin memukul Theo dengan kencang hingga memberikan bekas lebam yang sangat banyak, tapi Theo yang sudah lemah tidak bisa melawan. Para guru mulai mendatangi Justin dan mereka berusaha melerai pertengkaran tersebut. Saat sudah berhasil dilerai, Lisa yang merupakan kepala sekolah menyuruh mereka bertiga untuk ikut ke ruang kepala sekolah.
"Saya akan menghubungi kedua orang tua kalian atas perilaku buruk yang telah kalian lakukan di sekolah ini," kata Lisa.
Justin hanya cuek saja dan terkesan sangat santai, berbanding terbalik dengan Theo yang merasa takut dengan ayahnya. Kepala sekolah mereka menelepon orang tua Theo dan Justin. Lisa hanya bisa menggeleng-gelengkan kepalanya melihat tingkah dua bocah di hadapannya.
"Mumpung orang tua kalian belum datang, kalian silahkan ceritakan kejadiannya kenapa kalian berantem?" tanya Lisa.
"Ini semua salah Theo, Bu," kata Justin dengan ketus.
"Loh kok jadi aku sih yang salah, aku kan cuma mengajak main Tamara," balas Theo.
"Kak Justin yang salah!" teriak Tamara dengan berani
Justin menatap tajam Tamara yang membela pria lain di hadapannya.
"Sudah jangan bertengkar, kalian ini bikin kepala Ibu pusing," kata Lisa menghentikan pertengkaran yang terjadi lagi di hadapannya.
Tok tok tok
Terdengar suara ketukan pintu di luar. Lisa menyuruh orang di luar masuk ke dalam, dan terlihatlah orang tua Justin dan Theo yang sudah datang.
"Maaf, Bu. Ada masalah apa anda sampai harus memanggil saya?" tanya Romeo.
"Iya, ada masalah apa, ya?" tanya Tere menatap tajam anaknya.
"Begini, Tuan dan Nona, anak kalian sudah menyebabkan keributan di sekolah," jawab Lisa.
Romeo melirik ke Justin lalu ia merangkul putranya dan meminta Justin menceritakan apa yang terjadi hingga Justin memukul Theo. Justin menceritakan semuanya dan Romeo yang sudah paham bahwa anaknya tidak suka jika ada anak laki-laki lain mendekati Tamara. Romeo mengusap lembut rambut Justin lalu ia menatap Lisa.
"Bu, begini aja, kita anggap saja masalah ini kelar. Lagian apa yang dilakukan Justin itu benar kok, dia hanya tidak ingin adik perempuannya didekati pria lain," kata Romeo santai.
"Hei, Pak! Anda tidak lihat, anak saya sudah babak belur begini, anda masih bilang masalah ini selesai, hah!" teriak Tere.
"Saya lihat kok, lagian wajar kalau anak cowok berantem atau anda mau saya bawa ke hukum dan mengatakan bahwa anak anda berniat melakukan hal buruk kepada putri saya, hmm?" tanya Romeo.
Di sana, Tamara yang ingin mengungkapkan bahwa semuanya bukan salah Theo dipelototi tajam oleh Justin sehingga tidak berani berbicara.
"Baiklah, saya anggap ini kelar. Theo kamu jangan mau berteman dengan anak itu," kata Tere.
Theo hanya diam saja, sedangkan Romeo menggendong Tamara lalu membawanya keluar dari ruangan tersebut menuju mobilnya yang terparkir di parkiran diikuti Justin di belakang mereka setelah berpamitan kepada Lisa. Romeo dengan hati-hati meletakkan Tamara ke kursi penumpang lalu ia masuk ke dalam mobil.
"Pa, yang salah itu Kakak bukan Theo," kata Tamara.
Romeo yang tahu bahwa Justin sudah mulai posesif kepada Tamara hanya menghelakan napasnya. Ia berpikir bagaimana caranya agar Tamara mau menuruti semua keinginan Justin, putranya. Romeo mengusap lembut rambut panjang Tamara lalu ia berusaha menasihati Tamara.
"Sudah, Tamara. Di sini Justin tidak salah, dan seharusnya kamu menurut dengan kakak kamu, Sayang," kata Romeo.
"Tapi Pa, aku kan hanya ingin berteman dengan Theo," balas Tamara sambil menitikkan air matanya.
"Sudah, Tamara, jangan membantah. Turuti saja kakak kamu karena semua omongan kakak kamu pasti yang terbaik," kata Romeo tegas.
Tamara semakin menangis kencang, tapi Romeo tidak memperdulikannya. Saat ini Romeo hanya ingin putranya bahagia. Perlahan mobilnya mulai berjalan menuju rumahnya dengan kecepatan sedang.
"Tuh kan, kamu sih enggak mau dengerin omongan Kakak, jadinya papa marah sama kamu deh," kata Justin dengan nada mengejek.
"Tapi kan Tamara hanya mau berteman dengannya Kak," balas Tamara.
"Kamu hanya cukup berteman dengan Kakak aja, Tamara. Kalau kamu mau berteman hanya boleh dengan yang perempuan, jangan cowok atau Kakak akan melakukan hal yang sama seperti tadi Kakak lakukan ke pria itu," kata Justin.
Tamara hanya diam saja dan terus menangis sesegukan, sedangkan Justin hanya diam saja memperhatikan Tamara yang terus menangis. Romeo yang melihat keposesifan putranya ke Tamara hanya tersenyum kecil.
"Sudah, Tamara, jangan menangis. Nanti air mata kamu habis," kata Romeo lembut.
Seketika Tamara yang takut air matanya habis mengusap air mata yang mengalir di pipinya lalu ia berusaha menghentikan tangisnya.
"Pa, kita mau ke mana?" tanya Justin.
"Tentu saja kita akan pulang ke rumah," jawab Romeo.
"Kita enggak pergi ke tempat lain, Pa?" tanya Justin.
"Tidak, Nak. Sepertinya kita harus berusaha menenangkan adik kamu yang dari tadi nangis," kata Romeo pelan agar Tamara yang sudah tertidur tidak mendengar pembicaraannya dengan Justin.