Naira menggeliat dalam tidur. Lengan kekar Jimin masih melingkar di atas perutnya. Kepalanya menempel terlalu dekat di ceruk leher, hingga napasnya, berhembus menyentuh kulit lehernya.
Terdiam dalam lamunan, netra wanita itu menggenangkan air mata. Rasanya terlalu menyakitkan baginya berada dalam posisi seperti ini. Di sisi lain Niara ingin bahagia, tetapi dalam waktu yang sama nuraninya meronta. Ingin kembali pulang dan tidur dalam pelukan suami.
Katakan saja Jimin memang jauh lebih baik dari Jack, tetapi itu tak bisa jadi alasan baginya untuk mengkhianati Jack. Sosok autis itu butuh lebih dari sekedar perhatian. Sama seperti Tony, Jack butuh lebih banyak cinta.
Saking tenggelamnya Naira dalam rasa bersalah, tanpa disadarinya sebuah kecupan telah mendarat di pipi kanan.
"Apa yang kau pikirkan, heum?"
Naira menoleh pada Jimin, mengulas senyum hangat lalu menggeleng. "Kusiapkan air untuk mandi, ya."
"Tidak, ini masih terlalu pagi." Jimin mengeratkan pelukannya pada Naira. "Tetaplah seperti ini, semalam aku begadang menonton bola, jadi hari ini aku tak akan ke kantor, aku hanya akan memelukmu dengan erat. Yang lainnya biar diurus Rendy."
"Enak, ya, kalau jadi bos." Melihat Jimin yang bersikap manja, Naira pun berinisiatif untuk membalik badan menghadapnya. Menarik pria itu dalam pelukannya lalu mengusap rambutnya dengan lembut dan memberinya sedikit pijatan.
Jimin terseyum. Kehangatan yang tercipta di antara mereka membuatnya lega. Ia merasa bahwa tak lama lagi cintanya pada wanita itu akan berbalas sempurna.
"Naira, boleh aku tahu perasaan apa yang kau rasakan jika bersama Jack?"
"Maksudmu?" Naira mengerutkan dahi. "Tentang cinta? Apa pertanyaanmu mengarah ke situ?"
Jimin mengangguk di dalam pelukannya. Sementara Naira tersenyum getir. "Kau tahu sangat sulit jatuh cinta pada sosok yang memiliki karakter spesial seperti Jack. Kurasa kau pun pasti tahu hal itu. Tapi, mengkhianatinya seperti ini juga bukan pilihan, Jim. Aku mungkin tak bisa mencintai saudaramu, tapi aku tahu Jack butuh lebih banyak cinta ketimbang dirimu."
Setiap kata yang keluar dari bibir manis Naira, nyatanya selalu mampu melumpuhkan semua keyakinan Jimin. Mengikis pendapat bahwa semua wanita itu sama, Jimin pun hanya bisa mengeratkan pelukan pada wanita itu.
"Terima kasih telah memandang Jack dengan cara yang luar biasa." Akhir dari sebuah pemikiran bodoh yang selama ini ia pendam, pun memaksa Jimin untuk mengaku kalah dari ketulusan Naira. Mungkin inilah saatnya ia mengakui semuanya.
Cukup lama saling memeluk dengan hangat, Naira memutuskan untuk bangkit tepat ketika Jimin ingin melakukan pengakuan. Pria itu pun membungkam mulut kembali. Memilih membiarkan Naira masuk ke kamar mandi.
"Kau benar-benar baik," gumam Jimin menyematkan senyum di bibir. Menyusul Naira yang sudah meninggalkan ranjang, Jimin pun bangkit, mengambil bajunya yang tersampir di sandaran sofa. Ia mengambil ponsel yang ada di atas nakas.
Pintu kamar mandi terbuka. Naira telah mengenakan bajunya. Ia pun melangkah menuju pintu. "Jim, aku akan ke kamarku untuk bersiap. Juga membuat sarapan. Kalau kau butuh sesuatu kau panggil saja."
Jimin yang baru menyelesaikan acara meneleponnya di balkon kamar berjalan mendekat. "Naira, aku ingin mengajakmu ke suatu tempat jadi hari ini kau tak usah masak. Kita akan sarapan di luar. Semua pekerjaan kantor juga sudah dihandel Rendy dan Selina."
"Ke mana?"
"Ikut saja," sahut Jimin, mengambil handuk yang tersampir di samping lemari. "Kau bersiap saja. Kemudian tunggu aku. Aku mau mandi."
Naira enggan membantah, memilih untuk beranjak ke kamarnya. Memakai gaun asimetris dress dengan motif suffle, dengan heels 11 centi membuat tubuh mungilnya terlihat lebih manis, dengan kaki yang tampak jenjang. Rambutnya dibiarkan tergerai dengan sapuan make-up tipis di wajah.
Naira banyak belakar cara merias diri setelah dirinya resmi menjadi nyonya Venien. Kata Michael, dirinya harus bisa merubah penampilan demi menjaga martabat keluarga kaya itu.
Sejenak mematut diri di depan cermin, Naira pun mengambil tas yang bertengger di atas meja. Ditaruhnya tali tad di lengan kemudian ia berjalan keluar ruangan.
Langkahnya terhenti tat kala melihat Jimin keluar dari kamarnya. Pria itu selalu tampan seperti biasa. Kali ini dirinya memakai pakaian yang lebih casual. Celana jeans panjang dengan kemeja garis berlengan pendek membalut tubuhnya. Ia memakai kaca mata hitam. Sementara rambut tersampir ke belakang.
"Ayo." Jimin mengulurkan tangan membuat Naira menghela napas. Dengan sangat terpaksa ia menyambut uluran tangan Jimin membuat jemari mereka saling bertautan. Berdua mereka pun pergi meninggalkan rumah.
"Sebenarnya kita mau ke mana?" tanya Naira setelah acara sarapannya di salah satu restaurant Jepang sudah selesai. Mereka kembali ke mobil untuk melanjutkan perjalanan.
"Kita akan ke kantor imigrasi. Aku yakin kau belum punya paspor maupun visa benar, 'kan?" Mobil mulai melaju meninggalkan parkiran. Ia melempar senyum manis saat menemukan raut kebingungan di wajah Naira.
"Tapi untuk apa semua itu?"
Sekali lagi Jimin melirik Naira. Kemudian mengatur laju kecepatan saat melihat seseorang menyeberang jalan tidak pada tempatnya. "Kita akan ke Jepang. Akan kukenalkan kau pada ayah dan ibu. Bukankah mereka tak datang di hari pernikahan kalian."
"Tapi ...." Naira menunduk. Ada keraguan dalam dirinya. "Bagaimana mungkin aku pergi ke Jepang denganmu, bukan dengan Jack? Ini dosa besar, Jim."
Lampu merah membuat Jimin menghentikan mobilnya. Ia mengulas senyum, menyentuh tangan wanita di sebelahnya. "Kau percaya saja padaku, heum. Tak akan ada masalah, aku janji. Tak akan ada dosa juga."
Netra mereka bersitatap, Naira merasa ada sesuatu yang menggelitik hatinya. Imajinasinya terbang ke mana-mana membuatnya diam. Sampai kemudian Jimin meniup wajahnya barulah ia mengerjap pelan.
"Apa yang kau pikirkan? Ketampananku?"
"Cih," desis Naira melepaskan tangan dari sentuhan Jimin. Ia menoleh ke jendela dengan wajah merona. Sementara Jimin mengulas senyum simpul. Kemudian kembali melajukan mobilnya.
Beberapa menit perjalanan, mereka pun tiba di kantor imigrasi. Naira memutuskan diam saja saat Jimin menuntunnya untuk turun. Menemui seseorang yang sudah lebih dulu dihubungi Jimin.
"Jadi diakah istri Anda?" tanya orang itu membuat Naira menoleh pada sosok Jimin yang terlihat biasa saja dengan pertanyaan itu.
"Iya, dia Naira Jimin Venien," sahut Jimin.
"Anda cantik sekali, Nyonya Venien. Kenalkan, saya Fajril yang akan membantu Anda mengurus surat-surat yang diperlukan untuk bisa pergi ke Jepang."
Dengan perasaan canggung Naira menerima uluran tangan Fajril. Dengan bantuan pria itu semua urusan di kantor imigrasi bisa berjalan lancar. Meski mereka harus menunggu di sana sampai sore hari tiba, setidaknya paspor sudah bisa dikantongi Naira. Sementara urusan visa, Fajril pun berucap akan menghandlenya sampai selesai. Sistem percaloan masih kental sekali terasa di sana.
"Jim, tau dari mana kalau Fajril itu salah satu calo di kantor itu?" tanya Naira ketika mobil Jimin meninggalkan kantor itu di sore hari.
Jimin melirik Naira sekilas lalu tersenyum. "Aku punya banyak orang kepercayaan yang bisa menangani banyak hal, jadi hal sekecil itu sangat mudah bagiku."
Naira tampak mengangguk, kemudian mengabaikan keberadaan pria itu. Dilihatnya sosok anak kecil menggendong kotak semir berdiri di pinggir jalan. Wanita itu menelan ludah.
Dahulu dirinya bukan anak-anak yang menawarkan jasa semir pada orang-orang yang lalu lalang. Setiap sepulang sekolah, ia akan menjajakan dagangan yang dibuat oleh tantenya, jika habis semua Naira hanya akan diupah Rp 5.000,- dan sebungkus nasi jinggo. Biasanya nasi itu akan diberikannya pada Tony.
Selesai berjualan, Naira berkeliling ke rumah tetangga menawarkan diri menjadi tukang cuci atau tukang setrika. Bahkan juga jadi tukang bersih-bersih kebun. Apa pun dilakukannya guna menyambung hidup dan membelikan obat penawar rasa sakit untuk sang ibu.
"Jim, ...." Suara Naira langsung lenyap saat Jimin menepikan kendaraan.
"Aku tahu apa yang kau pikirkan." Jimin mengusap rambut Naira dengan sangat lembut. Kemudian membungkukkan badan melepas kedua sepatunya. "Pergilah, berikan ini pada anak itu."
Tak percaya dengan yang didengarnya, Naira menatap Jimin haru. Tanpa sadar ia memeluk pria itu sambil menitikkan air mata. "Terima kasih," ucapnya. Baru keluar menenteng sepatu itu.
Jimin menghela napas. Dadanya bergemuruh saat Naira tiba-tiba mendekapnya. Dilihatnya Naira kini berjongkok sambil bercengkrama dengan anak gadis berpakaian lusuh itu. Entah apa yang mereka tuturkan.
Sesaat Naira berdiri, melihat sekeliling, lalu beranjak menuju minimarket tak jauh dari sana. Semua yang dilakukan wanita itu tak luput dari tatapan Jimin. Pria itu tak berhenti mengulas senyum simpul.
"Andai kau tahu siapa aku, apa kau akan bahagia, Naira," gumam Jimin. Ia merogoh dompetnya, memerhatikan foto pernikahan yang dipasang di dompet itu. "Semakin hari kau semakin membuatku jatuh cinta." Diciumnya foto itu, lalu menutup dan memasukkannya kembali ke saku celana.
Beberapa menit berlalu, Jimin masih menunggu Naira di dalam mobil. Ia memainkan ponselnya, mengontrol pekerjaan yang ditinggalkan dari sana. Sesaat kemudian ia melirik Naira yang sudah cukup lama ada di luar sana.
Jimin mengerutkan dahi menatap sosok pria yang kini tengah berbincang dengan wanita itu. Sepatunya sudah mengkilap, sepertinya urusan dengan si anak kecil pun sudah selesai. Akan tetapi, Naira tampak belum bisa meninggalkan pria paruh baya yang bicara padanya.
Cukup lama Jimin memerhatikan interaksi mereka, sampai kemudian Naira membalik badan. Ia menghapus sesuatu di pipinya, sebelum berderap cepat menuju pria yang menunggunya.
"Jim, maaf agak lama," ucapnya setelah membuka pintu mobil. "Ini sepatumu."
Segera diterimanya sepatu itu, memakainya dengan cepat sebelum menghadap Naira kembali.
"Siapa pria itu?" tanya Jimin tanpa basa-basi.
Wajah Naira berubah pias. Ia begitu gugup hingga membuatnya menundukkan kepala.
"Naira ...." Jimin memanggil lembut, mengangkat dagu wanita itu. "Jangan takut padaku, ceritakan semua rahasiamu."
Setitik air mata jatuh membasahi pipi sang wanita. Jimin segera mengusapnya dengan ibu jari. Tanpa permisi ia menarik wajah wanita itu dan menjatuhkan ciuman di bibirnya. Melumatnya lembut, kemudian melepaskannya tanpa menjauhkan wajah.
"Apa dia ... ayahmu?" tanya Jimin menatap lekat netra Naira yang berair. Setelah wanita itu mengangguk, Jimin segera menarik tubuh Naira merangkulnya dalam pelukan. "Menangislah, aku ada di sini untukmu, Naira."
Merasakan kehangatan yang diberikan pria itu, Naira pun hanya bisa menangis sesenggukan melepas rasa sakit yang menyanyat hatinya sejak bertahun-tahun lamanya.