Part 18 Tak Ingin Menyakiti Jack

1785 Kata
    Jimin masih mematut diri beberapa saat di depan pintu ruang kerjanya. Setelah menimbang cukup lama dengan sekotak nasi yang dipesan di salah satu restaurant, ia pun membuka pintu itu. Hal pertama yang dilihatnya adalah Naira yang terduduk di kursinya dalam keadaan menunduk. Tubuhnya masih gemetar dengan sisa isakan kecil masih terdengar darinya. Jimin pun menutup pintu dan menguncinya dari dalam.     "Aku bawakan makan siang untukmu." Diletakkannya kotak berisi makan siang itu di atas meja. Ia melirik Naira yang bergeming, disusul suara isakan yang kembali terdengar menyayat.     "Aku tak tahu apa dosaku di masa lalu hingga semua orang memperlakukanku seperti ini."      Jimin mematung mendengar ucapan Naira yang begitu getir. Ada rasa penasaran dalam hatinya untuk mendengarkan apa yang akan dikatakan perempuan itu selanjutnya.     "Aku tak pernah sekalipun berharap untuk menjadi orang kaya. Yang kuinginkan selama ini hanya mengumpulkan uang untuk mengobati ibuku yang sedang sakit. Juga untuk membantu mewujudkan impian Tony." Naira menjeda ucapannya. "Bertahun-tahun lalu, ayah meninggalkan kami saat ibu jatuh sakit dan tidak melakukan apa pun untuk membantu memberinya uang judi. Ia memilih pergi, menganggap kami tak berguna, menganggap kami sebagai benalu, padahal selama ini yang bekerja keras demi menghidupi keluarga adalah ibuku."     Tangan Jimin seketika mengepal mendengar penuturan wanita itu yang terus meluncur dari bibirnya. Sementara di tempatnya Naira masih tersu bicara dengan isakan yang tak berhenti keluar dari bibirnya. 'Apakah aku sudah sangat keterlaluan?' tanya Jimin dalam hatinya.     "Setelah itu, aku mulai bekerja sendiri, membanting tulang untuk bisa sekedar membli makan juga membeli obat agar ibu bisa menahan rasa sakitnya. Mengawasi ibu yang beberapa kali mencoba bunuh diri karena merasa menjadi beban. Aku mengorbankan sekolahku, dan memilih menyelesaikan sekolah lewat kejar paket C. Kau mungkin tak mengetahuinya itu apa. Tapi hari ini kukatakan padamu kalau, paket C adalah sekolah yang diperuntukkan untuk mereka yang sudah putus sekolah, dan tak punya biasa untuk melanjutkan sekolah mereka."      Naira perlahan bangun dari tempat duduknya, menghapus air mata yang membasahi pipi, ia mendekati Jimin yang masih mematung di tempat. "Aku telah melakukan banyak hal untuk ibuku, Jim. Dan ketika Michael menawarkan perjanjian itu, aku merasa inilah saatnya aku menyembuhkan ibuku. Uang yang kukumpulkan dari bekerja di restaurant sampai kapan pun tak akan cukup untuk mengobatinya. Karena itulah aku merendahkan diriku begitu rupa untuk ibu dan adikku. Aku sangat berterima kasih pada Jack yang telah datang menjadi utusan Tuhan untuk merubah keadaan orang tuaku. Kau tahu, sekarang ibuku sudah sembuh, Tony pun sudah mendapatkan sekolah yang diinginkannya. Aku sangat bahagia."     Menarik napas sejenak, Naira melepaskan kancing jasnya satu per satu. Hal itu sontak membuat Jimin sedikit bingung. Namun, masih enggan bergeming. Ia ingin melihat apa yang akan dilakuka Naira selanjutnya.      Jas Naira pun terlepar mengenaskan di atas lantai. Wanita itu tetap melangkah mendekati Jimin. Perlahan tangannya melepas kancing teratas kemeja yang dikenakannya, lalu menyusul kancing ke dua dan ketiga hingga bagian dadanya kini terlihat ke permukaan. "Kau tahu kenapa aku tak mengatakan apa pun pada Jack. Karena aku tahu orang seperti Jack tak bisa berpikir jernih jika mengetahui hal-hal yang menyakitinya." Naira dengan berani mengalungkan tangan pada leher Jimin.      "Aku sangat tahu bagaimana rasanya hidup dengan seseorang yang autis. Sama sepertimu yang hidup dengan Jack, Aku yakin kau pun jauh lebih tahu apa yang akan terjadi pada Jack jika tahu apa yang sudah menimpa istrinya. Apalagi orang-orang yang menipunya merupakan orang kepercayaannya. Jadi apa menurutmu aku akan melakukan hal itu?"     "Apa menurutmu aku akan berkata jujur pada Jack." Naira dengan berani menarik tengkuk belakang Jimin. "Aku tak akan mengatakan apa pun padanya. Sampai kontrak berakhir. Semua rasa sakit ini akan kupendam sendiri, Jimin," bisiknya lalu memagut bibir pria itu.     Jimin terkesiap. Apa yang dikatakan Naira benar adanya. Sesaat Jimin teringat pada masalalu yang menimpa kehidupan Jack beberapa tahun lalu. Tersadar akan kegilaan Naira yang melumat bibirnya dengan intens, Jimin pun mendorong tubuh wanita itu.     "Kenapa, Jim? Bukankah kau sangat ingin melakukannya denganku?" Naira kembali melepas kancing bajunya, bahkan mulai menurunkan pakaian itu hingga tubuh mulusnya benar-benar terekspose. "Tiduri aku sepuasmu, Jim. Asal kau berjanji tak akan membongkar rahasia ini pada Jack. Toh, pernikahanku dengannya juga pernikahan palsu. Jadi demi menjaga perasaannya, aku mohon jangan katakan apa pun padanya."     "Menjijikan." Jimin menghentak tangan Naira yang mencoba menggapainya. "Kau sangat kotor dengan membiarkan orang lain menggerayangi tubuhmu."     "Kau benar!" pekik Naira. "Jangankan kau dan Michael. Aku bahkan rela jadi p*****r demi melindungi perasaan Jack yang rapuh!"     Suara Naira yang melengking menghantam d**a Jimin. Selama ini ia selalu berpikir kalau Naira sama seperti wanita jahat yang menhancurkan hidup Jack di masa lalu. Akan tetapi, apa yang diucapkan Naira barusan terdengar bagai belati menghujam dan menyayat dadanya. Ia pun hanya bisa memalingkan wajah.     "Pakai kembali bajumu, dan makan makan siangmu," ucap pria itu lalu bergegas pergi meninggalkan Naira.     Jimin bersikap seperti pengecut yang meninggalkan masalah begitu saja. Semua perhitungannya meleset setelah Naira mengungkap alasan di balik kebungkamannya. Ia tak lagi memikirkan Naira dan memilih pulang begitu saja. Menyerahkan seluruh pekerjaan diambil alih oleh Rendy.     Menjelang jam makan malam Naira pun pulang ke rumah Jimin. Ia masih harus menyelesaikan satu bulan waktunya tinggal dengan pria itu. Dilihatnya Jimin tak bersikap lebih pendiam. Pria itu duduk di sofa menatap layar televisi yang menyala.     "Jimin, apa kau sudah mandi? Haruskah kusiapkan air untukmu membersihkan diri?" tanya Naira. Ia tak mempermasalahkan sikap Jimin yang meninggalkannya begitu saja. Bahkan dirinya pun harus pulang menggunakan taksi karena tak enak merepotkan Rendy yang berencana pulang dengan Anita.     "Aku sudah mandi," sahut Jimin tanpa menoleh. "Sebaiknya kau siapkan makan malam saja. Aku sudah lapar."     "Baiklah, tapi aku ingin mandi sebentar saja. Badanku lengket semua."     "Hmm ...," sahut Jimin sekilas. Sementara Naira melangkah menjauh menuju kamarnya.     Tiga puluh menit kemudian, Naira sudah berdiri di depan kompor mencoba membuat donburi, juga tamagoyaki untuk menu makan malam. Ia sudah mempelajari resepnya di internet tiga hari lalu, dan memang sudah merencanakan membuat itu malam ini. Karena itulah beberapa bahan yang dibutuhkannya sudah ia siapkan di dalam kulkas.     Jimin menoleh pada presensi Naira yang berkutat dengan niatnya di dapur. Seulas senyum tipis terbit di wajah tampannya. "Kau benar Matsuya. Wanita ini mungkin berbeda," gumamnya pelan.     Bangkit dari sofa, ia mendekati Naira yang sedang memasak daging sapi untuk lauk. Jimin dengan berani memeluk wanita itu dari belakang membuat tubuhnya menegang. Naira menahan napas. 'Jadi Jimin akan benar-benar melakukannya padaku?' bathinnya menjerit pilu.     "Aku terima tawaranmu, Nyonya Niara. Sudah kupikirkan matang-matang setiap ucapanmu tadi siang. Akan kuhapus bekas Michael dari tubuhmu, dan memastikan jika suatu saat kau hamil maka itu adalah anakku. Jadi berjanjilah padaku kalau kau pun tak akan pernah tidur dengan Jack."     "Cih," desis Naira. "Bukankah kau sendiri yang bilang Jack tak mungkin menyentuhku. Bagaimanapun Jack bukan pria normal, iya, 'kan?"     "Hmm ... pernikahan yang dilakukannya denganmu hanya untuk melindungi hak-haknya agar tak jatuh ke tangan orang lain. Kehidupan hari tua Jack harus terjamin."     Naira hanya diam, enggan membalas ucapan Jimin. Ia bahkan mengerang ketika Jimin menyepa lehernya. "Malam ini kau akan jadi makanan penutup untuk makan malamku. Aku sudah tidak sabar."     Kebejatan Jimin makin ditunjukkan dengan berani, sebelum melepas pelukannya, ia masih sempat meraba sesuatu yang tak pantas dari tubuh wanita itu. Naira benar-benar dibuat seperti w************n olehnya. Menahan seluruh rasa sakit dalam dirinya, Naira membiarkan Jimin melakukan apa pun padanya.     Masakan Naira tak pernah membuat Jimin kecewa. Meski ia orang Indonesia dan baru beberapa hari belajar membuat masakan Jepang, tetapi semua masakannya terasa begitu lezat. Padahal Naira hanya belajar sebentar dari Jimin atau melihat resep dari internet. Naira memang pandai membuat masakan rumahan.      Selesai makan malam, Jimin membantu Naira membersihkan seluruh peralatan makan. Kemudian langsung menggendong Naira menuju ke kamarnya. Merebahkan Naira di atas ranjang dengan sangat lembut. Segera membuka bajunya sendiri barulah naik ke atas ranjang yang sama.     Jimin tak lantas menindih wanita itu. Ia duduk bersandar di sandaran ranjang, menyalakan televisi layar datar yang menempel di dinding ruangan. "Naira, kemarilah."      Sesuai perintah Naira kini menggeser posisinya, ikut duduk bersandar lalu merebahkan dirinya di dalam rengkuhan pria itu.      "Inikah alasan kenapa kau takut tidur sendiri?" tanya Jimin sambil memainkan remote televisi di tangannya.     "Sejujurnya iya," sahut Naira lemah. "Apa yang ingin dilakukan Samuel waktu itu sudah cukup membuatku ketakutan. Jika kau tahu apa yang dilakukan Michael padaku, maka kau pasti tahu apa yang hedak dilakukan Samuel."     Jimin mengangguk. "Aku selalu mengawasi orang-orang yang berkaitan dengan Jack, apalagi orang yang akan menjadi pendamping hidupnya. Jadi anggap saja aku tahu segalanya tentangmu. Kecuali cerita tentang ayahmu yang kau ceritakan tadi di kantor. Maafkan aku."     "Untuk apa meminta maaf jika nyatanya kau pun melakukan hal yang sama seperti yang dilakukan Michael. Baik kau, Samuel, maupun Michael intinya sama saja hanya ingin mengambil keuntungan dari tubuhku, 'kan? Kalian hanya ingin menjadikanku pemuas nafsu."     Jimin terdiam, meski netranya menatap layar datar di hadapannya, tetapi hatinya serasa diremas saat mendengar setiap ucapan Naira. Wanita itu belum tahu kalau orang yang tidur dengannya selama ini bukan orang lain. Hanya Jiminlah pria yang bersetubuh dengannya. Sementara Antonio Michael adalah orang kepercayaannya dalam melaksanakan rencana busuk itu.     "Kau bilang ingin bercinta denganku, 'kan?" tanya Naira frontal. Jimin menoleh sesaat lalu tersenyum. Ia menjatuhkan kecupan di kening wanita itu.      "Kau tidurlah, Sayang. Aku tadi hanya bercanda. Tadi rencananya aku mengajakmu nonton bola, tapi sepertinya kau tak akan suka. Jadi kau bisa tidur lebih dulu."     Naira menatap tak percaya sosok pria yang kini memeluknya dengan hangat. Jimin memperlakukannya dengan baik. Hampir seperti seorang suami. Itu membuatnya mengandai-andai kalua Jimin adalah suaminya.     "Huuff ...."     Naira mengerjapkan mata saat Jimin meniup wajahnya.     "Kenapa bengong, heum? Jangan bilang kau sedang mengkhayalkan Jack ...."     "Ah, ti-tidak." Segera wanita itu memelorotkan tubuhnya. Mengambil posisi tidur memunggungi pria yang bersamanya. Hatinya bergemuruh dengan wajah merona merah. Jimin pun hanya terkekeh melihat tingkah menggemaskan wanitanya. Dengan serta merta ia meraup tubuh wanita itu membawanya ke dalam pelukan kembali. Posisinya pun sedikit direndahkan agar Naira merasa nyaman berada dalam rengkuhannya.     "Jangan terlalu jauh, Naira. Aku ingin kau ada dekat denganku. Kau tahu keberadaanmu di sini, di sisiku membuatku merasa nyaman. Biarlah aku mengkhianati Jack, karena sesungguhnya dari awal aku melihatmu di restaurant itu, aku sudah jatuh cinta padamu."     "Benarkah?" tanya Naira tak percaya dengan apa yang didengarnya.     "Iya, waktu itu kau tengah menawarkan menu spesial restaurantmu dan kau sudah menyita perhatianku begitu banyak. Aku terus mencari tahu tentangmu sampai kemudian harus mengalah dan membiarkanmu menikah dengan saudara kembarku. Tapi, sejujurnya aku bersyukur kau menikah dengan Jack."     "Karena dengan begitu kau bisa meniduriku?"     Jimin terkekeh, menarik hidung Naira dengan gemas. "Itu salah satunya, tapi sebenarnya bukan itu. Karena dengan begitu sekarang kita menjadi dekat, benar, 'kan?"     "Dekat dalam artian selingkuh?"     "Apa pun itu namanya, Sayang. Jack tak akan peduli. Jadi mulai sekarang, anggap saja kau itu bukan istri, Jack, tapi istriku. Oke, Beb?"     "Terserah kau saja." Naira mendengkus, lalu memejamkan netranya, mengabaikan Jimin yang masih melanjutkan niatnya menonton bola sepak.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN