8. Kasus Wulan (2)

1143 Kata
Memanganya si sialan itu bisa hidup sendirian?! Kerabatnya juga cuma aku! Selama ini dia memang selalu melindungiku, bahkan rela dipukuli penagih hutang, tapi aku juga sudah membantu mengerjakan pekerjaan rumah, juga memasak untuknya. Meski aku hanya menjadi beban, tapi dia tidak berhak mengungkit semua kebaikan yang telah dilakukannya. Aku tidak pernah memintanya berkorban sebesar itu untukku. Bahkan aku tidak pernah memintanya membebaskannku dari panti asuhan terkutuk itu! Satu-satunya hal yang aku syukuri setelah bebas dari panti hanyalah pertemuanku dengan Tama. Apa dia pikir tinggal dengannya dan ayahnya yang penyakitan itu sangat menyenangkan? Tidak sama sekali! Hah.... Menyebalkan! Hari ini sangat sial! Andai saja ayah bodoh itu tidak mati, aku pasti sudah meninggalkan putranya─yang juga t***l sepertinya─itu sejak lama. Sekarang, ke mana aku harus pergi?    ⁂ ⁂ ⁂   Aku berdiri di depan sebuah bangunan bertingkat bagai istana dengan pintu gerbang warna keemasan yang menjulang tinggi. Aku bahkan takut merusak rerumputan hijau yang dipangkas rapi di bawah kaki ini. Ada banyak taman dengan berbagai bunga warna-warni menghiasi halaman depan rumah. Ada pula air mancur dari patung bentuk wanita menuang air dari kendi di depan pintu masuk. "Lurus ke depan, belok kanan. Ada empat kamar berjejer di kanan, belok kiri. Ada ruang bioskop di sebelah kiri, lurus saja ikuti jalan. Kamar Tuan Muda Dafa ada di jejeran beberapa kamar, tepatnya di urutan... urutan ke berapa tadi katanya, ya? Rumah ini besar sekali." Aku menggumam sendiri, mencoba mengingat penjelasan penjaga rumah tadi. Aku pilih kamar bertuliskan nomor II. Benar-benar pakai nomor kamar seperti di hotel. Apa ini penginapan? Kuketuk pintu, dan suara dari dalam menyahut nyaring. "Masuk saja, Daf. Pintunya tidak dikunci!" Maka masuklah aku ke kamar yang penuh tisu berserakan dengan bungkus camilan yang juga menghiasi kemegahan kamar ini, tak lupa menguncinya dari dalam. Ini sudah seperti kebiasaanku. Berjalan beberapa langkah, terlihatlah seorang lelaki sedang duduk di depan TV ukuran besar. Aku tidak mempermasalahkan kegiatan umum itu, andai yang disaksikannya juga normal, tapi ini lain. Lelaki itu sedang menonoton film p***o tepat saat adegan sang wanita dan pria sedang di atas kasur saling memeluk, dengan bagian bawah tubuh mereka menyatu erat, lalu erangan si wanita terdengar kesakitan. Si pria kemudian mencium bibir wanita itu dan tangannya... ah, sudahlah. Aku tidak sanggup menceritakannya. Lebih tidak sanggup lagi menjelaskan kegiatan Ero di sana, dengan desahannya yang samar terdengar itu. Aku berjalan ke sofa dan duduk tepat di sebelahnya. Memerhatikan layar besar itu, lalu aku tertawa kecil ketika menoleh ke kiri. Mulut Ero menganga, keningnya berkerut, dia sedikit mendesah seiring adegan panas di layar, sementara tangan kanannya aktif bergerak di bawah sana, di antara selangkangannya. Aku mengambil keripik kentang di meja, lalu mengunyahnya. Kurang lebih lima menit, keripik kentang habis, tapi Ero masih fokus menatap layar dan tangannya semakin cepat bergerak di antara selangakangannya seiring napasnya yang tak teratur. "Hei, apa kau sering melakukannya di depan Zulmi?" tanyaku. Seketika Ero menatapku, wajahnya amat terkejut, lalu cairan kental dari bagian bwah tubuhnya itu muncrat mengenai layar. Dia langsung berdiri, lalu lemas seketika pasca pelepasan spermanya. Dia memegang kepala, menyeka keringatnya yang sangat banyak, tapi lupa menaikkan celananya. Dia kembali berdiri. Sesaat setelah berdiri, dia mengerang, dan terduduk di keramik putih. "HEI! APA YANG KAU LAKUKAN DI SINI?" teriaknya sembari melempar kotak tisu ke arahku. Aku yakin dia sangat malu saat ini. Aku tertawa melihat wajah marahnya. Dia lalu berdiri, balik badan, segera menaikkan celananya saat pandanganku mengarah ke benda pusaka miliknya itu. Ero menggerutu tidak jelas, kemudian dia bersedekap dengan gaya menantang, sambil menatapku kesal. "Apa yang kau lakukan di kamarku?" tanyanya. Sebelum menjawab, aku menunjuk layar besar di depanku, kemudian dia mematikan TV. "Aku mencari Zulmi," ujarku. Dia berkacak pinggang. "Terus kenapa malah ke kamarku?" "Nyasar." "Ya sudah, sekarang pergilah! Kenapa masih di sini? Kamar Dafa di sebelah." Aku menghela napas, lalu bangkit, abai pada perut yang menjerit minta diisi. Sebelum meraih handel pintu, terdengar ketukan di pintu. Ero segera membungkam mulutku, mundur menjauhi pintu. "Elf, aku pinjam koleksimu, dong. Aku butuh asupan semangat pasca putus dari Lilis!" teriak seseorang dari balik pintu. "Sebentar, aku lagi sedikit sibuk. Kasih aku lima menit!" Ero menarikku ke kamar mandi, yang lebih mirip toilet umum, kecuali dari segi kebersihannya. "Itu Wildan, abang Dafa. Bisa bahaya kalau dia melihatmu di kamarku. Kau tunggu di sini sampai kusuruh keluar. Mengerti?" Aku menahan tangannya sebelum dia meninggalkanku. "Aku... aku tidak suka di sini." Kuperhatikan tempat minimalis yang menyesakkan ini. "Lagipula tujuanku untuk bertemu Zulmi. Dia akan mengerti kalau aku nyasar. Tanyakan saja kepada pak satpam." "Iya aku tahu. Terakhir kali ada cewek nyasar ke kamarku, dia tidak pulang sebelum pagi, dan aku harus mengucapkan selamat tinggal sama uang jajanku selama sebulan. Aku tidak mau seperti itu lagi." Aku semakin kuat mencengkeram tangannya. "Aku mohon jangan tinggalkan aku. Aku tidak suka di sini." Ero menghela napas, terlihat semakin kesal. "Tolonglah, jangan seperti anak kecil. Ini cuma kamar mandi biasa, bukan penjara. Aku tidak akan lama. Jangan bersuara!" Dia menutup pintu. Tempat ini gelap. Terasa sulit mendapat oksigen, tapi aku harus terus membekap mulut. Mataku semakin buram dengan air mata yang terus mengalir. Aku sungguh membenci tempat ini. Sekarang suara mereka terdengar lagi. Mereka menghujatku, menghakimiku. Mereka marah kepadaku. Aku mendengar teriakan mereka, tangis mereka. Aku mendengar siksaan ke tubuh mereka. Satu, dua, tiga, empat, ... delapan suara bergantian menjerit kesakitan. Kenapa hanya delapan? Harusnya ada sepuluh. Apa dua lagi sudah mati? Terdengar teriakan seorang anak kecil. "Kau membunuh kami!" Aku mendongak, melihat anak lelaki usia sekitar 7 tahun yang menudingku dengan telunjuk. Pipinya bengkak dan penuh lebam, bawah matanya membiru, bahkan sudut bibir atasnya masih menyisakan darah. Topi yang selalu dia kenakan pun dalam kondisi kotor dan terbalik. Dua... "Harusnya kau tidak sembunyi. Kau menyelamatkan dirimu sendiri!" teriak anak lain. Aku menoleh ke kanan. Sosok anak lelaki dengan tatapan sedingin es tengah memandangku penuh kebencian. Wajah kacaunya sama seperti anak lelaki di sebelahnya.  Satu... "Kau bilang kita semua harus bersatu, tapi kenapa kau malah sembunyi dan membiarkan kami bertarung sendirian?" Dua kembali bersuara. Aku menggeleng, masih membekap mulut. Satu mengusap matanya dan teriak, "Kau jahat! Kau tidak menolongku!" "Aku benci kepadamu!" teriak Dua lagi. Aku terus menggeleng dengan pandangan buram, dan meminta maaf di dalam hati. Mereka pun menghilang. Lalu aku melihat delapan anak lainnya datang, memenuhi kamar mandi kecil ini. Mereka marah kepadaku. Mereka bilang, mereka mati karena aku. Mereka bilang, kedatanganku hari itu menambah beban sial mereka. Mereka bilang, aku menjebak mereka dengan ide kabur itu. Mereka benar, harusnya aku tidak menyelematkan diriku sendiri. Harusnya aku tidak sembunyi. Harusnya aku mati bersama mereka. Harusnya aku keluar dan memukul para penjahat itu dengan tangan mungilku. Tidak. Aku tidak salah. Tama menyuruhku sembunyi. Katanya, kami bisa makan es krim cokelat bersama jika aku tidak bersuara. Dia bilang, kalau aku diam, kami bisa bebas dan akan membuat rumah impian bersama. Ya, Tama akan datang. Tama akan menolongku. Kenapa aku tidak mendengar suara Tama? Di mana dia? Kenapa dia tidak datang? Pemandangan di depanku berubah lagi. Kali ini aku melihat sembilan anak kecil bersimbah darah dengan perut mereka yang bolong. Ada satu anak lelaki di paling ujung yang duduk gemetar ketakutan, menunggu dieksekusi. “Tidak, tunggu!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN