Ada satu anak lelaki di paling ujung yang duduk gemetar ketakutan, menunggu dieksekusi.
"Jangan lihat!" teriak seorang anak yang memekakan telingaku.
Pemandangan berubah lagi menjadi penuh kobaran api. Aku berdiri mematung melihat seseorang ditimpa perkakas yang terbakar. Seseorang itu menjerit menyerukan namaku, memintaku pergi.
Tangisku berhenti. Rasanya otakku kosong. Semua rona merah yang menggenang dan panas itu silih berganti memenuhi penglihatanku. Tubuhku seolah mati rasa. Saat pandangan semakin memburam, sinar putih menyilaukan menyusup ke mata.
Pintu kamar mandi terbuka. Dua lelaki menatapku terkejut.
Zul menarik leher kaus Ero. "Kau mengurungnya selama dua jam? Kau gila?"
Ero melirikku, terlihat merasa bersalah. "Aku lupa karena Wildan mengajakku bermain PS."
Zul mendengkus kesal, lalu mendorong Ero. Dia masuk dan membantuku duduk. "Kau tidak perlu takut lagi sekarang." Dia membawa kepalaku ke dadanya dan mengusap wajahku dengan lembut.
Aku terus menatap Ero yang melihatku dengan kening berkerut. "A─" Suaraku serak, seolah tak mau keluar, dan tenggorokan rasanya sakit setiap mencoba mengeluarkan suara.
Aku ingin bilang, kalau aku tidak bersalah. Aku ingin bilang, kalau Tama yang memintaku sembunyi. Semua yang ingin kubilang tercekat di tenggorokan, tertelan bersama air mata.
Zul membantuku berdiri. Aku bangkit tapi kedua kaki ini tak kokoh. Akhirnya dia memutuskan mengangkatku, lalu berbisik, "Maafkan aku. Aku datang terlambat."
Aku tidak mendengar lanjutan kalimat Zul karena parfumnya yang menenangkan membuatku memasuki alam mimpi.
⁂⁂⁂
Selasa 19 Desember
"Tunggu aku!" teriakku.
Aku bangun dengan keringat membasahi seragam. Memerhatikan ruangan asing tempat berbaring, barulah aku tahu ini masih di kamar Ero.
"Kau maraton di mimpi?" Suara barusan membuatku menoleh ke jendela di sudut kanan, tampak Ero duduk di tepi jendela, menatapku sekilas. "Lihat keringatmu, seperti habis lomba lari."
Aku tidak punya nafsu membalas omongan tidak pentingnya.
Dia mendekati, duduk di tepi ranjang. "Maaf. Aku tidak tahu kalau kau fobia kamar mandi. Aneh sekali, kau kalau mandi di mana?" Dia tertawa, seolah fobiaku adalah hal paling lucu sedunia.
Aku menyibak selimut dan duduk tegak, menatapnya tajam.
Dia berdeham dan menggaruk tengkuk. "Aku sangat memuja wanita. Lekuk tubuh mereka yang indah, senyuman, sentuhan lembut kulitnya bahkan cara rambut mereka tertiup angin pun aku suka. Makanya, aku benci melihat wanita menangis. Aku merasa jadi pria paling berengsek kalau membuat kaum lemah itu mengeluarkan air mata." Dia memberi segelas air, aku meminumnya dalam sekali teguk. "Sialnya, tadi malam aku membuatmu menangis. Maafkan aku."
Gampang sekali dia minta maaf? Kalau seluruh penjahat di dunia bisa dimaafkan hanya dengan satu kata itu, polisi jadi tidak punya pekerjaan. Setidaknya dia harus membayarku. "Beri aku uang, akan kuanggap tidak terjadi apa pun tadi malam," ujarku. Ternyata suaraku masih serak.
Ero seperti itu lagi. Mnunjukkan wajah itu lagi. Wajah yang sama ketika dia menyadari kebohonganku. Aku tidak suka wajah kecewanya.
"Menurutmu, semua permasalahan di dunia ini bisa selesai dengan uang? Kau─"
"Ya," potongku cepat, masih menatapnya tajam.
Dia mengeraskan rahang dan mengepalkan tangan. "Berapa hargamu? Kenapa kau tidak menjual diri sekalian?"
Aku tersenyum kecil. "Tidak ada yang ingin membeliku. Kau mau?"
Dia tertawa kecil. "Kau mau berapa untuk tangisan selama dua jam itu?"
"Lima juta."
Dia bergerak ke nakas dan memberiku cek kosong yang sudah dia tanda tangani. "Tulis saja nominalnya. Sebenarnya aku belum mendapat izin memakai itu karena masih SMA, jadi, kau simpan saja sampai kita tamat sekolah."
Aku mengangguk dan menyimpan di saku baju.
"Kita damai?" tanyanya sembari mengulurkan tangan.
Aku mendengkus kuat. "Terlalu cepat bagi kita untuk berdamai."
Dia berdecak kesal, lalu menarik kembali uluran tangannya. "Boleh aku tahu kenapa kau trauma sama kamar mandi? Ah, sebelumnya, bagaimana caramu mandi kalau kau takut ke kamar mandi? Ya ampun..."─dia membuka mata dan mulutnya lebar-lebar, lalu meletakkan dua tangannya di pipi─"jangan bilang kau tidak pernah mandi?"
Aku menghela napas untuk candaannya yang tidak lucu itu. "Kamar mandi di rumahku cukup luas. Aku takut tempat sempit, bukan kamar mandi."
"Oh, Claustrophobia. Masih kategori ringan, kan?" Ero mengusap dagunya. "Kenapa kau bisa mengalami itu?"
Aku tidak ingin membahasnya. "Di mana Zulmi?"
"Ada yang merindukanku?" Zul datang bersama tiga wanita berseragam dress biru selutut dengan motif kotak-kotak warna hitam. Mereka membawa trolley berisi makanan.
Ketiga pelayan menyajikan si empat sehat lima sempurna di meja depan TV. Zul memanggilku dan menepuk sofa di sebelahnya. Aku mendekat dan duduk dengan semangat.
"Ayo kita makan!" Zul memanggil Ero pula untuk duduk.
Ero datang dan mulai menyantap makanan. Mereka terlibat obrolan seputar presentasi Kimia hari ini. Tanpa pikir panjang, aku lahap semua makanan lezat di meja. Nasi goreng dengan berbagai macam keripik dan gorengan, kucoba juga sajian bubur sumsum, dan nasi kuning yang lengkap dengan telur dan daging ayam suwiran.
Usai makan, kutatap dua pasang mata di depanku dengan sumringah. "Terima kasih. Ini makanan paling enak yang pernah kumakan."
Ero menggeleng-gelengkan kepalanya, seolah takjub. "Jangan sering makan di depan cowok ya, bisa gawat kalau mereka melihat senyummu."
Zul tertawa, kemudian dia mengambil tisu. "Porsi makanmu banyak juga. Berapa lama kau tidak makan?" Si Tuan Muda membersihkan mulutku yang belepotan bekas makan.
"Kau mengejek porsi makanku yang banyak? Aku hanya makan keripik kentang Ero tadi malam."
Zul tertawa, tangannya yang membersihkan mulutku berhenti. "Tidak masalah, aku suka, kok cewek yang banyak makan. Ngomong-ngomong, kau sudah memberitahu orangtuamu kalau semalaman di sini? Aku pikir mereka akan khawatir."
Aku mengalihkan pandangan ke sudut ruangan yang ditempeli foto-foto Ero dan Zul sejak kecil. "Aku tidak memiliki orangtua." Berdeham pelan, kucoba mengalihkan pembicaraan. "Tadi malam aku datang untuk mengembalikan dompetmu. Aku juga mau kau mencairkan uangnya ke ATM."
Zul kembali tertawa, tak terusik dengan pernyataanku yang tanpa orangtua. "Seperti yang diharapkan darimu." Dia tersenyum. "Sebelum ke sekolah kita akan mampir ke ATM dan mentransfernya ke rekeningmu, ada lagi yang kau inginkan?"
Aku menggeleng. "Hanya, aku ingin tahu keberadaan mayat perempuan itu."
Zul menghela napas, lalu membenarkan letak kacamatanya. "Memangnya apa yang terjadi?"
"Dia menghilang bersama Alif dan Isnani."
Ero mengerutkan kening. "Apa yang kau tahu?"
Akan panjang kalau menceritakan segalanya kepada mereka. "Aku ingin kau menghubungi Alif dan tanyakan tentang perempuan itu."
"Kenapa kau jadi menyuruh-nyuruh Dafa? Tidak sopan," kata Ero, sepertinya dia kesal.
Mengabaikan Ero, Zul bertanya, "Apa kau merekamnya lagi di kamera?"
Aku mengangguk. "Katakan, Zul, apa yang sebenarnya terjadi? Alif pasti mengatakan sesuatu kepadamu, kan?"Pandangan Zul menyapu jendela kamar Ero selama beberapa detik, lalu kembali menatapku. "Dia dan Isnani memindahkan mayat Wulan atas perintah guru BK. Hari ini, kita bertiga dipanggil ke kantor Kepsek."
Ero memijat kepalanya dan bersandar ke sofa. "Perasaanku tidak enak, Daf. Coba kau cari tahu tentang si Doraemon itu."
Doraemon, panggilan untuk kepala sekolah kami, karena tubuhnya pendek, bulat dan perutnya buncit. Rambut juga botak plontos yang sering ditutupinya dengan peci.
Zul meletakkan laptop di meja lalu menggerakkan tangan di atas keyboard. "Pria itu berusia lima puluh dua tahun, pernah tersangkut kasus korupsi tapi dinyatakan tidak bersalah. Istrinya sudah meninggal lima tahun lalu, dan dia tidak punya anak."
Ero menegakkan badan. "Lah, Rio siapa?"