7. Kasus Wulan (1)

1070 Kata
"Satu kembali". Aku sedikit terusik dengan kata satu. Mungkinkah ada kaitannya dengan kejadian di masa lalu itu? Aku menyimpan kertas di dalam saku baju. Kembali memerhatikan ekspresi kesakitan di wajahnya, juga bekas cekikan di lehernya. Mengamati pergelangan tangannya, ada seperti ukiran angka satu. Baiklah, sepertinya Si Satu ingin menebar teror. Setelah mengambil beberapa gambar dengan kamera, aku melihat ke bangunan tiga lantai di depan mata. Semua jendela tertutup rapat. Berarti perempuan ini terjun dari atap. Kalau dari atap, berarti dia harus punya kunci untuk ke sana. Sementara yang punya hak untuk memegang kunci hanya ketua OSIS, guru BK dan penjaga sekolah. Jadi, rasanya tidak mungkin kalau perempuan ini terjun dari sana. Kalau begitu, dia didorong seseorang dari lantai dua atau tiga, kemudian orang itu menutup rapat kembali jendelanya agar tidak ada yang curiga. Kalau melihat kondisinya yang parah, kemungkinan dia terjun dari lantai 3. Artinya, si pelaku perlu waktu cukup lama untuk sampai ke lantai dasar lagi. Walaupun dia berlari dengan kekuatan maksimal, tetap butuh setidaknya lima belas menit. Kecuali atlet lari, yang mungkin hanya perlu sepuluh menit dari lantai tiga. Ini baru berlalu lima menit sejak terdengar suara jatuh. Aku punya kesempatan besar menangkap basah pelakunya. Kalau berhasil mendapat gambar si pelaku, aku bisa menjual ke media. Berita buruk di sekolah akan tersohor dan akan menarik massa. Tanpa pikir panjang, aku berlari ke gedung sekolah, tapi sebelum berlari lebih jauh, Zul menghentikanku. "Kau mau ke mana?" Kutepis tangannya. "Bukan urusanmu." "Kau mau mencari tahu yang terjadi, kan? Tidak boleh. Kau akan dianggap terlibat nanti. Aku akan menghubungi Alif. Kau tunggu saja di sini selagi aku mengantar Elf ke mobil." Zul menghela napas. "Jangan membantah! Aku mengkhawatirkanmu. Lihat jaket yang dia pakai. Warna pink. Mungkin saja ini ulah Rio yang tidak terima karena disalahkan. Dia orang yang pendendam. Kumohon mengertilah." Tidak mungkin itu Rio. Dia perlu waktu untuk berpikir jernih sebelum memutuskan balas dendam. Kalau dilihat dari karakternya, saat ini dia mungkin sedang melampiaskan amarahnya dengan menghancurkan koleksi play station-nya di kamar, atau menghajar beberapa orang di luar sana. Memang tak bisa kupungkiri, Wulan yang mati dengan memakai jaket pink membuatku sedikit was-was. Sejak awal, tidak ada kebetulan dalam kamusku. Semua terjadi karena sebab. Jadi, apa sebab gadis itu dibunuh? Aku tersenyum kecil. "Kau tidak punya hak apa pun atas diriku." Segera aku pergi sebelum Zul menahanku dengan kalimat-kalimat aneh lainnya. Aku langsung berlari ke area sekolah dan sembunyi di bawah tangga lantai satu. Sudah kugenggam kamera dan bersiap memotret siapa pun yang akan turun. Ada dua tangga untuk turun ke lantai dasar dari lantai dua. Yang pertama adalah tempatku bersembunyi saat ini, bagian kelas X IPS. Yang lainnya ada di bagian XI IPS, tapi itu selalu ditutup setelah siswa pulang. Maka, semua organisasi atau ekskul yang memerlukan akses ke lantai atas, harus melewati tangga ini. Oh, tentang yang memiliki kunci gerbang tangga yang ada di dekat kelas XI IPS itu, hanya penjaga sekolah. Aku menunggu beberapa menit, lalu terdengar suara langkah cepat dari tangga. Saat kulihat, ternyata Alif yang turun. Dia mungkin baru mendapat kabar Wulan dari Zul. Berarti ada kemungkinan si pelaku masih sembunyi karena melihat Alif. Lebih baik aku menunggu sedikit lagi. Lalu turun Isnani, sekretaris OSIS. Dia baru muncul mungkin karena usai membereskan ruang OSIS pasca sidang tadi. Aku akan menunggu lagi. Sekitar 30 menit, mungkin lebih, aku menunggu, tapi tidak ada yang turun lagi. Apa aku salah menduga? Apa sebenarnya Wulan memang bunuh diri? Bagaimana cara Wulan sampai ke atap? Tidak mendapat pencerahan, aku memutuskan kembali ke tempat jatuhnya Wulan, tapi semua sudah bersih. Tidak ada mayat Wulan, bahkan jejak darahnya pun hilang begitu saja. Tidak ada Alif dan Isnani. Tidak ada Zul dan Ero pula. Seseorang pasti sudah dengan sengaja membereskan semuanya. Apa-apaan ini? Aku menghubungi Zul, tapi tidak diangkat. Aku tidak punya nomor Ero karena orang itu selalu berganti-ganti nomor ponsel. Aku putuskan menghubungi Alif. Lalu segera kumatikan lagi. Apa yang harus kukatakan saat Alif menjawab panggilanku? Masa kubilang, "Halo Alif, kau tahu di mana mayat perempuan yang tergeletak di gedung belakang?" Saat dia bertanya aku siapa, aku harus jawab apa? Apa kubilang, "Aku si gadis jaket pink tadi." Tidak! Terlalu beresiko. Aku tidak percaya kepadanya. Apa artinya aku percaya Zul dan Ero maka membiarkan mereka tahu identitasku? Tidak juga. Ini hanya demi uang. Benar. Demi uang. Kalau demi uang aku bisa menguak idntitasku di depan Zul dan Ero, kenapa tidak bisa kalau di depan Alif? Aku akan coba telepon lagi. Sial, kali ini nomor Alif tidak aktif. Kalaupun Alif sudah menghubungi polisi dan mereka mengangkut mayat, seharusnya ada garis polisi di sini. Aku bahkan tidak mendengar suara sirine maupun ambulance sedari tadi. Ke mana Alif dan Isnani? Kalau Zul mungkin memutuskan membawa Ero pulang atau ke rumah sakit. Sepertinya ada yang tidak beres di sekolah ini. Oh, ya ampun, aku seharusnya ke ATM untuk mencairkan uang dari Zul. Sial, sial, sial! Bahkan ini sudah malam. Yuda bisa marah. ⁂ ⁂ ⁂   "Kau dari mana saja?!" Yuda menjitak dahiku saat kaki ini menginjak teras rumah. Pria dengan bekas luka gores di pelipis itu terlihat amat kesal. Dua tangannya bersedekap, bergaya layaknya ayah memarahi putrinya yang terlambat pulang. Aku mendorongnya agar tidak menghalangi jalan masuk ke rumah, tapi dia menahanku. “Kau tidak bisa seperti ini terus!" teriak Yuda. "Apa salahku sebenarnya? Kenapa selalu mengabaikanku sejak ayah meninggal? Ah, tidak, kau bahkan sudah mengabaikanku sebelum ayah meninggal." Banyak. Harusnya kau tidak membawaku tinggal bersamamu. “Dengar! Saat ini kau hanya punya aku sebagai tempat bergantung. Tolong jaga sikapmu kalau masih mau tinggal di rumah ini." Lihat! Keluar juga sifat aslinya. Memang tidak ada yang bisa dipercaya, selain uang. Setidaknya kalau punya uang, aku bisa membeli es krim cokelat, dan itu membuatku sedikit senang. Mungkin suatu hari aku bisa membeli kebahagiaan dengan uang. "Begitukah? Baiklah, aku keluar dari rumah!" teriakku. Ekspresi Yuda malah semakin kesal, seperti tidak ada niat untuk membujukku tetap tinggal. "Ya, sudah, pergi sana! Susul saja ibumu yang tukang selingkuh itu ke neraka.” Aku tertawa, membuat Yuda bungkam. "Dia juga ibumu. Kau pikir aku tidak bisa hidup sendirian?" aku maju selangkah, menatap langsung iris cokelat Yuda yang penuh amarah. "Aku sudah sendirian sejak lahir. Kau yang membawaku pergi dari tempat itu, ingat?" Yuda menarik kerah seragamku, membuat dasi ini terasa mencekik. "Kau akan mati kalau aku tidak membawamu dari sana. Harusnya kau berterima kasih kepadaku." "Terima kasih?" Aku menepis kuat tangannya, dia melepaskanku. "Setelah keluar dari neraka, aku malah masuk ke kandang singa. Baguslah kau begini. Aku tidak perlu lagi merasa bersalah dengan ayah.” Aku pergi detik itu juga, tanpa menoleh sedikit pun. Ketika di area jalan, Yuda berteriak, "Kau akan kembali kepadaku, karena kau cuma punya aku!”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN