Chapter 18

1648 Kata
"Mas, orang tua dari Sehat kok belum datang jemput dia juga yah?" Daimah bertanya heran ke arah suaminya. Alamsyah yang sedang membalas pesan dari rekan polisinya itu mendongak ke arah Daimah yang duduk di kursi rias. "Ada yang salah dengan keluarga anak itu," ujar Alamsyah. Daimah juga berpikiran sama dengan suaminya. Sudah tiga hari pasca kejadian yang menimpa Naufal dan yang lainnya, semua orang tua siswa masing-masing berbondong-bondong menjemput anak mereka, namun hanya orang tua Sehat saja yang tidak kelihatan. "Huuh...orang tua seperti apa mereka itu? Biarpun mereka bepergian kemanapun setidaknya harus menitipkan pesan kepada tetangga atau seseorang agar melihat anaknya," ujar Daimah. Alamsyah mengangguk. "Selama aku mengantarkan anak itu pulang ke rumahnya, aku melihat macam-macam lebam yang ada pada diri anak itu, salah satunya yang paling besar adalah di bagian leher dan dibawah dagunya, seperti bekas cekikan atau cengkraman kuat dari tangan orang dewasa," ujar Alamsyah. "Apa? Benar mas?" Daimah melotot kaget ke arah suaminya. Alamsyah mengangguk. "Aku mencari tahu siapa orang tua dari anak itu dan sudah aku temukan," "Siapa, mas?" Daimah penasaran. "Ayah Sehat merupakan seorang pengusaha berlian dari Surabaya, dan ternyata yang bersamanya saat ini adalah ibu tiri dari Sehat, ibu kandung Sehat telah meninggal ketika melahirkan Sehat," jawab Alamsyah. "Orang Surabaya juga?" Daimah melototkan matanya. Alamsyah mengangguk. "Tetangga yang tinggal di sekitar rumah Sehat juga mengatakan bahwa keluarga Sehat itu tertutup, namun mereka sering mendengar suara marah-marah dan kasar dari dalam rumah Sehat," Daimah melihat suaminya serius. "Apa jangan-jangan Sehat setiap hari diperlakukan tidak baik?" Alamsyah mengangguk. "Ya, bisa saja. Melihat tingkah dan sikap dari Sehat yang tertutup dan selalu ketakutan jika bertemu orang lain." "Ya Gusti Allah..." Daimah syok. "Anak itu titipan dari Allah, jangan diperlakukan seperti itu, astagfirullah..." Daimah tidak habis pikir dengan jalan pikiran dari kedua orang tua Sehat. "Lalu...ayahnya Sehat diam saja mengenai perlakuan yang Sehat terima?" tanya Daimah. Alamsyah terlihat berpikir. "Sulit untuk disimpulkan karena ayah kandung Sehat jarang pulang ke rumah," "Oalah...ditinggalkan toh sama ibu tirinya..." Daimah terlihat kesal. "Apa dia tidak tahu mengenai perlakuan yang di terima oleh anaknya sendiri? Ayah bagaimana itu..." Daimah, polwan yang biasa ayu itu terlihat sangat kesal dengan orang tua dari Sehat. "Lalu ketika Sehat pergi ke perkemahan, siapa yang memberi ijin?" tanya Daimah. "Tidak tertulis nama jelas dari orang tua Sehat yang menandatangani surat ijin itu," jawab Alamsyah. "Hum, orang tua jaman sekarang ada-ada saja kelakuan mereka, mereka memperlakukan anak seakan-akan anak itu adalah binatang." Ujar Daimah kesal. Alamsyah juga setuju dengan ucapan istrinya yang ini. °°° Flashback "Sehat, makan yang banyak, jangan cuma ambil nasi dan sayur saja, ada ikan dan ayam juga, ibu Awa ambil yah buat kamu," Daimah antusias mengambilkan berbagai menu makanan ke arah piring Sehat. Namun Sehat diam saja, dia hanya menunduk dan makan apa saja yang diambil oleh Daimah. Tanpa orang-orang sadari bahwa mata Sehat memerah dan berkaca-kaca ketika menunduk makan. Flashback end "Kenapa?" Marwa bertanya ke arah Sehat yang duduk di kasur sambil melamun tak jelas. "Sehat...ada apa?" tanya Marwa lagi. Namun Sehat tak menyahut. Sut sut Marwa menoel-noel lengan Sehat. "Ya!?" Sehat terlihat linglung, dia melihat bingung ke arah Marwa. "Kamu kenapa? Apa sakit perut karena terlalu banyak makan?" Marwa bertanya ayu. Sehat memandang lama ke arah wajah Marwa. Entah apa yang dia pikirkan, kita tidak tahu. "Sehat, apa benar kamu sakit perut? Awa bilang bunda yah, supaya belikan obat sakit perut untuk kamu," tanya Marwa khawatir. Setahu Marwa, sang ibu mengambil banyak makanan untuk Sehat, jadi dalam asumsinya, Sehat sakit perut. Gleng gleng Sehat menggelengkan kepalanya pelan. "Tidak sakit perut." Ujar Sehat pelan. "Lalu kenapa?" Gleng gleng "Awa..." panggil Sehat lirih. "Ya?" Marwa menyahut. "Aku...mm...aku..." Sehat terlihat ragu-ragu dalam kalimatnya. "Ada apa? Apa kamu perlu sesuatu?" tanya Marwa. "Aku...mm..." Sehat terlihat lesu. Gleng gleng Pada akhirnya dia menggelengkan kepalanya. Marwa mengerutkan keningnya bingung, dia tidak tahu apa yang terjadi pada temannya ini. "Aku mengantuk...ayo tidur..." hanya kalimat lirih yang diucapkan oleh Sehat. "Oh...kamu sudah mengantuk...baiklah, aku akan memadamkan lampu dan menyalakan lampu tidur." Marwa berdiri mematikan lampu kamar dan menyalakan lampu tidur. Sret Sret Setelah itu Marwa naik dan menyelimuti dirinya di samping Sehat yang sudah tidur menyamping. Pada saat Marwa menutup matanya untuk tidur, terlihat tetesan air jatuh membasahi bantal tidur yang ditiduri oleh Sehat. "Aku juga ingin...keluarga sepertimu..." ujar Sehat lirih bernada pelan tanpa didengar oleh Marwa yang sudah mulai mengarungi alam mimpi. °°° Aqlam terlihat duduk sambil membetulkan pakaian yang dipakai Chana agar tidak terangkat atau terbuka, remaja itu terlihat sangat telaten dalam merawat Chana. Terhitung sudah satu minggu kejadian yang dialami oleh Chana, namun pelaku yang sebenarnya belum juga terlihat sedikit keberadaannya. Aqlam tentu saja sangat kesal dan marah mengenai itu, namun dia harus mengontrol emosinya. Tubuhnya juga butuh perawatan karena ledakan granat itu, namun dia bisa menanganinya, obat-obatan dan suplemen yang diberikan oleh Nabhan adalah nomor satu. Tubuhnya sudah mulai membaik. Akibat dari peristiwa ini, sekolah yang dikelola oleh yayasan Basri diliburkan selama satu minggu, mengingat trauma yang diderita oleh siswa-siswi yang melakukan perkemahan lima hari yang lalu. "Apa Aqlam sudah makan?" Popy bertanya ke arah Aqlam yang sedang menaikan selimut Chana. Sret Aqlam menoleh ke arah Popy, dia menggelengkan kepalanya. "Makan dulu, ini ada makanan dari rumah, katanya nenek Momok yang masak," ujar Popy. "Ah, nenek Momok menitipkan makanan juga untuk Aqlam, nenek Momok khawatir kalau Aqlam belum makan dan nanti sakit," lanjut Popy, dia tahu bahwa Aqlam sudah beberapa hari ini kurang nafsu makan, ini adalah salah satu strategi dari Moti agar Aqlam mau makan, karena setahu Popy, Aqlam sangat menghargai dan menghormati ibunya. Glung glung "Baik, Aqlam akan makan, terima kasih untuk nenek Momok, semoga selalu sehat," ujar Aqlam. Popy tersenyum, dia tahu bahwa Aqlam tidak akan menolak makanan yang dimasak oleh sang ibu. °°° Karena insiden ini, pesta ulang tahun ke-100 Agri dibatalkan. Banyak alasan yang mendasarinya, salah satunya adalah sakitnya tubuh tuan muda Nabhan, Aqlam Nailun Nabhan. Alasan yang lainnya lagi adalah Agri sendiri yang membatalkan pesta ulang tahun ke-100 nya dengan alasan kurang sehat. Musibah yang menimpa Aqlam membuat anggota keluarga besar Nabhan saling berdatangan untuk melihat kondisi Aqlam, tak lupa juga mereka melihat kondisi dari pasangan tua Nabhan yang menikah sudah 70 tahun namun masih sehat. Anak-anak dari para sepupu Agri saling membantu untuk mencari tahu siapa pelaku sebenarnya. "Nenek Lia! Nenek Lia!" suara imut gadis 3 tahun terdengar di pendengaran Lia yang beberapa bulan lagi akan memasuki umur 90 tahun. "Ya..." Lia menyahut panggilan dari cicitnya itu. "Apa nenek Lia ingin pergi bersama Lia kecil ke Paris?" gadis itu bertanya dengan penuh harap. "..." Tiba-tiba seisi ruangan itu sunyi. Jihan Kamala melirik ke arah ayah mertuanya, Agri. Namun Agri tersenyum lembut ke arah cicit perempuannya. "Ke...Pa...ris?" Lia mengerutkan bingung keningnya. Glung glung "Ya, ke Paris. Pergi bersama Lia kecil, nanti Lia kecil akan menemani nenek Lia setiap hari...Lia kecil akan membawa nenek Lia jalan-jalan di sekitar halaman dan taman rumah yang penuh dengan tempat sampah!" ujar gadis itu bersemangat. "..." Glek Farel menelan susah air ludahnya. Dia melirik ke arah sang adik. "Busran, kendalikan cucumu," bisik Farel ke arah adiknya. Busran hanya menggaruk-garukan kepalanya kikuk. Dia tidak bisa mengontrol mulut imut dari cucu perempuannya itu. Sebab cucunya itu terlihat sangat tegas ketika berbicara dengan semua orang. Dia tidak mau mendengarkan perkataan orang lain yang menurutnya tidak masuk dalam daftar pendapatnya. Busran juga bingung, ikut sifat siapa cucu perempuannya itu, apakah ikut sifat dirinya, tapi dia rasa itu tidak mungkin. Atau ikut sifat istrinya? Dia rasa itu bisa jadi, namun sifat Gea tidak seperti sifat dari cucunya itu. Atau mungkin saja cucu perempuannya itu mengikuti sifat ayahnya yang seorang diplomat handal dan cerdas dari Prancis, itu juga bisa jadi. Namun sepertinya terlalu berlebihan karakter cucu perempuannya itu. Busran berpikir mungkin saja cucu perempuannya itu merupakan gabungan dari seluruh karakter dari masing-masing orang tuanya. Itu bisa saja jadi. Mengingat tingkah absurd dari cucunya yang kadang-kadang kambuh tak terduga. Kadang lembut, kadang tegas, kadang perhitungan. "Aku sakit kepala menanganinya, kalau bisa, kakak saja yang kendalikan dia." Ujar Busran pada akhirnya. Piw! Farel mencebikan bibirnya kesal ketika mendengar kalimat dari adik yang tiga tahun lebih muda darinya itu. "Kendalikan apa? Aku saja dikata-katai oleh cucumu itu," ujar Farel dongkol. "Ppfft!" Busran menahan tawa. Ya, itu pasti sudah terjadi. Dua hari dua hari yang lalu ketika Bushra dan keluarga kecilnya sampai di kediaman Nabhan, Lia kecil dan Lia besar bermain bersama dan melakukan apapun bersama-sama, bahkan tidur pun Lia besar dan Lia kecil bersama dan Agri tidak merasakan kesal sedikitpun, sebab istrinya juga sangat antusias dengan cicit mereka. Farel tak sengaja membuang kalimat sederhana, namun itu diluar dugaannya. Flashback "Ariel, jangan terlalu bergelantungan pada nenek Lia, nanti nenek Lia kelelahan jika main dengan Ariel terus," ujar Farel mengingatkan cucu dari sang adik. Maksud Farel baik, mengingat bahwa tubuh ibunya sudah tua dan lemah. Sret Lia kecil tiba-tiba berhenti dari acara memijit punggung nenek buyutnya. Sret Dia berbalik dan menongka pingganya ke arah Farel. "Siapa yang kau sebut Ariel? Kau dan istrimu sama saja, tidak bisa membedakan dan mengingat nama orang!" Lia kecil menunjuk ke arah Farel lalu dia menunjuk sopan ke arah Lia. "Ini adalah nenek Lia, nenek Lia adalah Lia besar, dan aku adalah Lia, Lia kecil, jadi panggil aku Lia kecil, bukan Ariela atau Acthiana! Dan apa maksudmu aku bergelantungan pada tubuh nenek Lia? Aku memijit punggung nenek Lia yang sakit! Itu karena kau sebagai anak tidak menyayangi ibumu yang sudah tua! Apa kau mengurusnya?! Huh! Aku adalah Lia Rahmawati Farikin! Jadi lihat aku baik-baik dan hormati aku! Aku! Lia Rahmawati Farikin yang melahirkan kalian! Kau Farel! Busran! Dan juga Rafi!" "Jadi jangan mengatur-ngatur diriku! Mengerti?!" "Heum!" "..." Farel mangap-mangap. Seisi ruangan tiba-tiba sunyi tak ada suara apapun. Sret Lia kecil mendengus lalu setelah itu dia menoleh dan tersenyum lembut ke arah nenek buyutnya. "Nenek Lia, apakah benar yang aku katakan?" Lia kecil berkata lembut ke arah Lia. Glung glung Lia mengangguk membenarkan. "Ya...benar sayang...Lia Rahmawati Farikin yang telah...em...telah..." Lia lupa kalimat yang akan dia ucapkan. "Lia Rahmawati Farikin yang telah melahirkan Farel, Busran dan juga Rafi, nenek Lia." Ujar Lia kecil lembut melengkapi kalimat dari Lia. "Ah benar..." Sret Lia memandang serius ke arah Farel, sang anak sulung. "Kau harus berbakti kepada ibu yang telah melahirkanmu, kalau tidak nanti masuk...em...masuk apa sayang?" Lia menoleh bingung ke arah suaminya yang tersenyum lembut. "Nanti masuk neraka." Sambung Lia kecil. Flashback end Piw! Jika mengingat ingatan itu lagi, Farel menggigil ketakutan. °°° Saya menulis cerita ini di platform D.R.E.A.M.E dan I.N.N.O.V.E.L milik S.T.A.R.Y PTE. LDT Jika anda menemukan cerita ini di platform lain, mohon jangan dibaca, itu bajakan.  Mohon dukungannya. IG Jimmywall Terima kasih atas kerja samanya.  Salam Jimmywall.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN