Episode 19- Jujur

594 Kata
Mulut Sana menganga. Apa yang baru saja didengarnya dari Lukman membuat jantungnya sempat berhenti sejenak. Jarinya bergetar menunjuk Lukman. "Kau bisa... mengetahui isi hati seseorang?" Lukman mengangguk. Sana membuang muka dengan wajah memerah seperti tomat. Lukman jujur menceritakan kemampuannya. Tidak dengan visual yang ia lihat tapi kurang lebih cara kerjanya. Ia juga tidak menceritakan kalau sekarang dunia yang dilihatnya hanyalah hitam putih seperti film noir. Di samping Sana duduk Tabib buta. Ia sedari tadi bergumam. Lukman bisa melihat di atas kepala si Tabib terdapat kata 'keraguan'. Lukman meminta agar mereka berbicara di ruangan kosong. Ia diingatkan kemampuannya untuk tidak menjelaskan pada orang selain Sana dan Tabib. Tiba-tiba saja Lukman diguyur cairan dari botol si Tabib. Baunya pesing lagi amis. Saking pesingnya, Sana sampai keluar ruangan sambil terus mengutuk si tabib. Lukman sendiri juga hampir pingsan. Tidak terbayang bagaimana jadinya kalau ia harus mencuci baju dan celananya. "Apa yang kau baca?" tanya si tabib tiba-tiba. "Dari tindakan pak tabib?" Lukman melirik ke atas kepala tabib "Pak Tabib ingin agar Sana menjauh dariku dengan bau dari ramuan itu." Tabib terdiam. "Kau tahu nama ramuannya?" "Sejuta Tarik Ulur. Nama yang aneh," ujar Lukman menggaruk kepalanya. Tabib itu terkekeh. "Jangan sampai kemampuanmu diketahui oleh orang lain. Dunia bawah senang mengutak-atik kehidupan dan takdir manusia." Ia pun mengangkat bungkusan tebalnya dan berdiri. Dengan langkah kaki yang terseret, tabib tua itu meninggalkan kamar. Helaan napas panjang terdengar darinya. Lukman membacanya sebagai 'kacau-kacau'. Tak lama Sana masuk sambil menyemprotkan parfum ke seisi ruangan. Ia masih terbatuk-batuk dan menjaga jarak dengan Lukman. Alis matanya menukik tajam menatap Lukman. Lukman lama mungkin akan berdoa semoga tidak mati tapi Lukman yang sudah berubah sekarang hanya menatap polos saja sambil tersenyum. "Ada yang kau ingin tanyakan lagi?" Sana mengambil ponselnya lalu melempar ke arah Lukman. Lukman menangkap ponsel. Di sana terlihat foto Raga dan seorang perempuan. Kepala Lukman serasa dihantam ratusan godam. Ia sampai mual dan hampir muntah. "Lihat itu dan katakan padaku itu palsu atau asli." Lukman memandang lagi ke arah Sana setelah berhasil menguasai dirinya kembali. "Kamu siap mendengarnya?" Sana mengangguk pelan. "Asli." Muka Sana memerah padam. Bukan karena malu melainkan karena marah mengingat suaminya benar berperilaku seperti di foto. "Ah, tapi jangan langsung marah," tambah Lukman. "Karena?" "Foto ini... punya informasi lain." Sana mendekat dengan segera. "Maksudmu?" Lukman mengembalikan ponsel itu pada Sana. "Di foto itu aku melihat ada informasi palsu. Sekelilingnya palsu," tunjuk Lukman pada ponsel Sana. "Tapi keberadaan perempuan itu asli." "Fotonya dioplas maksudmu?" tanya Sana hati-hati sambil terus mengamati layar. Lukman melihat kata 'Ya' tapi ragu sejenak. "Bilang saja. Aku tidak akan memukulmu," balas Sana dengan sewot dengan wajah yang masih memerah –marah tapi malu. Tentu saja penjelasan itu juga terbaca oleh Lukman. "Ya." Sana kembali menunjukkan layar ponselnya pada Lukman "Bisakah kau memberitahu kemungkinan lokasi dari tempat ini? dari foto palsu ini?" tanya Sana separuh memerintah, separuh bertanya. Lukman sedikit melihat rupa Indah di Sana. Begitu ia melihat layar, ragam informasi kembali menimpanya. "...Aku tahu," Lukman mencari kertas. Di ponsel melayang alamat lokasi. "Tulis saja alamatnya di ponselku," ujar Sana sambil mengangkat kaki kanannya. Ia kemudian menghentakkan kakinya di lantai, menggetarkan lantai sekaligus membuat ombak frekuensi bergulung yang melewati saja tubuh Lukman. Lukman terkagum. Ia melihat gulung ombak itu sebagai pesan bagi pemuda berjas merah untuk berkumpul. Lukman menyerahkan ponsel itu sambil menahan mual. Perut dan kepalanya seakan diganduli anvil. Ia ingin istirahat. Tapi Sana menarik kerah Lukman. "Kau harus ikut. Hanya kau yang bisa membuktikan suamiku selingkuh atau tidak!" Sudah Lukman duga. Sekarang ia bingung mengapa kalimat itu sedari awal menyuruhnya untuk mengambil jalur membantu Sana.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN