Episode 18 - Tersasar dan Gertak

525 Kata
Tidak ada yang peduli Raga tersasar. Kecuali bila cerita menginginkan (dan Sana tentunya). Tapi memang tidak ada yang menyenangkan dari melihat Raga yang ditinggal sendirian. Ia hanya duduk bersila di rumput basah semalaman membayangkan kerusuhan yang tidak bisa ditonton. "Hey, rumput. Aku sudah menabur benih tapi tidak bisa menyaksikan apa yang kutabur. Apa peribahasa Indonesia itu salah ya. Siapa menabur angin akan menuai badai. Yang semacam itu maksudku." "Nyalimu tinggi juga." "Akhirnya membalas ya," ujar Raga sambil mencabut rumput. Ia cuek saja mendengar suara yang tak jelas datang dari mana. Di tengah kuburan pula malam hari pula. "Tahu dari mana aku mengawasimu?" "Polisi k*****t tidak mungkin sembarang meninggalkanku. Nyali mereka tidak setinggi langit," balas Raga menepis tanah dari rumput yang tercabut. "Jadi pasti ada akar masalah yang lebih kuat dari mereka. Mudahnya, ini titik pembuangan kalian. Salah satunya mungkin." Bayang-bayang ungu bercampur hitam muncul di belakang Raga. "Kenapa kalian justru menjauhkanku dari lokasi paling seru?" Si bayang-bayang diam sejenak. "Karena kalian masih butuh aku untuk mengacau?" tanya Raga sambil melempar rumput ke belakang. Rumput yang dilempar itu menembus badan si bayang-bayang. "Atau kalian ingin membunuhku?" tanya Raga yang kembali mencabut rumput lain di dekat kakinya. "Tidak." Raga tidak lega tidak pula kecewa. "Berarti memang belum saatnya ya." Raga membalikkan badannya. Tapi yang ia dapati hanyalah angin dan pemandangan nisan-nisan yang dingin tak menjawab. "Kalau memang di antara dua itu bukan tujuan kalian, lantas mengapa aku dijauhkan?" "Karena kami butuh rumor kau menghilang." suara lain terdengar dari belakang Raga. Raga tak suka itu dan bangkit berdiri dengan pelan. Ia berjalan mundur dua langkah dan kembali duduk, membiarkan punggungnya menghadap ke arah jalan. "Niatanmu ini kekanak-kanakan sekali," balas si bayangan –sedikit terkesan. Ia menduga kalau Raga merencanakan agar dirinya bisa ditabrak dari samping oleh mobil yang lewat. Tapi ia membiarkan saja. "Kau tahu, tangisan anak-anak itu tak bersalah," racau Raga tiba-tiba sambil melempar rumput ke samping kiri. "Tapi kadang bisa jadi pula sumber perceraian keluarga." "Kadang aku berpikir. Apa yang anak itu pikirkan ya?" tambahnya juga melempar rumput ke samping kanan. "Maksudku, sehabis dia melihat orang tuanya bertengkar karena permintaannya... apa dia akan menyesal dan tidak meminta lagi atau..." Mobil kencang melaju dan menembus bayang-bayang. Raga terdiam sebentar dan menghitung lapat-lapat. "Anak ini... kamu?" tanya si bayang-bayang setelah mobil melintas. Ucapannya semakin menjauh tapi tetap dengan gema. Raga menengok ke arah kiri. ke arah kedatangan mobil. "Sepuluh meter dari sini ya," ujar Raga sambil berdiri dengan tenang sambil menepis rumput di pantatnya. Ia lalu berjalan sambil bersiul. "Kalau ingin tahu lebih banyak, lebih baik kita bertatap muka saja, nona," ujar Raga yang terdiam mematung di depan sebuah pohon. Pohon itu balas menjawab. "Tahu dari mana?" "Aku peduli lingkungan," jawab Raga singkat sambil melihat ke arah rumput yang dilempar ke kiri. Sebuah mobil lewat dengan cahaya lampu tersorot. "Bayanganmu kabur saat aku melempar rumput ke kiri. Ditambah saat mobil melintas di dekat pohon ini, bayanganmu juga kabur sejenak." Tahi kuda! Si bayang-bayang tahu jelas kalau Raga membual. Cara ia menemukan itu jelas-jelas menebak saja. Tapi ia suka bermain dalam arus yang lawan sukai. Merasa diri menang itu adalah sebuah kelengahan. "Aku tidak lengah loh," bisik Raga tiba-tiba.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN