Bagi yang masih mengingat nama Sejuta Tarik Ulur harusnya masih mengingat betapa pesingnya cairan tersebut. Tapi ramuan tersebut sebenarnya adalah magnet aroma baik lagi indah. Singkatnya, afrodisiak.
Cara kerja ramuan itu adalah dengan menarik aroma wangi dan membuang aroma busuk. Karena itulah ramuan ini butuh waktu, sama seperti layangan yang butuh waktu mengudara.
Lukman, yang dalam kondisi mual, baru dijelaskan kenapa 'kacau-kacau' tertera di atas kepala si tabib. Makin mual perutnya. Apalagi saat melihat tidak hanya Sana tapi juga wakil yang tampak ingin mendekati dirinya.
Serba tahu bisa jadi sangat tidak mengenakkan. Bagi yang jujur seperti Lukman, kemampuan ini membuatnya bereaksi berbeda. Sehingga mau tak mau dari pihak beraksi juga akhirnya menjaga jarak.
Sana yang sadar diri setelah berjarak satu jari segera berdehem dan beringsut menjauh. Si wakil juga mengikuti. Keduanya membuang muka melihat pemandangan keluar jendela mobil saja.
Lukman mendapat peringatan untuk tidak bersuara.
Tanpa suara justru membuat Sana dan si wakil susah berkonsentrasi dari aroma yang mencucuk hidung mereka. Bagaikan hampir dimabuk alkohol, silap sejenak memudahkan sirap merasuk.
"Tabib Pusat itu..." geram Sana. Tanpa menengok ke arah Lukman, ia bertanya "Kau tahu apa yang disiramkan padamu, kan!"
"Ya. Sejuta Tarik Ulur."
Mendengar nama itu, mobil yang mengantar Lukman berputar balik untuk memasuki pom bensin. Mereka menyiram bensin pada Lukman.
Harusnya Lukman gemetar ketakutan selayaknya manusia normal tapi informasi yang didapatinya justru hanya membuatnya mual.
"Aku seperti melihat meme Bober Kurwa dimandikan..." komentar si wakil sambil keringat dingin melihat kalau Lukman hanya memandang tanpa berkedip saja saat dimandikan.
"Sudah hilang efeknya?" tanya Sana melihat Lukman sudah berganti baju. Ia mengenakan baju seperti Raga.
Sana mengernyitkan alisnya pada si Wakil. "Sengaja?" nada suara Sana terdengar sinis.
"Kami hanya membawa cadangan baju suamimu saja," balas dengan kekehan santai. "Atau kita perlu belanja cari baju dulu?"
Lukman ingin membalas, ia melihat tujuan si wakil di atas kepalanya. Ia tidak suka arah pembicaraan ini apalagi Sana masih dalam kondisi mabuk setelah mencium bau ramuan Sejuta Tarik Ulur.
"Aku tidak ingin menghambat kalian, bila memungkinkan–"
"Aku mengerti, berarti aku akan berpindah mobil saja. Silakan kalian berdua naik ke mobil ini," ujar si wakil sambil berjalan ke mobil.
Lukman merasa seperti bocah yang dipasang-pasangkan. Dan ia benar. Kalimat itu tertera di atas kepala si wakil yang terkekeh. Sana mencak-mencak dan menyuruh si Wakil kembali ke posisinya.
"...Suamimu itu benar-benar dibenci kah?" tanya Lukman tiba-tiba.
"Ya," jawab si Wakil. Sana langsung mengernyitkan alis. "Kalau bisa salah satu dari kami saja yang menjadi suaminya. Tapi tidak ada satupun pemuda yang mampu menggerakkan hatinya kecuali bocah satu itu," ujar si Wakil sambil menepis serangan kepalan tangan Sana satu persatu –tapi dari hidungnya mulai mengucur darah akibat getaran Sana.
"Kami menghargai keputusan Sana," ucapan ini mencegah terjadinya gelut ringan yang bisa saja meledakkan Pom Bensin. Si Wakil mengusap hidungnya dengan sapu tangan. "Tapi kalau ada yang lebih baik, mengapa tidak," tambahnya sambil memandang lurus pada Lukman.
Kalau Sana menolak akan lebih baik.
"Aku masih setia dengan suamiku! Pantang selingkuh!"
Lukman lega mendengarnya. Setidaknya Sana masih waras dan tidak terlibat dalam permainan gila.
Sana masuk duluan ke dalam mobil. Ia melihat Lukman masih berbicara dengan si Wakil. Jelas terdengar olehnya kalau Lukman mengingatkan agar bercanda tidak kelewatan. Si wakil tertawa saja tidak meminta maaf. Jelas ia tidak butuh minta maaf... karena dalam mata Sana sendiri terpantul imaji membandingkan kehidupan dirinya dengan Lukman atau dengan Raga. Kesempatan atau ujian masih ada di lapangan.
Kasus 'perselingkuhan' ini hanya butuh pembuktian saja.