Setelah tahu kalau cerita ini aneh atau tidak sembarang latar maka baru kita bisa bahas segala macam keanehannya. Cerita sebelumnya membahas lelang manusia. Di zaman modern begini harusnya tidak ada. Tapi manusia tidak pernah menghilangkan sisi dominan-tertindas.
Itulah yang dipikirkan Raga saat sedang menunggu namanya dipanggil. Nomor antriannya 86. Nomor yang mengingatkannya pada Sana; istrinya. 86 adalah nomor Metromini yang menyerempet Mobil Otomatis dari Sana.
Saat itulah Raga terpincut Sana. Cara Sana marah-marah lalu menggeleng lalu menghela napas dan berakhir dengan minta maaf membuat jantungnya berdegub kencang. Sudah lama ia tidak merasakan begitu semenjak terakhir dikejar belasan anjing liar saat masih kecil.
Sekarang jantungnya juga berdegup kencang. Ia membayangkan dirinya berdiri di panggung dan dilihat oleh ratusan mata di balik topeng-topeng.
"Wajah... pendominasi..."
Gemetarlah badannya. Hampir-hampir ia menyeringai. Kalau saja ia tidak mendengar isak tangis dari dua gadis yang tersedu sedan dalam busana tipis maka pastilah ia akan mulai terkekeh.
Raga melepaskan mantel yang dikenakannya dan memberikannya pada salah satu dari dua gadis.
"Hey, mantel itu ornamen untuk lelang juga," seru penjaga yang menunjuk-nunjuk dengan cemeti listrik.
"Lantas kenapa? Kami di sini sudah dilelang. Kami tidak bisa lagi membayar dengan materi. Setidaknya biarkan harga diri kami!" ...jadi modal lelang! itulah yang tidak disebut Raga. Tapi ia tahu kapan harus berhenti.
Dan saat ia berhenti, penjaga itu jeri sendiri. Mungkin juga tidak ingin merusak barang lelang atau karena memang pandangan tajam Raga membuatnya berdebar tak karuan.
Raga menghela napas. Cara memandang dua gadis itu dikenalnya dengan baik. Pastilah keduanya terpesona padanya.
Raga mengernyitkan alisnya. Kebaikan di saat begini harusnya dinilai lebih matang. Mereka tidak curiga kalau bisa saja Raga hanya ingin memanfaatkan situasi. Walau toh, ia mengerti kalau keduanya merasa dalam satu posisi bersama Regal hanya beda urutan.
Regal gatal ingin melihat kekecewaan di mata kedua gadis itu. Mungkin bisa dengan berperilaku kasar... ah, tapi ia lebih senang melihat wajah mereka yang tersorot lampu sorot panas di tengah panggung dengan tatapan penuh selidik mencari nilai dari setiap seluk beluk lekuk badan.
"Kalian butuh itu," ujar Raga dengan senyum iri. Ia terkekeh dalam hati karena sekarang mantel 'miliknya' akan menjadi nilai lebih atau kurang dari kedua gadis itu.
Kedua gadis itu dipanggil ke panggung. Keduanya melihat ke arah Raga dengan mata mengharap pertolongan. Regal hanya melambaikan tangan pada keduanya lalu mengangkat jempolnya. Tahulah keduanya kalau pemuda satu itu bagian dari ketidakwajaran dunia.
"100 juta!" Lelang dimulai. Semakin meninggi angka, semakin pucat wajah keduanya. Raga menyilangkan tangan.
"Harusnya mereka senang, begitu yang kau pikir?" sebuah suara perempuan dari belakang mengejutkan Raga. Raga menoleh.
Didapatinya seorang perempuan bercadar dengan figur yang Kutilang Darat (Kurus Tinggi Langsing d**a Rata). Cara perempuan itu menaikkan alis dan memandang remeh Raga mengingatkannya pada Sana. Jantung Raga berdebar.
"Jangan mendekat."
Suara lebih kecil terdengar dari dekat lutut. Bocah, laki-laki, sedang menatap tanpa berkedip pada Raga. Raga mengernyitkan alis. Jelas tak suka. 'Bocah' ketemu bocah pasti berujung adu mulut.
"Memangnya kenapa?" Raga memonyongkan bibir sambil mendekatkan kepalanya ke bocah.
"Karena kamu bisa terlibat tirai berdarah."
Seusai kalimat dari sang perempuan, Raga melihat keduanya meloncat ke tengah panggung, melewati nomor panggilnya yang berada setelah Raga.
"s**l mereka mengambil kesempatan manggung duluan," celetuk Raga.
...Andai ia tahu betapa buruknya peristiwa setelah itu.