Raga mengenali brutalnya dunia k*******n. Setidaknya ia yang seringkali tertidur di rumput taman kota menyaksikan anjing-anjing liar digebuk pengemis bertongkat bambu. Anjing liar mati di jalan karena merebut makanan di tanah atau mencuri dari mangkuk pengemis.
Taman kota tidaklah seindah yang dijanjikan oleh Walikota. Itu pikir Raga. Sehingga ia berasumsi, keindahan hakiki harusnya muncul dan berbunga di hati manusianya. Mewarna taman kota dengan darah dan air mata bukanlah dosa, melainkan keindahan.
Sekarang Raga menyaksikan betapa wajah-wajah di balik para topeng itu terbelah selayaknya sosis dibelah empat. Jerit ketakutan dan panik melanda bersamaan.
Kacau. Kacau. Kacau. INDAH!
"Hentikan dia—AGH!!"
Riang jerit hati Raga melihat betapa jemari-jemari bercincin bertebaran di udara. Putus tergigit oleh bocah pendek yang tak berkedip dan digunakan sebagai s*****a oleh perempuan Kutilang Darat.
Jantung Raga berdenyut keras. Suspensi kehidupannya menyala. Ia seperti melihat Sana kedua. Sana yang tidak melunak di hadapannya.
"Indah," celetuk Raga b*******h.
Sang perempuan Kutilang Darat berdiri di tengah semak-semak manusia yang bertumpukan. Ia terdiam menunduk memandangi ulahnya. Ia memejamkan mata dan menitikkan air mata.
"Kenapa memanggilku?" tanya sang perempuan tanpa menghapus bekas air matanya yang menghapus separuh make up.
Raga menutup mulutnya. Ia penasaran tapi tahu diri juga kalau celaka bisa menimpanya.
Sang perempuan melempar bocah itu ke udara dan menangkapnya dengan pundak. Sang bocah justru terkekeh tanpa berkedip lengkap dengan kepala yang naik turun seperti boneka sedang berbicara.
"Kalian tidak akan melakukan itu pada kami?" tanya Raga dengan mata berbinar.
"Kalian bebas," Ujar Indah sembari membiarkan bocah itu melompat dari pundaknya.
"Aku mau dia ikut," tunjuk si bocah tanpa berkedip pada Raga.
"Tidak boleh. Ayah nanti marah."
"Aku mau dia ikut. ikut. ikut," balas si bocah selayaknya boneka rusak. Ia kemudian melepeh benda merah dari mulutnya. Cincin.
Raga tergoda. Tidak ada Sana dan jantungnya sekarang berdenyut keras melihat Indah berjalan dengan tidak imbang menginjak tubuh korban-korbannya. Cincin itu bisa jadi bukti janji yang bisa ia tawarkan.
Perlu diingat, seberapapun manisnya perselingkuhan, selalu ada godaan pertama. Buah Apel yang konon dimakan Eva adalah godaan dari Ular. Ular mampu melingkar seperti cincin untuk membentuk sebuah ikatan palsu.
Raga berlutut sementara para manusia yang dilelang bersyukur kabur dari lokasi.
"Aku ingin ikut kalian," ujarnya seraya mengangkat cincin ke permukaan dan mengajukannya pada Indah.
Indah bergidik. Kuduknya meremang.
"Tuh, kan. Dia harus ikut," komentar si bocah.
"Tidak boleh!" sanggah Indah dengan bersemu. "Ayah akan marah nanti."
Si bocah menengokkan kepalanya hampir 180 derajat "Kamu bisa bohong. Kamu pintar berbohong," Lalu ia melepehkan benda lain; sebuah phallus pria yang terpotong rapih seperti sosis di hotdog.
Indah menampar si bocah. Mata si bocah sama sekali tidak berkedip padahal kepalanya hampir terputar.
"Itu lebih baik," ujar si bocah. Senyumnya melebar.
Raga yang melihat ini makin berdebar-debar gembira. Sana belum pernah memperlihatkan padanya k*******n sampai tingkat ini. Berpotensi tapi belum ditampilkan. Sementara yang ada di hadapannya adalah prasmanan yang siap tersaji.
Indah melangkah pergi melewati Raga. "Jangan ikuti kami," ancaman itu diabaikan oleh Raga yang bersegera mengikuti Indah layaknya kucing menemukan pengadopsi.
Korban dari pelelangan yang masih selamat sempat bertanya dalam hati apa yang baru saja dialaminya. Tapi ia lega karena semua ini berakhir. Setidaknya ia bisa bercerita pada sanak saudara dan semoga keturunannya.
Akan tetapi, ledakan dari pintu di hadapan menghempasnya. Pingsan. Kepala bocor dan mungkin memori hilang. Terakhir yang diingatnya adalah suara melengking dari seorang perempuan yang berteriak "RAGA!"