Episode 2 - Sana Mati

555 Kata
Sana terbiasa melihat pria-pria pecundang hidung belang bersujud di hadapan istri mereka. Kadang mereka baru bersujud begitu hidung atau tangan patah. Tidak saat onderdil mereka patah. Dahulu ia hanya mendengus dingin melihat kelakuan tukang serong. Tidak ada empati bagi mereka ataupun kasihan pada yang diselingkuhi apalagi pada pelakor. Hubungan segitiga itu baginya hina, semua pihak hina. Pelakor - hina karena memanfaatkan kelemahan hati Hidung belang - hina karena mudah tergoda. Yang diserong - hina karena lemah. Abai mengetahui dan mengendus pengkhianatan Bahkan Sana sendiri yang paling benci pada yang diserong. Tapi situasi sekarang ini benar membuat menelan ludah sendiri. Ia melihat Raga bersujud di bawah kakinya, di dekat pintu yang hancur. Tiada pula wajah suaminya itu mendongak. Tiada pula terdengar suaranya. Yang bisa ia lihat hanyalah badan yang bergetar selayaknya Anjing diabaikan di tengah hujan. "Kenapa?" tanya Sana, lirih. Pertanyaan yang sama berulang kali juga ditanyakannya pada yang selingkuh. Mengapa ada celah orang ketiga bisa masuk di antara dua yang sudah dekat. "Apakah karena aku kurang dekat denganmu?" tanya Sana lagi dengan mata yang kembali basah lagi panas. Matanya mulai memerah menahan amukan. Sana mencoba mengingat momen dimana keduanya bersentuhan fisik selain malam pertama. Tidak banyak dan ia selalu salting. Ia juga mencari memori penolakan intim darinya. Tidak ada. Bahkan ia mencari momen proposal dari sang suami. Tidak ada. "Apakah karena aku terlalu membiarkanmu bebas?" Ia melihat tubuh Raga bergetar. "Begitukah?" Sana bertanya lagi. Ia berharap ada satu di antara dua: ya atau tidak. Diam dan getarnya pria itu sangat tidak membantu meredakan campuran emosi yang diramunya. Sana melirik sekeliling ruangan. Hanya ada kasur dengan selimut yang berantakan. Pintu lemari juga terbuka lebar lagi kosong. Langit-langit hanya diisi kipas yang berputar pelan tapi tidak menyala. Dinding kamar juga bersih. Aneh bahkan. Tidak ada satupun colokan listrik. Kamar ini terlalu steril. Benarkah ia selingkuh? Begitu pertanyaan itu masuk ke kepala Sana. Ia melirik ke arah raga yang masih bersujud. Diperhatikannya kepala yang masih bergetar tanpa suara itu. Tidak ada tiga pusar kepala! Sana menendang tubuh tersebut. Mirip Raga tapi bukan! Di d**a jasad tersebut terdapat tiga buah batang dengan sumbu panjang. Batang tersebut bergetar Sana segera tahu ada masalah. Ia melompat mundur. Rumah itu runtuh seperti terkena gempa delapan Richter. Tak jauh dari sana. Seorang pemuda berbaju hawai dan topi jerami yang sedang duduk di bangu cafe mengemut es krim mengamati dengan seksama. Pemuda-pemuda berjas merah tampak panik dan saling melempar perintah. Kepanikan mereka semakin menjadi tatkala melihat kobaran api menyala dari reruntuhan. Dari kejauhan terdengar raungan melengking lagi menyayat. Suara perempuan. Pemuda tersebut mengangkat topi jerami dan meletakkannya di depan d**a. Mulutnya berkomat-kamit mengucap doa belasungkawa. Setelah tiga menit berdoa, bersamaan dengan datangnya pemadam kebakaran, ia berdiri dari kursinya. Ponselnya menekan tombol. "Dengan ini rencana kita berhasil. Sana Mafia telah tiada." Ia melangkah pergi dari lokasi dengan senyum lebar. Ia menyangka semua telah usai. Menggunakan drama perselingkuhan, ia berhasil mengubur dan membakar hidup-hidup perempuan terjahat lagi paling berbahaya di seantero Dunia Bawah. "Ah, si pemuda? Lelang saja. Buruh Timur mungkin akan tertarik pada badan kekar lagi tahan bantingnya." Sekali lagi ia menoleh, memastikan kalau para pemuda berjas merah menangisi tubuh yang legam terbakar tak lagi dikenali. Setelah mendengar simfoni indah barulah ia melangkah pergi. Yang tidak ia ketahui, adalah di antara para pemuda yang menangis teatrikal terdapat mata yang membara penuh dendam. Ini belum selesai.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN