Episode 5 - Ledakan Takdir

506 Kata
Sana duduk menyilangkan tangan di Mobil Otomatis milik wakilnya. Ia melipat kakinya dan berulang kali melihat ke arah jendela, ke jalan tol yang menurutnya lambat. Padahal mobil itu sudah melaju dengan kecepatan 140 km/jam ke menuju alamat yang tertera di GPS kursi pengemudi -autopilot. Wajah Sana tertutup cadar. Tambah lagi jelaga mengulas pipinya. Ledakan dan kobaran api tidak mencelakainya sama sekali. Tapi ia butuh berita kematiannya tersebar. Selain untuk menipu penyerangnya, ia juga punya firasat buruk terkait Raga. Seringkali sinetron-sinetron menceritakan kalau seorang duda akan mudah tergoda perempuan lain saat baru saja ditinggal mati. "Sabarlah. Masa kau tidak percaya pada suamimu," ungkap si kacamata, pemilik dari Mobil Otomatis yang mulai cemas. Ia tahu tabiat Sana. Tangan si wakil menutup kap langit-langit mobil. "Jangan," pintanya dengan lembut. "Tapi kalau kita tidak cepat, Raga bisa..." erang Sana. "Mati? Tenang saja, itu lelang–" "--selingkuh!" potong Sana dengan mata yang mulai memicing khawatir. Si wakil membelalakkan mata. "Di sana pasti banyak gadis lain yang lebih cantik... yang tidak keras," bisik Sana lirih sambil memegang lengan tangannya yang keras. Si Wakil tersenyum tipis. "Tenang saja, suamimu itu–" "Apa?!" balas Sana galak. si Wakil memilih diam saja. Ia beruntung mereka sudah tiba di hotel lokasi lelang. Menurut Intel, lelang diadakan di lantai 40; lantai teratas. Divisi strategi dari Mafia telah memberikannya rencana detail mulai dari masuk sampai keluar. Tugasnya sekarang adalah mengawal Sana masuk tanpa kekacauan dan memasang identitas sebagai orang penting. "Raga dalam bahaya!" dan tentu saja Sana mengacaukan segalanya. Ia sudah keluar dari mobil dan berlari masuk dengan cadar. Alarm kebakaran Hotel berdering. Tamu-tamu kocar-kacir berusaha kabur keluar. Karena kekacauan ini justru ia berhasil masuk tanpa masalah. Sana berlari ke atas. Yang didapatinya adalah pemuda-pemudi yang sedang berlari kabur. Tapi telinganya sempat mendengar suara Raga di balik pintu. Sana menyeringai senang, akhirnya ia bisa berjumpa dengan Raga. Tapi ia mendengar dua suara lain, yang sama-sama terdengar seperti suara perempuan. "Aku mau dia ikut," tunjuk si bocah tanpa berkedip pada Raga. "Tidak boleh. Ayah nanti marah." "Aku mau dia ikut. ikut. ikut!" Hati Sana seperti digodam. Ada pelakor yang ingin mengambil Raga? Harusnya Sana melabrak tapi ia justru terpekur. Tidak. Tidak. Raga suamiku pasti tahan godaan. Tidak mungkin ia tergoda. Ia bukan seperti yang ada di file atau seperti pria lain di sinetron-sinetron. Sana tersenyum tipis dan meletakkan tangan di depan pintu yang separuh terbuka. "Aku ingin ikut kalian," balasan Raga mendinginkan hati Sana. Teringat olehnya ragam komentar tentang sinetron yang seringkali diludahkannya saat menonton bersama teman-temannya. Menjadi tokoh utama dalam cerita tidaklah menyenangkan. Bahkan ia berusaha membantah kenyataan dengan melihat sekeliling -mencari kamera tersembunyi selain CCTV yang sudah hancur berkeping-keping. "Tuh, kan. Dia harus ikut." "Ayah akan marah nanti." "Kamu bisa bohong. Kamu pintar berbohong." Percakapan itu mendinginkan tangan Sana. Dingin yang menyebar itu mengangkat amarahnya ke ubun-ubun. Tangan yang menempel di depan pintu ikut memerah selayaknya terbakar api. Tangan itu mengepal. Dingin napas hidung Sana beradu dengan panasnya kepala dan kepalan yang siap menghancurkan apapun. Ledakan. Dan seperti cerita dari sisi Raga, Sana berteriak "RAGA!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN