Episode 22 - Pagi Bersama

597 Kata
Sana dan Lukman tertidur di mobil. Bukan tidur bareng. Bukan! Keduanya kelelahan mencari petunjuk tentang Raga setelah berpindah dari Gepeng (Gelandangan-Pengemis) ke Gepeng lain. Mobil yang mengantar keduanya sampai di rumah Sana pagi hari. "Aku tidak suka kalau informasi simpang siur begini," keluh Sana sambil menggosok giginya dan menatap cermin. Di luar kamar, duduk Lukman di depan pintu dengan wajah yang serius. Si Wakil sedang memberikan foto-foto hasil pencarian mereka. "Maaf aku tidak bisa membantu banyak," ujar Lukman, merasa bersalah. Dari dalam kamar terdengar jeritan singkat Sana. "Itu bukan salahmu!" jerit Sana sambil mengaduh. "Harusnya kami tidak melibatkanmu lagi." "Itu benar, harusnya kau mengantar dia kembali ke rumah. Dia suami orang," celoteh si Wakil tanpa mengubah ekspresinya. Sana tidak membalas. "Kau benar," suara Sana kembali terdengar tegas. "Harusnya aku tidak melibatkannya." Lukman juga baru menyadari, harusnya ia juga secepatnya saja pulang. Indah harusnya sudah di rumah. Tapi setiap kali ia berpikir soal Indah selalu saja ia mendapati jawaban 'Indah masih aman' yang tak jarang mengitari kepalanya seperti satelit pemberi peringatan. Jawaban yang muncul terkait apa yang harus dilakukannya sekarang adalah membantu Sana. Secara spesifik ia hanya mengikuti apa yang tertera saja. "Markas Gepeng Utara," ujar Lukman membaca kalimat yang tertera di pintu kamar Sana. Si Wakil terpekur sejenak. Saran ini datang saat mereka sedang mempertimbangkan untuk tidak lagi mengajak Lukman. Sana di dalam kamar juga tidak menjawab tapi terdengar kegaduhan. Sana keluar hanya mengenakan singlet dan celana pendek. Sudut bibirnya mengeluarkan darah. Di tangannya tergenggam sebuah sikat gigi yang bulunya sudah soak dan juga berdarah. Lukman memberikan sapu tangannya pada Sana. "Gusi anda terluka," ujarnya. Sana mengambil sapu tangan itu dengan agak ragu. "Aku tidak suka saran itu," balas Sana sambil mengusap bekas darah. Lukman tidak ingin bertanya kenapa. Ia khawatir pertanyaan panjang bisa membuatnya mual. "Karena mereka pasti akan memberi sesuatu yang tidak menyenangkan sebagai balasan... kebaikan," ujar Sana sambil memberikan kutipan pada kata kebaikan. Lukman mual. "Nah iya benar. Kebaikan versi mereka memang memuakkan. Kalau kita minta informasi kita harus bisa memberikan informasi lain yang setimpal pula," ujar Sana makin misuh. "Apa mereka mau kita kasih diskon untuk menghabisi orang atau meruntuhkan bangunan?" tanya Sana pada si Wakil. "Saran ini... akan kau jalankan?" tanya si Wakil sekali lagi untuk meyakinkan. "Aku bisa mencari info atau pekerjaan yang bisa dibarter tapi aku harus yakin kita memilih jalan ini." "Jelaskan padaku kekurangan dan kelebihannya, ELI 5," ujar Sana menggetarkan sikat giginya lalu menyerahkan pada si Wakil. Si Wakil membasuh sikat gigi itu dengan handuk. "Kelebihan: Apartemen Dunia lebih terpercaya daripada agen informasi di luar. Biaya mereka... bisa dibilang lebih ringan daripada modal kapital bertanya pada Buruh Timur," jelas si wakil sambil mengambil pakaian ganti lalu menyerahkannya pada Sana. Sana menerima pakaian ganti dan kembali menutup pintu kamar, sedikit terbuka dari sisi Lukman. "Kekurangannya informasi kita bisa disirkulasikan juga ya?" sambar Sana dari dalam. Suara Sana berganti baju terdengar. Lukman membuang mukanya ke samping, kembali memandang pada foto tapi tidak dapat mengabaikan suara di dalam kamar dan sekelibat pemandangan yang sempat dilihatnya. Dalam hati ia juga berulang kali menyebut kalau Sana sudah bersuami. "Kurang lebih begitu. Dan kita juga tidak tahu seberapa rendah informasi kita akan dihargai. Makin bisa diterima lantai satu makin bagus." Sana keluar dari kamar. Ia sekarang mengenakan mantel merah, T-shirt putih dan celana jins yang sobek-sobek. Wajahnya terlihat cerah. Rambutnya yang masih basah dikeringkan dengan satu gerakan memijat rambut. Getaran yang kencang menghempas bahkan menguapkan air. "Jadi?" tanya si wakil sekali lagi. Sana menjawab dengan anggukan. "Dan saudara Lukman, kau akan bawa dia?" Sana hampir menggeleng. "Aku harus ikut," tapi ucapan Lukman mengubah segalanya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN