Apartemen impian dunia. Markas Gepeng Utara di selatan Rajakarta. Sebagai sebuah markas, Apartemen Impian Dunia tidaklah mewah apalagi megah. Ada alasan nama Gepeng melekat di mereka.
Bentuk bangunan ini persis seperti limas terbalik. Lantai terbawah lebih kecil daripada lantai teratas.
Bila masuk dari gerbang depan maka pengunjung akan disambut oleh sekumpulan pengemis dan gelandangan yang segera bergerombol meminta-minta di halaman utama. yang diminta pun beragam; baju, celana, uang, makanan, kadang sampai minta dimaki. Apapun kelaparan mereka, adalah hak mereka untuk diberi. Bila rasa lapar ini dipuaskan, mereka siap balas budi. Balas budi adalah hak pengunjung.
Alasan kedatangan Sana, Lukman, dan si Wakil tak lain adalah untuk mencari balas budi ini. Sesuai eksposisi cerita sebelumnya, mereka akan coba saling bertukar informasi. Para Gepeng jelas adalah intel terbaik yang setara dengan kinerja Buruh Timur.
Sana, Lukman, dan si Wakil duduk di lantai 1. Mereka bisa melihat berapa sibuknya para Gepeng dan pencari informasi lalu lalang menaiki tangga. Lukman sudah diberitahu di perjalanan sehingga ia tidak perlu mual untuk mencari tahu.
Seorang pengemis muda, perempuan, datang menyambut mereka. Ia membawa mangkuk di tangan kiri sementara tangan kanan tampak seperti sedang menghitung dengan buku jari.
"Selamat datang, Sana Mafia. Kudengar kau sudah mati. Apa yang mengunjungi kami ini makhluk dunia lain atau palsu?"
"Aku menawar harga untuk hidup dan asli. Apa yang bisa kau beri?"
Mendadak para pengemis yang berada di luar merangsek masuk dan duduk di dekat ketiganya. Mata mereka semua seperti haus mencari kebenaran tapi tanpa menginterogasi kebenaran. Tidak seperti polisi, mereka tidak perlu memverifikasi. Kebenaran dari rumor toh ada dari jumlah yang diberi.
Lukman jeri juga berhadapan dengan situasi tak lazim begini. Ia sebagai polisi pastinya lebih senang bila info bisa dipercaya. Mereka terkendala dana dan personel. Sekarang ia bergidik membayangkan betapa gosip dan rumor bisa saja dibuat oleh gelandangan yang datang mengetuk pintu dan mengabarkan sesuatu pada penghuni terlepas dari kepemilikan internet.
"Informasi terkait Raga. Itu yang nona Sana inginkan."
"Nyonya," sanggah Sana cepat.
"Apalah arti pernikahan yang sebentar lagi berakhir selingkuh," ujar si pengemis perempuan muda sambil melirik pada Lukman.
Lukman mengabaikan candaan singkat itu. Ia tahu si pengemis hendak menjadikannya sebagai rumor, bukan memverifikasi rumor.
"Dan kau bingung memutuskan siapa yang berhak menjadi pemimpin selanjutnya menggantikanmu," kalimat Lukman membungkam si perempuan "Berapa harga informasi itu?" putus Lukman.
Para Gepeng yang berkumpul saling pandang. Mereka baru pertama kali mendengar kabar ini. Secara kompak, mereka semua memandang pada si pengemis perempuan.
"Kau mengerti cara main Gepeng Utara. Tidak tertarik untuk selingkuh ke sini saja?"
Lukman menggeleng ringan. "Tujuanku hanya ingin membantu nyonya Sana untuk menemukan suaminya."
Yuli tersenyum mendengarnya.
"Jangan coba-coba, Yuli. Kalau kau macam-macam, asylum-mu ini akan kuratakan dengan tanah."
"Lihat, sudah kubilang kan kalau pria pilihanmu itu akan jadi biang bencana," balas Yuli sewot sambil menghitung dengan jarinya.
"Tidak jadi deh. Pria itu juga sama berbahayanya," komentar Yuli sambil duduk di kursinya. "Lokasi Raga Angkara ya..." ujarnya sambil memicingkan mata. Mangkuk di tangannya digoyang.
Sana terdiam tegang. Lukman tidak mengerti cara kerja mangkuk ataupun apa yang dilakukan Yuli. Bukankah yang dilakukannya tak lebih dari nujum? Tapi ia tidak melihat kata itu muncul di atas kepala Yuli. Justru yang ia dapatkan adalah 'tunggu sebentar'.
"Raga Angkara, sedang menuju markas Geng Selatan."
Sana tersentak. Lukman juga. Lalu ia muntah karena paham dari lokasi dan kata tersebut.