Episode 9 - Pertemuan

658 Kata
Indah senang dengan keputusan Lukman. Matanya berbinar-binar senang melihat kalau suaminya sesuai dengan yang ia kira. Tapi ia juga tahu apa yang akan mereka hadapi. "Oh, aku boleh saran. Kalau bawa mereka bertiga rasanya kurang. Aku saran minta dua polisi mengantar tapi mereka tidak ikut setelahnya." Kapolsek meletakkan jarinya di dagu lalu terdiam. Indah berharap permintaan itu ditolak. "Bukan saran yang baik. Unit kami bisa ikut jadi korban. Tapi aku akan meminjamkan mobil pada kalian," kapolsek mengambil surat dan menulis "Bawa ini ke garasi. Hari bisa kasih kalian curanmor yang cocok." Muka Lukman mengelam. Ia tahu konteks curanmor itu tapi ia pasrah saja mengambil surat tersebut. "Wah itu nggak bisa. Bayangkan kalau Sana menganggap aku melarikan diri dari polisi karena nggak ada polisi yang nganter," komentar Raga "Aku minta itu biar kalian bisa dikenal loh. Kalau ada yang jadi korban ya anggap saja demi kebaikan bersama." Indah tersentak mendengar komentar Raga. Ia berharap saran gila itu tidak diterima. Menambah anggota polisi malah akan membuat runyam. "Ada benarnya juga," seru kapolsek. Ia mulai lagi menghitung kerugian dan kemungkinan pengkhianatan. "Apa saya bisa dapat jaminan kalau anda tidak akan berniat mencelakakan kami?" tanya kapolsek. Raga terdiam lalu melirik pada Lukman dan Indah. "Tentu." Kuduk Indah berdiri mendengar kesaksian itu. "Mah, kapan kita pulang. Aku capek," sang bocah tiba-tiba menarik lengan baju Indah. "Sebentar ya sayang, kita masih harus mengantar kakak ini," bujuk Indah. "Tapi kakak ini sudah besar. Tidak perlu diantar lagi," Indah tertawa kecil mendengarnya. "Dia takut," balas Indah "Kamu masih ingat kan, penakut harus diantar," tambah Indah. Raga cuek saja. Ejekan seperti itu tidak pernah menguliti harga dirinya. Tapi kalimat itu mempengaruhi Lukman. "Begini saja biar aku yang mengantar dia ke istrinya. Pak Angga, saya mohon agar istri dan anak saya diamankan di salah satu rumah perlindungan saksi." Saran itu memuakkan bagi Raga. Tapi ia melihat ekspresi Indah yang memucat. Aha! Jangan-jangan justru akan menjadi hal yang baik baginya. Jadilah ia mendiamkan saja dan menyaksikan Indah yang memegang tangan Lukman. "...apa aku akan jadi janda?" Lukman memeluk Indah. Tadinya ia ingin diam saja tapi akhirnya ia menyebut "Tidak akan." Apakah ini build up menuju kuburan? Indah merasa begitu. Ia berbisik pada sang bocah. Bocah itu mengangguk-angguk lalu menoleh pada Raga dan menyeringai senang. Raga balas menyeringai balik. Kuduknya meremang dalam girang tertahan. Harapannya melambung. Singkat kata, Lukman membawa Raga sementara Indah dan sang bocah diantar menuju lokasi rumah aman. Lukman bertemu Sana di pelabuhan. Ia bisa melihat kalau pembawa bedil mengeker dirinya di atas kapal kargo. Sana datang sendiri walau di belakangnya berkumpul pemuda-pemuda berjas merah yang menyalakan lampu sorot ke tengah arena pertemuan. Lukman membawa Raga -tanpa borgol. Di belakangnya menunggu dua rekan Polantas yang ikut terseret drama. Tidak ada senpi yang mereka bawa dan jelas nyali mereka raib melihat bedil tertodong dari jauh. "Kalian menyandera suamiku?" adalah pertanyaan pembuka dari Sana. "Tidak. Dia diselamatkan oleh istri saya," balas Lukman yang tidak tahu menahu situasi sesungguhnya. Sebagai polisi yang ingin masuk reskrim, ia melewatkan kesempatan dengan tidak menginterogasi lebih lanjut soal kejadian. Itu fatal. "Oh, jalang itu. Ia selingkuh dengan suamiku, kan?" Lukman mengernyitkan alis "Selingkuh? Jalang?" Lukman menengok pada Raga yang duduk di belakangnya. "Anda jangan menuduh sembarangan!" adalah sesuatu yang ingin diutarakannya. Tapi ia mengambil napas panjang dan menyebut "Ada buktinya?" "Dia bersama perempuan lain." Raga bersiul. Lukman kesal dengan kelakuan Raga. "Bila ia diselamatkan, tentu saja ia harus bersama orang lain. Saya harap anda–" Tinju Sana berhenti sejengkal di depan hidung Lukman. Tapi ia bisa merasakan angin keras. Wajahnya memanas seperti ditarik dari belakang dan dilepas. "Lanjutkan..." ungkap Sana. Matanya menatap tajam pada Lukman. Lukman berdeguk "Saya harap anda mau berkepala dingin." Sana menarik tangannya. "Nyalimu bagus. Aku akan dengar satu permintaanmu sebelum mati." Lukman bersyukur masih ada kewarasan di mata Sana. Ia bisa mencoba bernegosiasi. Tapi kewarasan itu berubah saat ia mendongak ke atap "Dengar dulu kata orang, dasar cewek cemburuan," adalah kalimat yang kembali memanaskan hati Sana. Ia menyeringai. "Jalang..."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN