Lukman menduga kalau Sana akan merangsek rumah mereka. Ia butuh kepastian kalau Raga tidak akan aneh-aneh. Adalah aneh juga baginya mengapa ia bisa langsung percaya Raga begitu saja.
"Kita akan ke Polres sekarang!"
Indah tidak menyangka itu keputusan suaminya. Tapi ia mengizinkan. Siapa yang tidak senang kalau beban hilang satu. Apalagi beban itu hampir saja mengacaukan rumah tangganya.
Indah awalnya enggan untuk pergi. Akan lebih mudah baginya untuk tinggal dan menjaga rumah saja. Kalau istri Raga datang ke rumah ia bisa menjelaskan atau setidaknya bisa menghadang.
Tapi bagaimana dengan Lukman? Sana Mafia selalu bisa lolos dari kepungan polisi -menimbulkan atau tanpa korban jiwa. Ia juga hanya tahu suaminya polisi biasa.
Indah dan sang bocah juga akhirnya ikut. Lukman tegang, sekarang ia harus melindungi istrinya yang ia tahu hanyalah ibu rumah tangga. Raga justru bersiul senang. Semua elemen kekacauan mengikutinya.
Raga menduga mereka akan disergap begitu keluar dari rumah.
Ternyata tidak. Di perjalanan?
Tidak juga. Raga mulai berharap akan ada kekacauan minimal di kantor polisi.
Tidak...?
Raga, Indah, Lukman, dan sang bocah masuk ke ruang Kapolres. Begitu mereka datang, Kapolres langsung memegang mukanya dan menunduk lesu.
"Kenapa kau bawa bom ke sini? Mau polres ini rata dengan tanah?" berat terdengar nada Kapolsek.
"Dengan segala hormat, pak. Justru saya membawa ke sini agar kepolisian tidak dirangsek."
"Oh?"
"Kita hanya tinggal memastikan kalau suami Sana aman di sini."
"Naif," komentar si kapolsek sambil mengambil telepon. "Kau itu tidak paham bekerja dengan orang dunia bawah."
Telepon diangkat di seberang sana. Kapolsek mengangkat dan bicara dengan wajah tegang "Ya. Kami ada. Ya," ujarnya sambil menatap ke arah Lukman. "Kami akan bawa. Ya."
Indah tidak suka percakapan tersebut tapi ia harus menahan diri. Tangannya terkepal keras dan hampir memerah. Raga makin mencium adanya kekacauan. Senyumnya mengembang lebar.
"Ah, berarti setelah ini aku akan dikembalikan ke Sana ya?"
Kapolres mengangguk. "Siapa tumbalnya?" tanya Raga dengan kekeh panjang.
Kapolres keringat dingin "Apa maksudmu?"
"Bapak bilang tadi naif kan soal urusan dunia bawah. Berarti akan ada korban yang harus diberikan sebagai minta maaf."
Indah menoleh tajam pada Raga. Lukman juga terkejut.
"Begitu cara mainnya, kan, bapak Kapolres? Istriku pasti marah. Dan kalian ingin menyelamatkan bangunan ini beserta orang-orangnya. Aku tidak masalah, kok. Bukan aku yang akan mati ini."
Raga tersenyum lebar. "Di mana penjaraku?"
"Sebentar! Pak, anda tidak mungkin berpikir begitu, bukan?" tanya Lukman. Wajahnya pucat.
Kapolres hanya menunduk. "Briptu. Polisi bukanlah kekuatan besar di sini. Apalagi sekedar Polres," ia lantas mengangkat mukanya dengan ekspresi memelas. "Kau pasti mau berkorban demi kebaikan, bukan?"
Indra berulang kali mengingat wajah seperti itu. Wajah manusia-manusia tanpa kekuatan yang berusaha tidak jadi korban. Ironisnya mereka tanpa segan akan mengorbankan orang lain yang mereka anggap lebih lemah. Ia tidak suka dunia makan memakan.
"Kenapa bukan bapak saja yang berkorban?" tanya Lukman yang kadung kecewa
Kapolres memundurkan punggungnya "Posisi saya penting, kamu harus tahu itu."
Raga makin senang mendengar itu. Ia menyeringai. Indah melihat itu.
"Kalau begitu, biar saya dan suami saya yang menjadi tumbal," ujarnya berusaha mencegah.
Kapolres langsung berwajah gembira. "Nyonya, anda adalah warga sipil. Tugas kami adalah melindungi anda, itu juga yang suami anda inginkan," kapolsek melirik pada Lukman "Benar begitu bukan, Briptu Lukman?"
Indah menoleh pada suaminya. Sedikit banyak ia berharap suaminya akan mengatakan tidak. Tapi Lukman hanya terdiam dan memandang tanah.
"Saya akan melindungi Indah!"
Raga dalam hati sangat senang. Masuknya Indah dalam skema justru jadi biang bencana.