Episode 10 - Tuyul

519 Kata
Tuyul Pembunuh Mucikari. Bukanlah julukan yang bagus di telinga orang normal tapi bagi yang menjadi target... tiga kata itu adalah momok. Seorang perempuan atau pemuda dengan cadar sedang berdiri memegang kaki seorang anak kecil yang tampak menyeringai. Bagi yang matanya tidak awas, cahaya rembulan yang temaram membuat seakan-akan yang dibawa oleh si perempuan atau pemuda itu adalah sebuah pedang besar yang bisa menggeliat lagi tersenyum. Pemuda di kapal kargo terbata. "Hiiiy..." Akhirnya terucap lah ketakutan dari mulutnya. Bedil yang dibidik meletuskan peluru. Digigit. Peluru perunggu itu dimakan lalu dilepeh balik ke penembaknya. Peluru itu hanya menyerempet kuping. Tetap saja ketakutan menyambar. Dan menyambar takut ke sekitar. Bedil-bedil lain menyalak. Seolah tahu tidak ada bidikan yang akan bisa akurat, si perempuan atau si sosok yang tidak terlihat itu berjalan masuk ke tengah arena di tengah hujan peluru. Semua menahan napas. Semua ingin menguak siapa pemilik tubuh dan yang disebut sebagai tuyul. "...hey Jalang. Tampilanmu beda dengan pertama kali kita berjumpa." Indah yang bercadar diam. "Ingin menyembunyikan wajahmu yang selingkuh?" Indah diam. "RAGA!!" teriak Sana. Satu teriakan itu seakan menggetarkan pelabuhan. Bedil-bedil pemuda di atas kapal kargo bahkan rontok selayaknya dipreteli suara. Tapi Raga tidak menjawab. Mobil polisi yang tadi datang mengantar sudah raib. Raga kabur di tengah kekacauan hujan peluru sebelumnya. "Suamimu lari darimu. Terima saja fakta itu," balas Indah dalam suara yang rendah. Sana justru tersenyum tipis. "Pasti karena ulahmu." "Delusi ada batasnya, nyonya." Ini pertama kalinya Lukman melihat legenda urban dari dekat. Ia pernah melihat Sana. Wanita itu datang ke polda saat apel senin pagi di suatu hari. Ia datang sendiri dan disambut dengan gegap gempita oleh atasan –walau ia melihat ketakutan alih-alih respek. Tapi Tuyul Pembunuh Mucikari lain soal. "Tidak ada delusi. Yang ada hanya fakta," balas Sana melemaskan sepuluh jarinya. Dia didapuk sebagai penjahat. Andai ia menyatakan dirinya sebagai penghuni dunia bawah, barangkali polisi akan menggelarnya sebagai pembunuh misterius atau buron tanpa nama. Lukman merekam figur itu di kepalanya. Segala seluk beluk tubuhnya, caranya berjalan, caranya menyeret bocah yang bergigi tajam, sampai suaranya yang berat. Ia sadar ia tidaklah pintar, apalagi kuat, ia hanya bermodal keinginan dan harapan. Tapi... ia juga manusia yang berbekal firasat. "Tidak mendengar cerita orang lain artinya kau sudah punya jawaban di kepala," balas Indah. Lukman merasa seperti mengenal sosok yang disebut. Tapi ia tidak bisa menuding siapa. Bisa jadi gadis di pinggir jalan atau bahkan rekan polisi yang dikenal. Siapapun bisa jadi penghuni dunia bawah yang tidak mencari nama, hanya memiliki eksentrisme untuk nanti dikenali atau dijuluki. "Jawaban itu adalah pembenaranmu." Tinju Sana terkepal. Berbalas satu gerakan mengangkat sang bocah bergigi tajam untuk tegak berdiri. Sekarang bocah itu tampak seperti Barong yang menatap pada Sana tanpa berkedip. "Benar. Apa yang kukatakan selalu benar." Dampak selingkuh besar. Bahkan sebelum ia dibuktikan saja sudah bisa mencipta kekacauan. Setidaknya ini masih skala kecil tapi dua rumah tangga mungkin akan kandas. Dua tinju Sana saling beradu. Getaran keras menghempas pelabuhan bahkan gudang dan bangunan di sekeliling seakan berorasi dengan resonansi. Resonansi yang hakikatnya sempat digunakan oleh pihak yang ingin membunuh Sana sebenarnya adalah s*****a dari Sana. "Karena aku adalah..." Sana Mafia adalah "Pencinta Suara."
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN