Episode7 - Hasut

526 Kata
Briptu Lukman adalah polisi yang mencoba jujur. Tapi gagal. Ia terseret hanyut dalam skema palak-memalak keamanan yang diajarkan temannya. Ia merasa bersalah. Wajah para warga atau pemilik bisnis yang mencibirnya masih diingatnya jelas. Ragam usaha meminta ampun pada Tuhan tidaklah menenangkan hatinya. Sampai suatu hari ia mendapat jawaban. Dengan ragam alibi sok heroik, ia memilih untuk menyelamatkan dan bahkan menikahi target gerebek rumah b****l. Indah. Istrinya itu dijadikan penyelamat hatinya atau justru kedok agar tahu dirinya tidak murni pendosa. Lukman tidak ingin curiga pada istrinya. Tapi pemuda yang dibawa istrinya itu seperti berasal dari comberan. "Menurutku, mereka mati karena dibunuh," jawab Raga; sedikit kecewa karena Indah tidak memakan umpan. Kecurigaan Lukman semakin menjadi "Yakin sekali. Ada bukti?" tanya Lukman sambil mengunyah tulang ikan. "Ada. Ada bekas darah. Banyak darah di baju." "Bisa jadi mereka terluka." "Iya juga," balas Raga sambil mengusap dagunya. "Apa aku yang sebenarnya senang melihat ada cerita seru?" "Apa kematian orang lain jadi cerita seru bagimu?" Raga tidak menyangka pertanyaan itu diajukan kepadanya. "Ya," Lukman hampir tersedak mendengarnya. "Memangnya kau tidak? tanpa orang mati tidak ada kerja polisi. Tanpa orang mati, kelakuan busuk tidak bisa disamarkan dengan mayat-mayat lain kan. Mengendus satu dua cerita mayat lebih baik daripada memanfaatkan dan menginjaknya." Semua yang di atas diucapkan tanpa intonasi menusuk, tidak menyerang. Bahkan Raga mengatakannya sambil mengambil bagian ikan yang tidak gosong. Lukman sampai tertegun mendengarnya. Rasa bersalah yang dimilikinya berontak ingin keluar dari sangkar hati. "Tidak semua manusia layak mati," sanggah Indah. "Apa kita akan main menjadi tuhan dan menentukan siapa yang layak dan tidak layak mati?" tanya Raga terkekeh setelah mengunyah daging ikan. "Padahal kita semua bisa mati, kecelakaan atau disiksa, dibunuh," ia lantas menengok pada Lukman "Menurut anda bagaimana, pak?" "Hanya penjahat yang berhak dihukum," balas Lukman. "Mati?" "Ya." "Menurutmu yang mati jadi korban itu bukan penjahat?" Lukman terdiam. Sofistri Raga ada benarnya juga. Saat operasi menggerebek rumah b****l, anggota satuan terpaksa menembak mucikari yang berusaha kabur. Ia mendengar dari warga sekitar kalau mucikari itu sering menyumbang. Menjadi mucikari katanya hanyalah jalan agar ia bisa makan tapi ia ingin warga di sekeliling komplek sejahtera bila ada jalan lain. Kontradiksi itu yang tidak disuka Lukman. Dunia akan lebih baik bila hitam putih saja. Bila Raga jahat maka ia bisa menodongkan pistol. Ia tidak perlu menginvestigasi. Tapi karena ada abu-abu maka ia harus menghitamkannya atau memutihkannya. Lukman melirik pada Indah. Sebagai suami ia harusnya menjadi pemimpin tapi ia ingin menghargai keputusan istrinya. Ia bisa menyuruh Raga keluar dari rumahnya sekarang juga. "Apa itu penyebabnya kamu kabur dari istrimu?" tanya Indah. Raga melirik ke arah Lukman. Ia tahu kunci kekacauan lain. Sebuah nama. "Kabur dari Sana? Dia pasti mengerti kok." "Sana?" tanya Lukman berdiri dari kursinya. "Sana Mafia?" "Iya," Raga tampak santai sekali menjawab. "Kami baru menikah beberapa hari lalu." "Apa kau tahu istrimu itu wanita berbahaya?! Buron!!" "Aku tahu," jawab Raga santai. "Dan dia justru memilihku. Kalau pak Polisi curiga aku berbuat macam-macam dengan istrimu..." ia terdiam sebentar "Aku rasa Sana juga bisa berpikir sama." Lukman pucat. Keluarganya terancam. Ia menengok ke arah jendela. Sekarang warna-warni lampu di jalan seakan berubah jadi lampu sorot. "Di sini bahaya. Kita harus pergi!" Lalu Raga diborgol.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN