Ini pertama kalinya Indah dan Sana bertemu muka. Entah kenapa keduanya sepakat satu hal:
“Aku tidak suka kamu!”
Pernyataan keduanya secara bersamaan bahkan mengagetkan. Seperti Resonansi. Keduanya juga sama-sama tidak suka.
Hanya satu perbedaan besar.
“Dia kuat,” adalah peringatan dari si bocah yang memegang tangan Indah. Genggamannya mengeras. Indah tahu kalau si bocah juga gelisah.
“Aku tidak bisa menggigitnya. Pakai saja formasi kedua.”
tangan si bocah yang tergenggam terlihat menghitam. Hitam itu menular juga ke tangan Indah. Kedua tangan yang saling bergenggaman itu terlihat sebagai mata rantai yang bila tidak rapuh, terlihat kuat.
“Dia bukan lawan kita,” bisik si bocah tiba-tiba.
“Tenang saja. Aku hanya ingin kabur,” mata Indah melirik pada Raga yang tampak bersembunyi dengan ekspresi ketakutan -pura-pura tentunya.
Sana mendengar percakapan itu sejak awal. Ia menyangka dirinya diremehkan. Maka pertarungan dibuka dengan gerakan pertamanya: kedua telapak tangannya ditepukkan di depan d**a. Udara seperti beriak.
Sana memutar pergelangan tangan dan menjentikkan riak udara itu selayaknya bola besi atau peluru siap ditembak.
Indah tidak tahu apa yang dilakukan oleh Sana. Tapi ia tahu ada sesuatu di udara yang berubah. Ia menghindar dari jalur (yang diduga) serangan Sana.
Dinding di belakang Indah rontok. Suara jerit ketakutan kembali terdengar hampir bersamaan dengan menyalanya sprinkler ruangan. Asap perlahan bergerak menghalangi pandangan keduanya.
Indah menyangka itu kesempatan. Dengan satu loncatan rendah, ia bermaksud menyelamatkan Raga. Tapi geraknya sama dengan Sana.
“Kau hendak membawanya? Jangan mimpi!”
Sana mengarahkan telapak tangannya, mendorong udara. Dentum ledakan terdengar.
Indah berhasil memiringkan kepalanya untuk menghindar dari tapak Sana. Tapi dentum suara di dekat telinganya membuatnya tuli sejenak. Ia tidak mendengar caci maki dan penjelasan Sana.
Penjelasan yang ini “Dia suamiku! Aku akan menyelamatkannya!” dengan wajah yang memerah dan hampir menangis. “Jangan ganggu dia!!”
Indah melihatnya seperti manusia pemarah yang akan menampar yang lemah dengan botol bir (bila ada). Maka Indah mengayunkan si bocah dengan sekuat tenaganya.
Sana tidak menyangka suaranya tidak didengar. Suara besarnya selalu menakuti banyak orang apalagi saat ia berteriak. Gelombang suara yang bisa menggetarkan gedung membuatnya ditakuti berbagai pihak dan menjadi alasan Jas Merah menjadi Jasa Meruntuhkan Bangunan Murah.
Kaki dari si bocah menghantam rusuk kiri dan hampir saja menghantam lehernya. Ia beruntung tangan kirinya sempat naik dan melindungi leher. Sana terhempas tiga langkah.
Memar merah mewarna kulit lengan Sana. Napasnya menderu akibat rusuk yang dihantam. Marah. Apalagi saat ia melihat Indah kembali berlari ke lokasi persembunyian. Mana mungkin ia membiarkan Raga dikejar Jalang.
Sana menghentakkan kaki. Lantai menimbulkan riak. Dengan cepat, satu kaki Sana menaiki riak terbesar. Terhempaslah ia ke arah lokasi Indah.
“Jalang!!”
Indah masih belum mendengar. Beruntung si bocah menariknya ke samping sehingga tendangan lurus Sana ke kepala Indah meleset lima cm. Tapi kaki Sana sempat menyentuh rambut Indah.
Getaran yang merambat dari rambut itu membuat Indah menggulingkan dirinya sambil memeluk si bocah; menjaganya agar tidak terluka.
Hubungan keduanya memang aneh. Si bocah dijadikan s*****a tapi juga dijaga agar tidak terluka. Selama beraksi Indah sendiri tidak pernah sengaja menjadikan si bocah sebagai perisai. Lengannya pernah terluka karena melindungi si bocah. Ia beruntung bisa berbohong agar tidak dicurigai.
Indah terbangun dengan gemetar. Kepalanya pusing.
“Kau bisa kabur sendiri?” tanya Indah; masih dengan kuping berdenging.”
Si bocah menarik Indah menjauh dari sudut pandang Sana. Sana sendiri juga mulai begah dengan konflik dengan Indah. Ia membuka tempat persembunyian Raga; tumpukan meja.
Raga tidak ada di sana. Tentu saja. Selagi kedua perempuan itu bertarung, Raga justru berjalan menjauh dari sana dengan tenang. Ia seperti hantu atau minimal manusia yang bisa membuat keberadaanya hanya bisa dilihat saat mata melirik.
Indah yang menyangka kalau Raga dalam bahaya segera mencegah! Dengan bantuan si bocah yang berlari di dinding, ia mendekati Sana dengan cepat. Satu tendangan dari Indah mendarat di pipinya. Tapi tendangan Indah tidaklah kuat, hanya mampu menggeser posisi kepala Sana agar sedikit doyong.
Sana hanya merasa dihantam bola kasti. Kaget dan terdorong tapi ya sudah cukup meringis saja. Ia hampir menangkap tangan Indah.
“UGHK!”
Tapi ia menghindar karena melihat si bocah menghujamkan kakinya ke kepala. Suara angin yang tertebas akibat tendangan membuat wajah Sana berubah pucat sekaligus marah.
“Jangan ganggu!”
“Jangan sentuh dia!”
Kepala Sana mendadak terisi oleh sebuah informasi.
“Jadi kau jalangnya!”
Indah tidak siap dengan amukan Sana. Menghindari tapaknya saja sudah setengah mati. Bila disebut beruntung ya beruntung. Memiliki refleks dan bantuan dari si bocah menyelamatkannya berkali-kali. Dinding dan lantai di ruangan ini yang bolong dan rengkah sudah menjadi bukti nyata amukan Sana.
Raga sekarang bersembunyi di balik tirai. Ia melihat Sana murka sementara Indah sedang beringsut. Pertarungan ini tidak imbang. Skenario ini jelek. Kurang menarik. Butuh bumbu.
Raga tahu apa yang dibutuhkan: narasi. Butuh motivasi kuat dari Sana untuk semakin emosi, butuh kesadaran dari Indah untuk turut masuk dalam konflik, dan harus ada episode tambahan agar kesabaran keduanya kacau.
Raga tidak tahu soal Indah. Maka dari itu ia perlu tahu. Ia merangkak dan mengumpulkan taplak meja selagi suara pertempuran pecah di ruangan. Setiap kali barang atau objek hancur, ia bersiul tipis serupa suara bom.
Begitu taplak meja sudah terkumpul, ia mengikatnya satu persatu membentuk sebuah temali panjang. Ia mengira-ngira tinggi gedung dan lokasi mentalnya Indah.
Indah terpental akibat satu dorongan udara. Kesadarannya menipis karena udara juga makin menipis. Setiap resonansi yang memukul udara seakan juga menyedot udara. Atau mungkin memang ia sudah lelah.
Indah melihat ke arah jendela yang terbuka. Daripada harus mati melawan perempuan gila, lebih baik mencoba selamat. Indah meloncat ke bawah.
Saat di udara, ia merasakan kakinya ditarik ke dalam ruangan. Ia hampir menjerit, bila tidak karena udara seakan tidak mau masuk ke paru-parunya.
Di dalam ruangan ia melihat Raga yang terkekeh sambil meletakkan telunjuknya di depan bibirnya sendiri. Raga menunjuk ke arah jendela yang telah ditambatkan temali taplak meja.
Ia mendengar Sana meloncat turun.
“JALANG!! KEMBALIKAN SUAMIKU!!”
Indah hanya bisa ternganga saja. Sebelum ia sempat berterima kasih, pandangannya menggelap.
Si bocah terkekeh memandangi Raga.
“Berani juga kau…”
“Dengar. Aku punya tawaran untukmu. Kau akan senang mendengarnya dan menerimanya.”
Kulit wajah si bocah menghitam.
“Baik. Mari kudengar apa yang ingin kau sampaikan, manusia pengacau!”