Tetapi Justin malah tersenyum meledek ke arah Kala. Habis sudah kesabaran lelaki muda itu. Walau perkelahian bukanlah cirinya ... Tapi Kala sangat mahir mengolah tubuh, membanjirinya dengan peluh demi satu kata yaitu... kemenangan.
Kala tidak suka kalah. Baginya berkelahi untuk menang atau tidak sama sekali.
Kala meninju wajah Justin sampai lelaki itu tersungkur mengenai kaki meja. Kumpulan odner di ujung meja menimpa muka Justin. Pun Kala berusaha mengatur nafas sambil menatap Justin dengan sorot mata dingin.
Dia tidak mau terbakar dengan emosinya sendiri.
Kala kembali membenarkan jas. Pukulan tadi sudah cukup memperingati Justin supaya gak berulah lagi.
Jika Kala membiarkan Justin bertingkah terus menerus, itu bisa melemahkan konstitusi yang Kala berlakukan di perusahaannya.
Singkatnya ... Kala mau menunjukkan siapa yang paling kuat di sini.
"Aahk, sialan." Bibir Justin mengeluarkan darah. Mata marah dan tidak bisa mengatur emosi adalah wujud asli lelaki itu.
Sekuat tenaga, Justin melempar odner ke arah Kala. Sialnya lemparannya tidak mengenai Kala tetapi justru Vanilla.
Tadi ... sewaktu Kala berlari ke arah lift. Vanilla membuntutinya, mencoba turun dari anak tangga. Hatinya cemas akan ada keributan dan benar saja.
"Ahk!!"
Spontan Vanilla berteriak keras. Baru sampai pintu. Sebuah odner melayang tepat di hadapan dan dia malah berteriak tidak sanggup mengelak.
Sampai Vanilla merasa ada tangan besar melindungi belakang kepalanya dan segera memeluk erat.
"Aahh!" Kala berdesis. Yah, dia memasang tubuhnya demi melindungi Vanilla.
Vanilla hanya bisa melotot tajam waktu dia perlahan membuka kelopaknya. Jadi yang peluk dirinya Pak Kala. Apa yang terjadi ... sampai Kala yang dikenalnya tenang juga rasional terlibat keributan.
Pandangan Vanilla jadi ke arah Justin.
Vanilla bisa mencerna jika tadi kedua pria itu baru saja cekcok. Tapi kenapa? Apa Kala sebal Justin tidak profesional kerja. Cuma kan gak harus sampai begini.
Satu sisi, dia juga gak bisa mengontrol degub jantung karena sedekat ini dengan bos muda itu. Dengan jelas Vanilla bisa mencium aroma tubuh Kala. Tatapan yang teduh tapi terlintas rasa kesepian dan secuil amarah.
"Kamu gakpapa?"
Vanilla gak bisa menjawab pertanyaan Kala. Seluruh benaknya cuma terisi iris mata sendu itu. Seakan dia masuk ke dalam kepedihan yang dirasakan Kala.
Kala mengendurkan pelukkan. Dia ikut melirik sinis ke Justin. Oke, kalau pria itu mau membalas dia ... tapi perbuatannya tadi hampir membahayakan orang lain.
Justin sendiri mencoba bangun.
"Kala. Kau gak bisa membuangku. Para pemegang saham semuanya berpihak padaku. Kau memang pewaris. Tapi aku lah pemeran utama di sini."
Kala menggeleng sambil menggidikkan bahu. "Oh,ya. Tapi jangan yakin dulu. Bisa jadi orang yang kau anggap kawan sebenarnya musuh."
Kala percaya, tidak ada yang abadi di dunia bisnis. Lawan bisa jadi kawan begitupun sebaliknya.
Sudah puas dia melihat ayah juga kakeknya yang beberapa kali berusaha digulirkan oleh orang-orang yang mereka percaya. Dan Kala tidak mau mengulangi kesalahan yang sama. Itu juga alasan yang membuatnya berusaha peduli dari hati kepada karyawan pilihannya.
Kala pikir ... dia sudah lepas kendali. Seburuk apapun Justin, semestinya dia tidak mengutamakan adu otot.
Kala memutuskan ke ruangan. Disaat menghempaskan punggung ke sofa, dia malah menjerit kesakitan. Hm, sepertinya punggungnya sakit terkena benturan odner terisi penuh itu.
"Aduuh," Kala merapatkan netra. Tangannya berusaha menggapai punggung yang memar. Tapi Vanilla datang dengan kotak P3K.
"Sini Pak. Saya bantu obatin," pekik Vanilla jutek.
Tadi Kala meninggalkannya begitu saja. Pria itu terkadang peduli, terkadang juga tak acuh. Menimbulkan keraguan di hati Vanilla.
Kala menurut, dia merubah posisi duduk jadi menyamping. Membuka jas dan kemeja navy itu. Mempertontonkan otot punggung juga bahu lebar miliknya.
"Jangan kenceng-kenceng,ya."
"Ya ellah, Pak. Badan gede tapi takut sakit," kata Vanilla masih ketus.
Ini kenapa sih, bukannya Kala terluka setelah menolong Vanilla. Minimal baik dikitlah. Di elus, disayang.
'Huh! Dasar atasan gak sabaran. Masa Pak Justin kena pukul gara-gara telat laporan sih?'
Vanilla sudah termakan pikiran negatifnya. Jadi apapun yang Kala lakukan selalu mendapat stigma buruk tanpa melihat dari segi pandang lebih luas.
Andai saja dia menanyakan langsung pada Kala.
Mungkin pria itu akan menjelaskan tentang dia yang gak suka dengan sikap Justin mencoba kurang ajar kepada setiap wanita. Tapi mungkin juga tidak. Karena Kala tidak suka menjelaskan atas sikap yang dia ambil ke orang lain.
Bagi Kala, dia sudah dewasa dan tidak perlu persetujuan orang untuk bertindak.
Sejak hari di mana dia ditinggal ... hatinya membeku. Dari luar Kala terlihat ramah tapi di hatinya menanggung kecewa.
Dua kali dihianti oleh orang yang dia sayang membuat Kala menutup rapat dirinya.
"Terima kasih!"
"Iyah," gumam Kala seraya tersenyum tipis. Tapi Vanilla mendorong punggungnya yang sakit. Mengundang pekikkan dari Kala serta tatapan nyalangnya.
"Mestinya bukan saya yang bilang makasih. Tapi Bapak yang harusnya makasih sama saya. Udah saya obatin."
Vanilla melipat kedua tangan di d**a.
Reaksi Kala bingung, speachless dan entah apalagi.
Dalam benaknya mau protes. Kenapa jadi dia yang diminta bilang makasih. Kala kan datang ke Justin demi membela martabat Vanilla.
Wanita ini belum sadar akan maksudnya?
"Sudahlah."
Kala bangun sembari memasang kemejanya lagi. Wajahnya masam.
Vanilla tahu, lelaki itu pasti gak mau mengalah sebut terima kasih. Jadi, untuk apa dia ada di sini.
Buru-buru dia membereskan kotak P3K. Mungkin kalau di kantor ini ada bonus tambahan untuk pekerjaan di luar jobdesk. Maka, Vanilla lah yang paling berhak untuk itu.
"Nanti malam di hotel A. Kau ingat kan?" Kala masih sedikit kesal. Akhirnya dia mengatakan tanpa melihat Vanilla.
Vanilla memberengut sama geramnya. Kenapa juga tadi menawarkan diri. Alhasil nanti malam harus bertemu bosnya lagi kan.
Seharian bertemu lelaki itu saja sudah suatu kemalangan. Ditambah malam pun diisi dengan makan malam bersamanya.
Satu-satunya yang Vanilla syukuri karena itu hotel A merupakan hotel yang punya kenangan khusus baginya.
***
Vanilla berdandan seelok mungkin. Gaun maroon semata kaki dengan bagian belakangnya yang terbuka sangat cocok dikenakan. Pada bagian depan, gaun itu berpotongan d**a rendah. Jadi, sudah pasti sebagian bukit kembarnya terlihat begitu menggoda. Untuk rambut, Vanilla menyanggul hingga memperlihatkan leher mulusnya. Ditambah sapuan lipstik merah menyala.
Vanilla jadi nampak dewasa dari biasanya. Vanilla melakukan ini karena dia mau menguji orientas Kala, yah bisa dibilang ingin menggoda.
'Lihat saja nanti. Apa Pak Kala masih melihat Bima.'
Vanilla cukup tertantang mengembalikan Kala ke fitrahnya sebagai lelaki sejati.
Di meja makan sudah ada Kala. Pria itu sedang asik menunduk, memainkan I-Pad di tangan seakan tak ada detik yang dia lewati tanpa bekerja.
Vanilla membuang nafas kasar, kenapa dia merasa Kala begitu menyedihkan. Dibandingkan menakutkan sebagai seorang bos, Kala lebih terlihat seperti kucing kecil yang minta diselamatkan.
Vanilla setidaknya tahu, Kala sebetulnya tidak menyukai bekerja di kantor. Sedang kenyataannya, dia mesti berkutat seharian penuh dengan segala rutinitas.
"Pak."
Vanilla memanggil Kala. Dia meliukkan badan depan Kala. Reaksi Kala sendiri tergugu selama beberapa detik.
"Kamu sekretaris saya?"
Vanilla duduk samping Kala. "Iyah, Pak. Kan sekretaris bapak cuma satu. Vanilla, cewek paling cantik di Adikara," ucapnya bangga. Gak perlu diminta, Kala membuka jas. Untungnya klien yang mau ditemui seorang wanita. Kalau enggak, tampilan Vanilla bisa membuat bola mata seorang pria keluar begitu saja.
"Pakai," titahnya tak suka. Kala semakin memberengut. Sial, dia gak bisa melanjutkkan pekerjaan atau pun menatap Vanilla. Duduknya jadi salah tingkah.
"Kenapa sih, Pak?" tanya Vanilla gak suka. Tetapi tetap memasang jas Kala di pongkol lengannya.
"Siapa yang memintamu memakai baju seperti itu?"
Karena suara tegas Kala. Vanilla merasa bersalah dan malu. Kelopaknya bergenang air mata. "Saya mau sendiri, Pak," lirih Vanilla.
Kala mendekat ke arahnya untuk berbisik.
"Lebih baik buang baju itu!"
Deg! Vanilla tidak bisa menahan air mata. Semestinya dia juga memikirkan reaksi tak suka Kala. Tadi di rumah, dia cuma punya niatan merayu Kala sedikit.
'Bodoh, Vanilla ... harusnya kamu sadar. Meskipun lelaki itu menyukai wanita. Dia tidak akan melirik ke arahmu.'
Keduanya sesaat diam. Atmosfer kaku menyelimuti mereka.
Kala merasa malam ini jadi kacau setelah kehadiran Vanilla.
Bukan karena tidak cantik, Persetan! Bahkan baju itu sangat cocok digunakan perempuan di depannya. Namun, yang meresahkan adalah reaksi tubuhnya langsung panas seakan ada sesuatu yang menggelitik Kala sampai ke perut.
Berkali-kali Kala menahan agar jakunnya tidak bergoyang. Pun setelah gadis itu terlihat sedih. Ada sisi dalam dirinya yang ingin memeluk erat. Entah, mungkin jiwa heroik atau cinta yang lama dipendam.
"Ayok!"
"Hah, mau ke mana, Pak? Bu Anya saja belum datang."
Vanilla mencoba profesional dengan menyimpan air mata penghinaan beralih mengecek buku agenda begitu tergesa.
"Gak perlu. Kita bisa bikin janji lain kali. Tapi sekarang saya sedang tidak mood bekerja."
Seorang Kala bisa tidak berhasrat memegang pekerjaan.
Kala menarik Vanilla yang masih beku. Ia mencari lift yang sepi seperti orang gila. Kala sendiri gak tahu kenapa dia harus lakukan itu. Tapi dia gak mau Vanilla bertemu pria lain lantas pria itu memandang lapar ke arah sekretarisnya itu.
"Pak saya bisa pulang sendiri, Pak."
"Dengan baju seperti itu. Tunggu ... gimana caranya kamu sampai sini?"
Vanilla menarik nafas dalam. Ini sudah keterlaluan buat apa bertanya hal detail.
"Saya ke sini naik taksi," jawab Vanilla ketus.
Ketika lift terbuka, Kala menarik tangan Vanilla.
"Kalau begitu, pulangnya saya antar."
Kala membelakangi Vanilla seakan gadis itu begitu jijik untuk dipandang. Dengan berani Vanilla berdiri di samping Kala.
"Saya gak butuh diantar Bapak."
Sakit hatinya karena sikap Kala. Bagi seorang wanita dibentak seperti itu adalah satu penghinaan.
Detik selanjutnya, Kala memojokkan Vanilla ke tembok lift.
"Tolong! Jangan terus menguji kesabaran saya."