1. Mindblowing
Seorang karyawan sedang mengetuk pintu ruangan direktur operasional yang kebetulan baru beberapa hari tiba di Jakarta.
"Maaf, Pak."
Dia melangkah tergesa. Di tangannya terdapat berkas laporan yang disiapkan secara mendadak karena perintah atasannya tersebut.
"Kamu boleh keluar!" titah Kala sembari mengibasi tangannya, meminta agar Candrabima--sang karyawan menarik diri.
Bima mengangguk tapi kakinya keluh untuk melangkah pergi, di tangan Kala ada nasib dari puluhan ribu karyawan yang kini dia curigai sebagai dalang membengkaknya biaya produksi daripada margin keuntungan itu sendiri.
"Hm," Kala menghembuskan nafas. Lantas melirik ke Bima yang nampak kikuk di tengah ruangan.
"Tunggu apa lagi, keluar!" Perintahnya, kali ini lebih tegas.
Dikala Tjandra terkenal sebagai atasan yang tidak bisa mentolerir kesalahan sekecil apa pun itu. Baginya, bersikap manusiawi sama saja membuka kelemahannya dan kelemahan nantinya akan menghancurkan diri hingga dia gak bisa lagi bangkit seperti waktu itu.
Tidak, saat-saat mimpi buruk itu menyapanya tak ingin lagi Kala lalui.
"Tapi, Pak."
Bima tahu, para petinggi lain sudah melakukan kesalahan fatal. Selama dua tahun terakhir ini sistem rekrutmen pekerja pabrik tidak lagi murni seperti dulu. Ada mahar besar yang harus dibayar kepada calon pekerja, mengingat begitu membludak antusiasme masyarakat setiap kali pabrik pembuatan mammer ternama itu membuka lowongan.
Entah siapa yang memulai, tetapi sesajen puluhan juta sudah menjadi tolak ukur seseorang bisa diterima bekerja di sini.
Alhasil, bukan orang-orang kompetenlah yang menduduki posisinya. Namun, hanya sekumpulan orang nekat, bahkan tidak tahu apa yang mesti dilakukan saat berhadapan dengan pekerjaannya. Saling sikut dan berharap modal mereka cepat kembali juga menjadi polemik tersendiri dikalangan para buruh.
Hal itu dicurigai oleh Kala sendiri, selama ini dia menjalankan bisnis keluarganya dari jauh sembari dirinya kuliah.
Mengawasi lewat laporan-laporan palsu yang disusun dan dikirim kepadanya. Mereka pikir, anak muda berusia 22 tahun itu cukup polos untuk dibohongi. Nyatanya Kala sudah lama mencurigainya, tapi dia masih memiliki prasangka baik dan memilih menunggu jajaran direksi bersikap terbuka padanya. Sayang ... sampai dia lulus kuliah hal itu tidak pernah terjadi.
Bersikap curang sudah seperti candu yang sulit dilepaskan. Bukannya itikad baik. Malah, mereka terkesan ingin menjatuhkan perusahaan karena jiwa tamak mereka.
Kala dianggap sebagai batu sandungan, asal lelaki itu dibuang dari perusahaannya sendiri. Maka, aktifitas mengambil keuntungan-keuntungan pribadi bisa mereka gaungkan secara terang-terangan.
Kala masih mengepal berkasnya dengan geram. Ditangkap oleh Bima, itu membuatnya betulan mau pergi.
"Tunggu, Bima!"
Kala menahan langkah Bima, dia berdiri dan menuju ke arah Bima.
"Aku mau tahu. Apa ada, selama dua tahun terakhir ini, pekerja yang masuk ke sini tanpa melalui bagian penerima kerja?" tanyanya.
Bima gagap. Kalau dia bilang ada, bukannya itu fatal. Secara yuridis semua pekerja harus melalui rangkaian test yang diterapkan perusahaan.
"Ada tidak?" selidik Kala kembali. Jika Bima mengingat, ada dua orang. Satu dirinya dan satu lagi... .
"Ada, Pak," balasnya lemah dan takut.
Bima sendiri bekerja setelah dia mendapatkan referensi khusus. Karena tiket emas itu dia dengan cepat menjadi team di bawah Kala langsung. Sementara karyawan satu lagi ... .
"Orang itu saya dan Vanilla, sekretaris Bapak," jawabnya lagi.
"Vanilla." Kala membeo.
Yah, tiga bulan yang lalu dia menginterview seseorang lewat meeting online. Namun, karena kesibukkannya. Kala tidak pernah benar-benar melihat wajah Vaniila. Yang dia tahu, gadis 20 tahun itu cukup cekatan dan ulet.
"Kalau begitu panggilkan dia!"
Ada misi lain yang ingin Kala berikan ke Vanilla. Untuk saat ini hanya dia yang bisa Kala percayai sebagai orang yang berpihak kepadanya.
Ketika Bima keluar, Kala kembali duduk di bangkunya sambil menerawang hal yang sudah terjadi.
'Seminggu yang lalu, aku bertandang ke pabrik tanpa memberitahu siapa pun. Dari sana aku bisa melihat tampang-tampang gugup dan tertekan. Tapi aku mencoba menanggapi biasa saja.
Seorang penguasaha bukan hanya dituntut untuk bersikap tegas. Tapi juga berkepala dingin agar keputusan yang diambil tidaklah merugikan.
Ku lihat beberapa karyawan kesulitan melakukan pekerjaan mereka. Dari laporan rekrut yang ku terima tidak ada karyawan baru selama enam bulan terakhir. Artinya mereka sudah ada di sini lebih dari enam bulan tapi entah mengapa hal dasar saja mereka tidak mengerti.
Pabrikku bukan lembaga amal. Aku tidak bisa menggaji seseorang yang tidak becus. Sedang di luar sana aku yakin masih ada calon pekerja sesuai dengan kualifikasi yang aku inginkan.
Saat aku tegur, pekerja itu gugup dan bilang dia tahu lowongan dari temannya yang sudah bekerja. Aku tidak mempersoalkan itu.
Tapi aku baru tahu kalau 80% para pekerja memiliki hubungan satu sama lain.
Semakin ku telurusi keganjalan demi keganjalan terjadi. Bahkan sekarang, sudah seperti ini pun mereka masih berusaha membohongiku. Tanpa pernah mereka tahu. Aku sudah mengeceknya lebih dulu. Aku tahu bagaimana mereka mencoba bermain api dan siap-siap saja terbakar oleh api yang kalian sulut sendiri!' batinnya bermonolog.
Ketika yang sama seorang gadis mengetuk pintunya.
"Masuk," ucap Kala. Orang yang datang adalah Vanilla--Sekretaris yang baru dua kali bertatap muka dengannya.
Kala memperhatikan tampilan Vanilla dari atas ke bawah.
'Apa dia salah satu dari orang itu. Apa dia juga ingin berkhianat kepadaku?' batinnya.
Sedang Vanilla merasa kikuk ditatap Kala sangat intens
'Tunggu, dia naksir aku?'
Vanilla menerka hal yang mustahil tapi sebenarnya itu bisa saja terjadi dengan kecantikan mirip gadis Rusia. Mata yang cerah, hidung bangir serta senyum yang memukau. Semua pria pasti akan tergila-gila padanya.
Tapi sayang, Kala ada di spesies pria berbeda. Selain pekerjaan, ia tidak tertarik dengan apapun lagi.
"Sudah berapa lama kamu bekerja, Eeng, eng, Coklat?!" Kala bergumam ragu diakhir kalimat.
Vanilla melotot, "Vanilla, Pak. Tapi Bapak bisa panggil saya Vani," terangnya.
"Ya, sudah berapa lama kamu bekerja di sini, Vani?"
Lho, bukankah dia sendiri yang menerima Vanilla di sini tetapi Kala sudah lupa. Apa cowok itu punya penyakit amnesia menahun?
"Tiga bulan, Pak. Tepatnya 5 januari."
Namun, Vanilla tetap menjawab meski malas.
Kala kembali ingin menyelidiki kesetiaan Vanilla, dia maju beberapa langkah hingga berada di hadapan karyawannya itu.
"Kamu suka sama saya?"
Kala bertanya langsung. Konteks suka yang dia maksud adalah, apa Vanilla menyukainya sebagai atasan. Apa dia cukup mumpuni jadi pemimpin yang disenangi bawahannya.
Kalau suka kan artinya sama saja meminimalisir sikap menentang kebijakkan perusahaan. Tidak ada ceritanya ... orang yang disayang perusahaan lantas menggigit perusahaan dari belakang. Yang ada, sudah dikecewakan dan dicurangi makanya bertindak curang balik ataupun anarki seperti melakukan demo dan semacamnya.
Miris, Vanilla berpikir ke arah lain.
Sumpah ini cara menyatakan cinta paling anti mainstream yang pernah dia dapati.
Wajah Kala sama sekali tidak menampakkan butuh dijawab. Kala masih mempertahankan keangkuhan lewat sorot matanya.
Vanilla jadi merasa dipermainkan.
"Bapak, saya tahu. Saya cantik tapi jangan nembak langsung juga dong. Gak tahu malu," gerutunya dengan lirikan pedas.
Kala menyipitkan matanya. Kenapa reaksi dia jadi gitu. Karyawannya ini salah minum obatkah?
Apa sebetulnya Kala yang salah menerima orang. Manusia gak jelas kok malah duduk di posisi sekretarisnya.
"Pak di mana-mana kalau mau cintanya diterima. Ngomongnya itu yang lembut kalau perlu sambil bersimpuh supaya bisa diterima. Bukannya jutek kayak Bapak."
Vanilla merasa bisa bercuap semua yang ada di benaknya. Karena saat ini yang dia hadapi bukan Dikala--si direktur. Tapi pria yang lagi merayunya dan sebagai wanita, dia boleh dong bersikap jual mahal.
"Kamu ngomong apa, sih?"
Kala menggeleng beberapa kali, ia semakin gak paham sama pembahasaan Vanilla. Padahal cukup jawab ... dia puas dengan semua kebijakkan yang diterapkan Kala. Kalau itu dia katakan, Vanilla sudah bisa pergi dari ruangannya.
"Saya rasa, walaupun kamu mengkhianati saya. Kamu gak punya pengaruh besar. Kamu juga gak mungkin bisa mengalahkan saya!"
Kala jengah. Dia mengangkat tangan meminta Vanilla pergi. Baru kali ini dirinya dihina dan itu membuat Kala kesal.
Sama halnya dengan Vanilla yang merasa sudah salah menilai Kala.
"Maksud Bapak apa bilang saya gak ada apa-apanya. Saya setiap hari lembur karena tugas-tugas dari Bapak terus ... Bapak seenaknya bilang saya gak ada kontribusinya!"
Suaranya terdengar amat kecewa.
Tadinya Kala sudah berbalik jadi kembali menghadap Vanilla. Ditatapnya gadis itu.
Kala sebetulnya gak bisa melihat wanita menangis. Bawannya selalu ingin menghibur, kebetulan hatinya tidak terbuat dari besi.
Kala membuka mulut. Mungkin dia bisa menarik kata-kata tidak berguna menjadi kurang berguna. Yah, minimal lebih baik kan?
"Bapak tadi nembak saya. Ta--tapi juga ngatain saya gimana, sih?"
Kalimat protes itu semakin memperkeruh suasana.
"Sebentar kapan saya nembak kamu?!" sungut Kala dengan mata melotot. Gak jadi deh menghibur Vanilla, habisnya ... dia fitnah gitu.
"Tadi Bapak tanya, apa saya suka sama Bapak. Saya gak tahu darimana Bapak bisa menarik kesimpulan kalau saya suka. Tapi yah, emang saya suka. Gak ada yang gak suka sama Bapak. Tampang ganteng, punya jabatan yang wah. Tajir pula lagi. Bahkan nenek-nenek yang udah sekarat juga mau sama Bapak. Tapi saya butuh waktu, Pak, jangan paksa saya!"
Matanya melirik ke Kala. Dia harap, bosnya itu memberikan ruang dan waktu. Gak lama, kok paling hanya satu-dua hari sampai Vanilla menjawab 'I do.' Karena kalau kelamaan lagi tawaran jadi kekasih Kala keburu expired, kan.
Sayangnya Kala membatu. Ia gak bisa bicara karena terlalu mindblowing. Jadi daritadi, Vanilla menyangkanya sedang menembak untuk jadi pacar. Astaga! Mana mungkin.