Montserrat
Dengan tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana, Rafael menatap lamat tengkuk Vanessa yang sudah ditutupi gadis itu dengan rambut merahnya. Tatapannya jelas sekali ingin menyingkap rambut menggoda itu dan memastikan sekali lagi tato yang ada di sana, alih-alih memikirkan bagaimana bisa tato kecil itu berada di sana. Entah Vanessa yang melakukannya sendiri, atau ada lain hal yang tidak ia ketahui.
"Kamarku di mana?"
Vanessa berbalik, menatap Rafael dengan tanda tanya.
"Karena ini weekend, kamarnya sudah full dan ini kamar terakhir."
Rafael melihat kening Vanessa berkerut. "Jadi maksudmu kita harus tidur di satu kamar yang sama?"
"Itu bahasa sederhananya," balas Rafael, lalu mengeluarkan tangannya dari saku celana dan membawa tas miliknya serta koper milik Vanessa yang ia duga berisi semua hal yang Vanessa butuhkan, padahal mereka hanya beberapa hari di sini.
Vanessa pun mengikuti Rafael masuk ke dalam rumah kecil bewarna cokelat itu. "Bagaimana kita bisa tidur bersama? Aku memiliki tunangan dan apa kata or---"
"Masih belum," ralat Rafael sambil menatap Vanessa. "Lagipula apa peduli orang dengan ini, tidak ada yang akan peduli. Ini sudah biasa, Ane."
Mengabaikan tatapan tidak suka Vanessa, Rafael meletakkan koper miliknya di atas ranjang. "Gunakan kasur ini, aku bisa tidur di sofa."
"Memang seharusnya begitu," jawab Vanessa, lalu bergegas untuk membuka isi kopernya. "Bisa kau keluar? Aku tidak ingin kau melihat pakaian-pakaian berhargaku."
Rafael tersenyum sinis. "Aku akan keluar untuk mengambil bahan makanan." Setelahnya Rafael memutuskan untuk memberikan Vanessa privasinya.
Rafael berjalan ke luar rumah menuju mobil dan membawa bahan makanan yang dibawanya. Setelah itu, diletakkannya di bagian dapur dan merapikan tata letaknya dengan baik.
"Aku lupa membawa sikat gigiku, apa di sini ada toko?"
Rafael menoleh. "Tentu saja ada, kau harus ikut."
"Ke sana?"
Rafael mengangguk, lalu mengambil jaketnya dan jaket milik Vanessa dan memasangkan jaket cokelat itu kepada Vanessa. "Di luar anginnya dingin."
Begitu Vanessa sudah membawa dompet dan ponselnya, Rafael segera mengajaknya ke sebuah toserba terdekat yang menjual banyak hal. Dari kebutuhan privasi sampai makanan cepat saji yang bisa dipanaskan.
Drt...
Saat sudah tiba, Rafael mendapatkan pesan yang membuatnya membiarkan Vanessa masuk lebih dulu ke dalam toserba dan akan ia ikuti setelah mengirimkan balasan pesannya dan juga setelah memarkirkan mobil.
Setelah memastikan Vanessa sudah masuk dengan baik ke dalam toserba, kedua mata Rafael melirik ke arah mobil bewarna hitam yang terparkir jauh dari toserba, menampilkan kaca mobil yang gelap dan plat yang menurutnya aneh. Namun, itu tidak Rafael pikirkan lebih jauh karena pesan keduanya muncul lagi. Membuatnya ia membaca dan membalasnya dengan baik.
Ketika ia selesai melakukan tugasnya, Rafael segera memarkirkan mobil dengan lebih baik lagi dan turun untuk menemui Vanessa di dalam toserba, tapi tepat ketika ia menutup mobilnya, sebuah kaki yang putih bersih mendapatkan perhatiannya. Membuat Rafael mendongak untuk mencaritahu siapa yang mencegahnya.
"Veronica?"
Rafael sedikit terkejut. Ini pertama kali ia bertemu dengan Veronica Karl, seorang teman yang putus kontak dengannya.
"Kupikir itu bukan kau, ternyata aku masih mengenalimu. Bagaimana kabarmu?"
Rafael tersenyum dan memeluk Veronica dengan erat. Sebuah pelukan akan kerinduannya kepada seseorang.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Rafael, mengabaikan pertanyaan Veronica.
"Aku tanya bagaimana kabarmu, Rafa."
Rafael menghela napasnya. "Baik-baik saja, meski aku sedikit tidak baik-baik saja dengan pekerjaanku."
Rafael melihat kesinisan di bibir Veronica. "Jangan membohongiku, sejak kapan kau dibuat kesulitan dengan pekerjaanmu."
"Sejak tahun lalu," jawab Rafael cepat. "Kau belum menjawabku."
"Ada misi," jawab Veronica. "Aku sudah berada di sekitar sini selama tiga hari dan toserba ini adalah tujuan kesukaanku."
"Misi? Bukannya kau sudah berhenti dari---"
"New job," ujar Veronica langsung yang membuat Rafael mengerti. "Kau sendiri, apa yang kau lakukan di sini?"
Rafael menoleh ke arah toserba, memastikan Vanessa, tapi ia dibuat terkejut karena tidak ada tanda keberadaan Vanessa melalui kaca yang membentengi toserba. Rafael yang memiliki mata elang pasti akan mengetahui keberadaan Vanessa yang bahkan memiliki rambut yang tebal dan merah. Ia pun langsung berlari masuk ke dalam toserba dan mengeluarkan pistol yang dibawanya, membuat seorang pelayan panik karena ulahnya itu.
Rafael tidak peduli. Ia terus berlari mengitari toserba untuk mencari Vanessa, tapi nihil. Tidak ada Vanessa. Rafael panik. Rahangnya mengeras seiring dengan tangannya yang sudah terkepal.
Rafael memilih untuk keluar dari toserba dan menghubungi Vanessa, tapi ponsel gadis itu tidak diangkat. Ia pun mulai melihat semua yang ada di sekitar toserba dan sorot matanya menangkap sebuah mobil yang baru saja pergi dengan terburu-buru.
Rafael yakin Vanessa ada di sana. Dengan cepat ia masuk ke dalam mobil, tapi tangannya dicegah oleh Veronica.
"LEPASKAN!" teriak Rafael lantang. Berani-beraninya Veronica mencegah tangannya disaat Vanessa sudah dibawa oleh orang lain.
"Ini demi keselamatanmu, hentikan ini semua dan jangan mencoba untuk menyelamatkan gadis itu."
"APA MAKSUDMU?!" teriak Rafael lagi. Kali ini ia menghempaskan Veronica ke belakang dan menodongkan pistolnya ke wajah Veronica. Di samping itu, Rafael menyadari ada hal yang aneh. "Apa Vanessa adalah misimu?" To the point, Rafael menanyakannya.
"Sejak awal gadis itu adalah milik Snaker. Kau harus tahu bahwa mereka---"
Rafael hampir tidak mempercayai apa yang saat ini ia pahami. Ia menggigit bibirnya dan mendekatkan ujung pistol itu ke kening Veronica. Ia tidak peduli Veronica siapa dan apa yang telah mereka lalui. Jika Veronica masuk ke dalam gelagat kejahatan untuk mengincar Vanessa, maka ia harus berhadapan dengannya.
"Jadi kau seseorang yang dikirim Snaker?"
Tidak perlu sebuah jawaban dari Veronica untuk membuat Rafael mendapatkannya. Karena sadar akan hal itu, Rafael langsung menarik pelatuk pistol. Namun, itu tidak membuat Veronica bergerak sedikit pun.
"Katakan di mana Vanessa?"
Veronica benar-benar menguji kesabaran Rafael. Perempuan itu malah bersedekap, seolah menantangnya. "Aku harus membawa Vanessa ke pusat besok malam. Jika tidak, maka misiku gagal."
"Aku tidak peduli dengan kegagalan misimu, Veronica. Jika kau masih ingin menikmati duniamu, katakan di mana b******n-b******n sialan itu membawa Vanessa sekarang?!"
Rafael mendengar helaan napas Veronica. "Aku tidak percaya kau belum mengetahui apa pun tentang Vanessa. Dia adalah gadis yang harus kau hindari, Rafa. Yakuza mengincarmu karena gadis itu, dan jika kau menggagalkan misiku ini, aku hanya bisa memberimu informasi jika Snaker siap menargetkanmu juga. Dengar Raf, dia akan baik-baik saja di tangan Snaker."
"Katakan di mana Vanessa sekarang?!" Pistol yang digenggam Rafael semakin menusuk kening Veronica. "Aku tidak peduli dengan Snaker atau sebagainya. Tugasku adalah melindungi Vanessa dan aku akan melakukan itu tanpa memikirkan siapa yang menjadi musuhku. Kau seharusnya tahu jika aku tidak bisa mengabaikan klienku, memutuskan kontrak sepihak dan sebagainya hanya demi nyawaku. Kau mengenalku dengan baik, Veronica!"
Rafael menatap Veronica dengan amarah yang membara. Memberikan wajah yang diyakininya tidak akan pernah Veronica lupakan sepanjang mereka saling mengenal.
"Maaf, Rafa. Tapi aku sudah berjanji untuk menjauhimu dari Snaker bagaimanapun risikonya."
Rafael mengerutkan keningnya. Ia tidak tahan lagi. Perlahan, Rafael mundur beberapa langkah dari Veronica dan dengan cepat ia mengarahkan pistol ke kaki perempuan itu.
Dor
Rafael menekan pemicunya, membuat peluru mengenai kaki mulus Veronica. Perempuan itu tidak merintih, tapi Rafael tahu Veronica sedang menahannya. Ia dengan cepat kembali berjalan ke arah Veronica dan merebut ponsel yang ada di bagian saku mantelnya.
"Beberapa menit lagi ambulan akan datang."
Mengabaikan Veronica, Rafael membalikkan tubuhnya.
"Kau harus melepasnya, Rafa!" teriak Veronica. "Nyawamu lebih berharga dibandingkan nyawa gadis manja itu!"
Rafael terus mengabaikan Veronica dengan masuk ke dalam mobilnya. Tepat ketika ia sudah masuk, Rafael menyempatkan diri menatap Veronica yang sudah mengeluarkan air mata karena rasa sakit yang dialaminya.
"Itu bagimu," balas Rafael. "Bagiku, nyawa Vanessa adalah hal yang paling berharga. Melebihi apa pun."
Kemudian Rafael menyalakan mobilnya dan menginjak pedal gasnya dengan kuat. Mengabaikan semua hal yang berkaitan dengan fakta bahwa Veronica mengetahui banyak hal dan ia bisa mendapatkan informasinya saat ini.
Ia mengabaikan itu semua, demi menyelamatkan Vanessa sebelum gadis itu sulit untuk ia temukan. Veronica bukan lawan yang mudah. Ia tahu Veronica bisa saja menghindar tadi, tapi perempuan itu memilih untuk diam. Membiarkan Rafael melampiaskan amarahnya. Namun, Veronica tahu, menemukan Vanessa yang sudah ada di tangannya hanya akan membuatnya berpikir keras.
"s**t!"