MENOLAK

1077 Kata
"Mutia, dari tadi aku gak mendengar suaramu. Kenapa diam saja?" "Hihi, enggak apa-apa Bang." Mutia sejak keluar dari ruangan Nasir memang tidak banyak bicara kecuali hanya berterima kasih pada sekretaris dan sudah membawa Raffi keluar dari gedung tersebut. Tapi mereka hanya berjalan saja menuju halte terdekat tanpa Mutia mengatakan satu kata pun. Jelas ini membuat Raffi jadi tak enak. Istrinya itu biasa sangat berisik dan tidak mungkin diam kalau tidak ada apa-apa. "Mutia, itu ada kursi di taman kota, gimana kalau kamu duduk dulu di situ? Kita istirahat bentar, aku haus." "Oh, iya Bang." Mutia tidak berpikir macam-macam, dia sudah mengambilkan botol minumnya dan menyerahkan pada Raffi yang menenggaknya. Raffi juga meminta Mutia meminum setelah dirinya selesai. "Ayo, Bang!" "Mutia!" Cuma saat wanita itu ingin berdiri, Raffi menahan tangannya dan menatap serius. "Kamu marah padaku?" "Ih, Bang Raffi, kok--" "Kamu nggak bisa bohong sama aku Mutia. Walaupun aku baru tinggal serumah bersamamu kurang lebih tiga bulan, aku udah biasa ngeliat ekspresi perubahan wajahmu. Dan aku tahu sekarang kamu tidak puas, kamu kesal dan marah." Air muka Mutia memang paling mudah untuk ditebak karena biasanya menunjukkan bagaimana emosinya. Jadi apakah Mutia akan terus mengelak? "Hmm, aku nggak marah sama Bang Raffi cuman aku ngerasa down aja gitu." "Maksudnya?" Raffi tak paham. "Ya, aku pikir ceritaku memang benar-benar bagus tapi ternyata aku bisa dapat kontrak itu bukan karena ceritaku tapikarena kedekatan keluarganya Bang Raffi sama Pak Nasir." "Ish!" Raffi tersenyum lalu menggunakan punggung tangannya dia mengelus pipi istrinya. "Jangan gitulah Mutia. Kamu itu memang hebat! Sekarang gini lho …," Raffi diam dan dia menggenggam kedua tangan Mutia dengan tangannya sambil mengubah posisi duduknya agak condong ke depan. "Kamu misalnya pemilik toko dan kamu ditawarin barang sama supplier, dia ini teman dekatmu. Udah gitu supplier ini juga orang pertama yang percaya memasukkan barang ke tokomu. Kamu merasa sudah kenal dekat dengannya dan kamu sebenarnya tahu kalau produk yang dia bawa itu bukan barang bagus, tapi kamu tetap beli dengan harga mahal. Nah, kamu kan punya pelanggan setia, jadi kamu tawarin produk Itu. Pelanggannya tahu kalau kamu selalu terpercaya dan pasti hanya merekomendasikan produk yang bagus. Cuma masalahnya karena produk itu di bawah standar, pelanggan pelangganmu jadi kesel sendiri dan mereka jadi kehilangan kepercayaan sama kamu. Kira-kira gimana? Itu menguntungkan atau merugikan dalam segi bisnis?" "Ya rugi, Bang," jawab Mutia cepat. "Nah, itu kamu tahu. Apa jadinya kalau kamu kehilangan pelanggan dan kamu udah keluar uang banyak banget buat stok barang itu ke supplier?" "Ya aku rugi, Bang." "Terus apa kamu pikir perusahaan sebesar punya Om Nasir mau membeli barang jelek?" Mutia kembali menggelengkan kepalanya. "Apakah perusahaan sebesar itu mau membuat film yang sudah pasti gagal di pasaran dan akan membuat investor perusahaan tersebut kehilangan kepercayaan?" "Nggak juga!" "Meski naskahnya buatan teman kira-kira apa mereka rela kehilangan nama baiknya?" "Nggak, Bang." "Nah, sekarang, kamu dapat tawaran bukumu dibeli seharga tiga puluh juta, terus naskah skrip film-mu dari buku itu dihargai satu juta per-episode dan kamu dikontrak untuk dua ratus epiode season pertama, nantinya akan diberikan royalti dari iklan dan komisi lainnya sebesar dua persen setelah produksi sinetronnya, apa menurutmu Om Nasir sudah gila mau memproduksi film yang buruk dan tidak berkualitas?" "Hehehe, enggak Bang. Apalagi nama rumah produksinya sudah sangat terkenal." "Nah, kan! Jangan berkecil hati dong, Mutia." "Hihi, iya Bang. Maaf ya soalnya aku tadi ngerasa nggak pede dan aku ngerasa aku nggak ada gunanya." "Yang nggak ada gunanya itu aku! Lihat! Umurku sudah berapa? Tiga puluh lima tahun! Dan aku masih belum bisa menghasilkan uang. Lalu sekarang aku menikahi wanita yang terpaksa harus kerja keras karena aku nggak bisa apa-apa." "Sssh, Bang Raffi, udah jangan ngomong kayak gitu! Yuk kita cari makan. Kayaknya di situ tukang mie ayamnya rame deh bang. Mau nggak kalau kita beli mie ayam dulu?" Mutia jadi merasa tak enak karena dia tidak mau sampai Raffi tersinggung. Dia sangat menjaga hati suaminya. "Kamu nih kalau aku lagi ngebahas tentang aku pasti ngalihin pembicaraan." "Hihi, habis aku nggak suka kalau Bang Raffi ngomong kayak gitu. Bang nanti habis ini kita belanja dulu ya. Ada yang mau aku beli terus aku juga mau cari tukang." "Apa?" Mutia sudah ingin berdiri tapi Raffi malah mengerutkan dahinya sambil menahan wanita itu untuk duduk lagi. "Kamu mau ngapain?" "Nanti kita benerin kamar mandinya. Toiletnya diganti jadi toilet duduk terus nanti aku mau pasang shower supaya Bang Raffi lebih gampang mandinya sama nanti kita pasang pijakan dan kita taruh tempat duduk di sana jadi nanti nggak akan sulit buat Bang Raffi. Dan nanti aku juga mau beli mesin cuci. Habis itu, aku mau beli tongkat, biar nanti Bang Raffi mudah kalau mau ngelakuin apa-apa sama tempat tidur jadi nggak harus tidur di bawah. Kan lebih mudah buat Bang Raffi." "Mutia, Mutia!" Raffi menggelengkan kepalanya menolak. "Kalau kamu beli itu semua yang ada uang kamu tadi itu tiga puluh juta habis dalam sekejap mata. Sudah jangan berpikir macam-macam!" "Tapi itu semua kita butuhkan!" "Enggak!" "Ih, udah deh! Pokoknya Bang Raffi harus nurut sama aku. Kan aku pengen kita bisa hidup di rumah sederhana tanpa menyusahkan hidup Bang Raffi!" "Mutia, aku--" "Aku sayang banget soalnya sama Bang Raffi! Mmmuuuah!" Tak mau lagi berdebat dengan suaminya, justru Mutia mengecup bibir Raffi tanpa malu-malu padahal posisi mereka masih ada di taman kota. Jelas saja sulit untuk Raffi berkata-kata karena kelakuan istrinya yang absurd dan baru pertama kali ada wanita yang seperti ini padanya. "Mutia, tadi--" "Hihi, Maaf ya Bang, jangan marah. Habis aku gemes ngeliat mukanya Bang Raffi, ganteng banget sih." Tak tahan dengan kelakuan istrinya, makanya Raffi tertawa tanpa suara. Tapi memang benar Raffi sangat tampan dan kulitnya yang bersih juga putih di bawah sinar matahari memang terlihat berkilau berbeda. Ini juga yang membuat Mutia merasa sangat bersalah. "Aku akan menulis yang benar dan aku akan nyelesain tugas naskahku secepatnya supaya kita bisa beli mobil ya,Bang!" Lagi dan lagi ucapan Mutia membuat Raffi tak bisa bicara. "Kamu ini banyak maunya. Sudah jangan berpikir yang aneh-aneh!" "Iya soalnya kalau udah pakai mobil nanti kan kulitnya Bang Raffi nggak akan kebakar matahari dan--" "Ssst, ayo pulang Mutia!" "Eh, enggak Bang! Kita makan mie ayam dulu terus baru kita belanja, terus habis itu baru kita pulang!" "Enggak, kita langsung pulang. Nggak ada belanja-belanja, simpan itu uang kerjamu!" Mimik wajah Raffi sudah serius dan dia menolak rencana Mutia. "Tapi, Bang?" Cuma Mutia masih tetap ingin bernegosiasi. "Nggak ada tapi. Kita pulang! Semua itu nanti kita beli kalau aku udah dapat kerjaan dan enggak pakai uang hasil jerih payahmu!"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN