bc

Mutiara Sang CEO

book_age18+
1.5K
IKUTI
15.1K
BACA
HE
blue collar
drama
bxg
hackers
city
like
intro-logo
Uraian

Alangkah kagetnya Mutia (20th) melihat suaminya pulang ke rumah sambil merangkul seorang wanita yang ternyata sudah berstatus istrinya.Bukan hanya itu, pengakuan suami dan ibu mertuanya kalau dirinya dinikahi supaya harta warisan keluarga tidak jatuh ke orang lain membuat hati Mutia hancur.Tapi rasa sakit itu sedikit terobati dengan pembelaan dari Raffi Prakoso (35th), kakak iparnya yang seorang disabilitas. Mutia merasa hangat dengan sikap Raffi yang mati-matian membelanya. Bahkan sampai Raffi kena imbas dan diusir dari rumah.Mutia yang tak tega kalau Raffi menjadi tunawisma, menawarkan sebuah solusi terbaik untuk mereka berdua. Tanpa Mutia sadari, kebaikannya selama ini memang sudah diperhatikan Raffi yang makin mengaguminya.Tak sangka, setelah sikap baiknya pada Raffi, Mutia mendapat banyak keberuntungan. Salah satunya, naskah Mutia diterima produser dan kehidupannya berubah. Mutia memang seorang penulis berbakat bagai Mutiara dalam lumpur. Dan perlahan, namanya berkibar membuatnya semakin sukses.Mampukah Mutia menunjukkan kehebatannya di hadapan mantan suaminya? Dan sebenarnya, apa yang membuat keberuntungan seakan terus berpihak pada Mutia?Siapa sebenarnya Raffi? Petaka atau keberuntungankah keberadaannya untuk Mutia?Ikuti kisah mereka dalam n****+ romance: Mutiara Sang CEO.

chap-preview
Pratinjau gratis
TERPAKSA BERCERAI
"Mas Teguh, di-dia siapa?" Alangkah kagetnya Mutia ketika melihat suaminya yang baru pulang kerja, merangkul seorang wanita yang tak dikenal olehnya, tapi wajahnya seakan tak asing. Mutia meminta penjelasan pada suaminya yang raut wajahnya seakan tak bersalah dan malah mengeratkan rangkulannya pada wanita itu. "Wah, Teguh, kamu sudah pulang? Dan ... aduuuuh, akhirnya yang ditunggu-tunggu datang juga. Andina Sedayu menantu kesayangan Mama, kamu cantik sekali, apa kabarnya?" "A-apa? Mas Teguh kan suamiku." "Heh, kamu pikir kamu yang bau badan, kusam, kumel dengan rambut kusut menjijikkan itu pantas menjadi istri Teguh Prakoso, bos percetakan terkenal?" sentak ibunya Teguh. "Bandingin tubuhmu yang bau dengan keharuman tubuh Andina Sedayu dan kemolekannya. Selebgram lagi. Mana yang lebih pantas mendampingi putraku Teguh?" Wajar jika Mutia sekarang bau keringat, lusuh dan berantakan. Dari jam lima pagi, pekerjaannya di rumah itu tak ada habisnya. Mulai dari bangun tidur, Mutia sudah dituntut menyiapkan sarapan pagi, mencuci baju, menyetrika, belum lagi harus menyapu, ngepel, belanja ke tukang sayur yang harus extra pintar menawar karena menu yang harus disiapkan tak sebanding dengan uang yang diberikan, lalu harus masak makan siang, malam, menyapu halaman, sikat kamar mandi di rumah keluarga Prakoso, dan masih banyak lagi pekerjaan yang selalu jadi makanannya sehari-hari. Mana sempat dirinya berdandan? Bahkan, menjelang tengah malam, Mutia baru bisa merebahkan punggungnya. Bagaimana bisa Mutia dibandingkan dengan Andina Sedayu, seorang influencer yang sedang naik daun dan kerjaannya cuma di hadapan kamera? "Ibu Pita, aku rasa Ibu tidak pantas bicara begitu apalagi Mutia adalah istri sah Teguh." "Tidak lagi mulai hari ini, Bang Raffi!" Teguh memotong lalu menatap Mutia. "Aku talak kamu Mutia dan kamu tidak memiliki masa tunggu karena aku tidak pernah menyentuh tubuhmu yang bau. Kita sudah bukan suami istri mulai detik ini!" "Mas Teguh--" Betapa hancur hati Mutia karena laki-laki yang dipikirnya akan menjadi suaminya seumur hidup ternyata menceraikannya dengan alasan konyol. "Teguh, kamu kelewatan. Memangnya selama ini kamu pernah memberikannya uang untuk membeli alat make up atau parfum? Atau sesuatu untuk membersihkan tubuhnya dengan wewangian yang kamu suka? Dan apa kamu tahu seberapa banyak pekerjaannya di rumah ini? Semudah ini kamu menceraikannya?" "Hey, Raffi, siapa yang menyuruhmu bicara? Teguh adalah tulang punggung di rumah ini. Kau harus menghormatinya!" "Masalahnya Bu Pita, Mutia dinikahkan oleh almarhum ayah sama Teguh bukan untuk jadi pembantu. Tapi karena utang budi almarhum ke ibu dan neneknya Mutia yang sudah turun temurun bekerja di rumah keluarga kita. Mutia tak pantas diperlakukan serendah itu." "Nah, kalau merasa berutang budi harusnya cukup dengan memberikan si bau ini pekerjaan menggantikan ibunya. Bukan menyuruh anakku Teguh menikah dengan anak pembantu!" sanggah Pita yang membela putranya. "Mutia ini dari awal tidak pantas untuk menikah dengan putraku. Dan terpaksa aku mengizinkan mereka menikah karena ayahmu yang bodoh itu ingin membekukan warisan untuk Teguh kalau menolaknya. Aku juga sudah merelakan Teguh kalau memang mencintai Mutia dia bisa menjalin hubungan dengannya tapi ternyata apa? Selama beberapa bulan mereka menikah, anakku makin tertekan!" sentak Pita. "Teguh otaknya masih sehat. Dia tidak mau menyentuhnya karena jijik. Kamu pikir anakku harus bertahan dengan wanita bau dan menjijikkan macam dia?" Pita makin emosi dan kini menatap merendahkan pada Mutia setelah tadi menumpahkan emosinya ke Raffi. "Seharusnya dia itu dinikahkan denganmu!" Pita tak mengizinkan Raffi menjawab. "Kau cacat, pantas mendapatkan istri anak pembantu macam dia supaya bisa mengurusmu sampai kau mati. Bukan anakku yang sehat dan menjadi tulang punggung keluarga ini harus mendapatkan wanita bau dan jelek macam dia." Raffi adalah anak Budiman Prakoso yang usianya beda sepuluh tahun dengan Teguh. Raffi adalah seorang pria disabilitas yang tidak bisa berjalan. Ibunya meninggal saat usianya delapan tahun dan ayahnya menikahi Pita setahun kemudian dengan harapan Raffi bisa memiliki Ibu lagi yang mencintainya. Pita memang baik padanya, hanya saja makin lama semakin terlihat ketidaktulusannya oleh Raffi. Dan kini makin jelas setelah Budiman Prakoso meninggal. "Jadi kalian ingin berbuat curang dan membuang Mutia setelah kalian mendapatkan harta warisan dari ayah?" "Bang Raffi sebaiknya jangan bicara lagi. Kalau Bang Raffi menyinggung ibuku maka aku tidak segan-segan juga mengusir Bang Raffi dari rumah ini. Bang Raffi tau artinya kan? Jadi gelandangan!" Sayangnya Budiman Prakoso sangat percaya sekali pada putranya Teguh yang memang selama Budiman hidup Teguh tidak pernah berbuat jahat pada Raffi. Jadi dia menyerahkan semua harta milik keluarga diurus oleh Pita. Budiman kaya, tapi dia seperti kebanyakan orang tua kolot yang menyerahkan harta tanpa pengacara. Mereka hanya orang kaya kelas menengah, jadi semua masih diatur secara kekeluargaan atas dasar percaya, Budiman yakin istrinya Pita bisa menjaga anaknya Raffi. Dan Teguh juga tak akan menyia-nyiakan kakaknya. Tapi sayang Budiman salah besar. "Ah, jadi selama ini perhatian kalian padaku sama seperti rasa yang kau miliki pada istrimu Mutia? Cuma pura-pura. Betul kan Teguh?" sindir Raffi. "Dan perhatian kalian pada ayahku apa juga sama hanya pura-pura? Kalian tidak benar-benar menyayangi ayah, hanya menginginkan hartanya saja, begitu? Dan Ibu Pita ngajarin seperti itu kan pada anak kesayangan Ibu ini?" "Aku tidak akan sekejam itu pada ayahmu kalau dia tidak kejam pada putra kami, memaksa Teguh menikah dengan anak pembantu dengan alasan cuma karena rasa kasihan dan ingin mengangkat derajat dari Mutiara Kasih, kurasa itu bukan sebuah alasan yang tepat!" Pita membela diri "Anakku punya derajat yang lebih tinggi sehingga dia tidak pantas disandingkan dengan anak pembantu. Dan untung saja setelah pernikahan itu stroke ayahmu semakin parah jadi dia tidak tahu bagaimana hubungan antara Mutia dengan putraku sampai dia meninggal." Sungguh kejam ucapan Pita sehingga Raffi membuang wajahnya menahan emosi. "Kalian akan dapat karma suatu saat nanti!" "Nggak perlu ceramah lagi Bang Raffi!" seru Teguh sambil merangkul wanita di sisinya makin erat. "Jadi sekarang pilihannya cuma dua untuk Bang Raffi. Tetap diam dan bisa tinggal di rumah ini atau membela anak pembantu itu tapi harus segera angkat kaki dari sini sekarang juga barengan sama Mutia, jadi gembel di jalanan." "Oke. Aku mau kemas barangku dulu!" Mutia sebetulnya marah, kesal, juga ingin sekali menampar Teguh dan Pita. Tapi rasa kesalnya berubah menjadi rasa iba dan kasihan pada kakak iparnya yang disabilitas dan diusir dari rumah karena membelanya. "Loh kamu ngapain masih ada di sini?" "Nungguin Bang Raffi." Mutia menjawab jujur selepas melihat Raffi keluar dari rumah keluarga Prakoso masih dengan kursi rodanya dan dia memangku tas yang berisi baju juga entah barang lain apa yang ada di dalam sana. Mutia tersenyum seakan-akan tidak terjadi masalah apapun yang menyakiti hatinya setelah kata-kata pedas dari suami dan mertua perempuannya itu. "Nungguin aku ngapain?" tanya Raffi sambil membalas senyum Mutia. Raffi lebih tampan daripada Teguh, mungkin karena pengaruh beda ibu makanya senyum Raffi memang menghangatkan hati yang menatapnya. Tubuhnya juga tegap berisi. Hanya satu kurangnya, dia tidak bisa jalan. Tapi sikapnya selalu manis pada Mutia dan bahkan dia jadi satu-satunya teman Mutia di rumah itu. Raffi sering mencuci baju sendiri sehingga kadang mereka mengobrol di ruang laundry saat Mutia mencuci baju Pita dan suaminya Teguh. "Ya emangnya Bang Raffi udah kepikiran mau pergi ke mana?" Raffi menggelengkan kepala tak tahu karena selama ini memang tempat tinggalnya di rumah keluarga Prakoso bersama dengan ayah, Ibu juga adik tirinya. "Makanya aku nungguin Bang Raffi. Yuk ikut ke rumahku aja!" seru Mutia sudah memegang tas Raffi ingin membantu membawakan tapi ditahan oleh pria itu. "Ke rumahmu?" "Iya sih cuma rumah sederhana peninggalan ibu di Condet. Rumahnya kecil, petakan dan masuk ke dalam gang. Nggak nyaman mungkin buat Bang Raffi karena kamar mandi juga WC-nya jongkok. Tapi nanti aku bantuin Bang Raffi kok." "Eh, enggak, jangan!" Mutia mau mendorong kursi roda Raffi tapi lagi-lagi dilarang olehnya. "Kalau aku pulang ke rumahmu apa nanti kata orang-orang di sana? Tetanggamu pasti akan berpikir macam-macam." Betul juga sih. Mutia pergi meninggalkan rumah itu saat ibunya sakit dan belum ada tetangganya yang tahu kalau dia menikah dengan Teguh anak majikan ibunya. Pita melarangnya dengan alasan tak mau banyak tetangga Mutia yang pinjam uang. Saat ibunya Mutia meninggal juga, prosesi pemakaman itu diurus oleh Budiman Prakoso yang saat itu masih stroke ringan. Kondisinya memburuk sehari setelah Mutia menikah dengan Teguh. "Udah nggak usah dipikirin Bang Raffi. Gampang nanti urusan sama tetangga." "Yang kutahu dari cerita ayah, tetanggamu semuanya udah pada tahu kalau ibumu itu cuma anak tunggal dan ayahmu juga tidak punya keluarga. Jadi kalau kamu mau bawa aku ke sana apa nanti kata orang? Nggak usahlah." "Eh, udah gapapa." Tapi Mutia tetap memaksa. Bahkan dia sudah mau mendorong kursi roda Raffi. "Jangan Mutia. Udah biarin aja aku pergi sendiri. Lagian aku nggak mau jadi beban untukmu. Lihat kondisiku!" Iya juga sih. Raffi kondisinya memang sangat buruk karena dia disabilitas. Tapi selama Mutia ada di rumah keluarga Prakoso, Raffi sangat baik padanya dan sangat perhatian. Kadang Mutia yang belum makan dibawakannya makanan. Kadang kalau Mutia lupa minum dia juga kadang-kadang lewat dan membawakan air untuknya. Kalau Mutia lagi banyak cucian kadang-kadang Raffi juga membantunya untuk melipat baju yang sudah disetrika atau bantu menyetrikakan. Kadang juga membantu cuci piring. Kalau Mutia dimarahi Pita, Raffi yang membelanya. Kebaikannya membuat hati Mutia tergugah dan makin tak tega. "Biarin aja Bang Raffi kalau tetangga mau ngomong macam-macam. Aku kan nanti bisa bilang kalau Bang Raffi ini suamiku." "Eh, apa? Kamu udah pikirin apa yang kamu bilang barusan?" Mutia tersenyum dan mengangguk pelan entah apa yang merasuki pikirannya sampai dia berani menjawab tanpa dipikir lagi. "Ya selama Bang Raffi mau nikah sama aku yang badannya bau, mukanya jelek dan kulitnya kusam kayak gini," kata-kata Mutia malah membuat Raffi jadi terkekeh. "Ya kamu itu sebenarnya cantik dan manis kalau dikasih waktu sedikit aja buat merawat dirimu dan tidak dikasih pekerjaan seperti babu," tulus Raffi menjawab. Karena Mutia memang manis. Tapi wajahnya memang terlihat kelelahan. "Aku juga awalnya heran kenapa Ibu Pita nggak mau mendatangkan pembantu lagi ke rumah. Kurasa dia pengen membuatmu terlihat kusam dan buruk di hadapan putranya. Supaya Teguh gak tertarik." "Aku memang jelek Bang. Nggak bisa dibandingin sama artis i********: kayak Andina Sedayu. Tadi cantik banget kan dia? Udahlah. Yuk ikut ke rumahku." Mutia memang baru ingat siapa Andina Sedayu setelah namanya disebut Pita. Dia ragu karena tak yakin suaminya punya hubungan khusus dengan selebgram yang sedang naik daun itu. "Mutia, kamu serius dengan omonganmu tadi dan nggak akan nyesel buat jadi istri orang cacat kayak aku?" Mutia sebenarnya hanya bicara bercanda saja tadi. Maksudnya berpura-pura kalau ada orang tanya ya bilang saja kalau Raffi ini suaminya. Tapi Mutia yakin kalau Raffi pasti akan menolak untuk tinggal bersamanya dan memilih berpredikat sebagai tunawisma kalau dirinya menjawab hanya bercanda. "Iya kan aku bilang selama Bang Raffi nggak keberatan nikah sama perempuan yang bau dan kusam sepertiku. Kalo gak, aku setuju kok nikah sama Bang Raffi," makanya Mutia menjawab seperti ini. "Pak Budiman Prakoso sudah banyak membantu ayah dan ibuku. Saat ayah sakit juga dia membiayainya. Dan saat ibu sakit juga sama. Ini waktunya aku membalas budi ke Bang Raffi. Aku ikhlas kok kalau aku harus menikah dengan laki-laki disabilitas sepertinya apalagi dia sebenarnya adalah pria baik. Anggap aja suratan takdir." Mutia berbisik di hatinya menguatkan dirinya menerima Raffi yang juga sempat tercengang mendapatkan jawaban Mutia tadi. "Jadi kamu bakal menerima aku jadi suamimu?" "Hmm. Supaya warga kampung juga percaya nanti kita langsung datengin Pak RT biar ada saksi nikah. Itu kalau Bang Raffi nggak keberatan. Jadi Bang Raffi gak harus merasa gak enak tinggal di rumah peninggalan ibuku." Kata-kata yang menghangatkan hati Raffi. Mutia juga tidak mau ambil pusing dan sudah mendorong kursi roda Raffi keluar dari kompleks perumahan itu. Tak ada kendaraan kalau mereka masih di dalam komplek. Dan gerbangnya lumayan jauh. Jalan kaki sekitar tiga kilo meter. "Mutia kamu serius sama yang kamu bilang tadi?" "Iya bang Raffi udah nggak usah tanya-tanya lagi. Tapi maaf ya kalau calon istrinya Bang Raffi ini enggak cantik dan bau badan kayak aku," lagi-lagi Raffi hanya tersenyum mendengar ucapan Mutia. "Kalau gitu aku juga minta maaf karena kamu bakal punya suami yang cacat nggak bisa jalan kayak aku." "Yah lebih baik daripada suami macam Mas Teguh yang selalu menyuruhku untuk tidur di lantai karena katanya tubuhku bau, padahal pas mau tidur aku udah mandi dulu, hihi." "Eh apa?" "Udah, nggak usah ngomongin orang. Nanti tambah dosa!" Mutia malah mengedipkan mata saat Raffi menengok mendongak ke belakang, iba dengan penderitaan mantan adik iparnya itu. "Apa liat-liat? Aku jelek ya? Bang Raffi nyesel setuju nikah sama aku?" Tapi Mutia memang memiliki selera humor yang bagus dan berhasil membuat Raffi tersenyum lagi. "Aku haus." "Oh, pas. Ada minimarket. Aku beliin dulu ya." "Kamu ada uang, Mutia?" "Tenang aja." Raffi tahu, Mutia bukanlah anak orang kaya tapi dia memang sangat baik sekali bahkan sudah mengedipkan matanya seakan-akan bukan masalah kalau hanya membelikan minum. Entah apa yang ada dalam pikiran Raffi, dia sudah membuka tasnya yang tadi mau dibawakan Mutia tapi dilarang olehnya Raffi tetap memangkunya karena berat. Raffi mengambil handphonenya dan mengetik sesuatu sambil bicara lirih. "Ujian kedua untukmu!" ujar Raffi sambil memasukkan handphone kembali ke dalam tasnya di saat yang berbarengan Mutia keluar dari minimarket dengan botol air minum untuk Raffi. "Minum dulu Bang!" ujar Mutia, sambil dia merogoh sakunya karena ada getaran. Ada pesan masuk yang langsung dibaca Mutia. "Udah. Nih, kamu sekarang minum. Gantian." Raffi memang tidak bertanya itu pesan dari siapa hanya menyodorkan minum saja untuk Mutia. "Eh, makasih Bang." wanita itu agak sedikit hilang fokus dan sudah menaruh handphonenya lagi ke dalam saku sebelum minum, lalu mendorong Raffi sampai di perempatan jalan utama tanpa cerita juga isi pesan tadi. "Nah, kita naik kendaraan dari sini ke Condet-nya," ujar Mutia yang tahu Raffi tak pernah keluar rumah tanpa supir dan mobil pribadi. "Mutia kita naik taksi? kenapa nggak naik kendaraan umum aja? Kan mahal loh." Raffi terlihat panik tapi Mutia malah tersenyum begitu manis sambil mengangguk. "Iya Bang Raffi, tenang aja. Aku tadi dapet pesan WA, kontrakku udah ditandatangani. Dan aku juga udah dapet bayaran seperempat nilai kontrak." Mengerutlah dahi Raffi yang tampak kebingungan dengan jawaban Mutia itu. "Kontrak apaan?"

editor-pick
Dreame-Pilihan editor

bc

Dinikahi Karena Dendam

read
218.2K
bc

Tentang Cinta Kita

read
200.2K
bc

My Secret Little Wife

read
114.8K
bc

Siap, Mas Bos!

read
18.8K
bc

Single Man vs Single Mom

read
97.1K
bc

Iblis penjajah Wanita

read
4.7K
bc

Suami Cacatku Ternyata Sultan

read
16.5K

Pindai untuk mengunduh app

download_iosApp Store
google icon
Google Play
Facebook