HARGA DIRI LEBIH DARIPADA UANG

1427 Kata
"Maaf, saya tetap tidak akan melakukan itu Pak Jefri!" "Ah, jadi kau--" "Saya akan bayar sepuluh kali lipat itu!" Mutia belum tahu dia dapat uang dari mana tapi dia adalah wanita yang berprinsip dan sangat menjaga harga dirinya. Mutia tak mau merendahkan dirinya di hadapan Jefri. "Kau pikir, setelah kau bicara begitu kau bisa keluar dari ruangan ini?" “Sial!” Hati Mutia berdecak. Dia sudah sampai di pintu dan ingin membukanya tapi ruangan itu terkunci. Jefri memang bisa mengunci ruangannya dengan menggunakan remote yang ada di laci mejanya. "Apa mau Anda? Saya sudah bilang saya akan ganti rugi!" "Sayangnya aku tidak suka dipermalukan dan tidak suka ditolak! Jadi ... kurasa tidak akan ada yang menyelamatkanmu saat ini!" Degdegan Mutia dan hatinya carut marut apalagi Jefri sudah berdiri, berjalan mendekat padanya. "Toloooooong! Buka pintunya! Tolooooong!" "Hahaha! Percuma kau menggedor-gedor pintu itu karena tidak akan ada yang peduli. Ruangan ini steril dan hanya panggilanku saja pada mereka yang akan membuat mereka datang kemari!" Berdirilah bulu kuduk Mutia ketika mendengar ini. "Jangan bilang Anda sudah pernah melakukan hal seperti ini atau mungkin sering melakukannya pada penulis-penulis naskah yang datang ke kantor Anda!" "Kalaupun aku melakukannya itu bukan urusanmu, Mutia. Sssh, sepertinya aku mendapatkan perawan kali ini!" ujarJefri dengan langkahnya yang kini hanya tinggal tiga meter lagi dari Mutia dan semakin mengintimidasi. "Ja-jangan macam-macam!" Mutia sudah semakin panik dan panas dingin. "Ayolah Mutia, kapan lagi kau bisa mendapatkan laki-laki sepertiku? Tampan, tegap tubuhnya, kaya raya, bisa memuaskanmu di ranjang, bukankah ini akan lebih nikmat jika kau menyerahkan dirimu padaku ketimbang kau melawanku?" "Menjauh darikuuu!" "Aaw, apa yang kau, akkh!" Mutia dengan sangat berani menendang milik Jefri dengan sekuat tenaganya yang jelas membuat pria itu kesakitan. Setelah itu dia berlari ke meja mencoba menghindari Jefri dan mengambil sesuatu untuk membuka pintu." "Kau! Akkh! Keluar dari sini kau juga tidak akan pernah bisa lepas dariku karena security akan menangkapmu. Ini kerajaan bisnisku Mutia!" "Aku tidak peduli! Kalau perlu aku punya handphone dan aku bisa rekam apa yang kau katakan di sini dan kau tahu itu artinya apa?" Mutia menyodorkan handphonenya dan memang dia mulai merekam. Ada rasa bodoh juga di dalam dirinya yang kesal kenapa dia tidak merekam dari tadi? "Kau, benar-benar menantangku! Dasar bodoh! Padahal kau bisa dapat segalanya dengan naik ke ranjangku!" "Cih! Aku punya suami yang berkali-kali lipat lebih tampan darimu. Aku punya suami dengan tubuhnya lebih tegap dan lebih berisi darimu. Aku tidak butuh badut sepertimu!" Tegas, padat dan jelas apa yang dikatakan Mutia sebelum dia membuka pintu itu di saat yang bersamaan. "Tolooooong!" Mutia juga berteriak ketika ketukan pintu terdengar dari luar. Jefri tidak bisa melarang orang itu untuk masuk ke dalam karena kondisinya dia tadi sedang ingin mengejar Mutia dan sekarang berada di tengah ruangan sedangkan Mutia berada di pojok ruangan di dekat jendela, paling jauh dari pintu. Jefri belum bisa berdiri tegak karena rasa sakit di bagian itu tak bisa membuat dirinya kembali berjalan seperti biasa secara instan. Dan dia tidak bisa mencegah orang yang ada di luar tidak membuka pintunya. "Permisi Pak Jef-- Anda kenapa?" "Bang Raffi, tolooooong. Dia mau berbuat tidak senonoh padaku!" Mutia tadi memberikan pesan pada sang sekretaris kalau suaminya sudah keluar dari kamar mandi maka tolong diantarkan ke ruangan Jefri. Makanya saat melihat sosok Raffi, Mutia tak tahan untuk memekik. "Mutia!" Raffi tercengang. "Apa yang kau lakukan pada istriku?" Mutia saat bicara tadi memang sudah berlari menuju Raffi karena saat ini Jefri tidak bisa melakukan apapun tangannya mengepal kencang dan dia begitu marah. "Kau pikir aku tertarik dengan wanita seperti istrimu itu? Wanita kampung. Dia yang menggodaku!" "Pertama, kalau dia yang menggodamu maka kau tidak akan mendapatkan tendangan di depan begitu. Dan yang kedua kalau memang istriku yang menggodamu maka dia tidak akan memegang kunci ruanganmu dan dia berteriak ingin minta tolong. Dia terpojok di sana! Kau ingin berbuat buruk kepadanya?" "Istrimu itu memang ingin menggodaku dan dia minta dinaikkan bayarannya. Itu yang membuatku menolaknya tapi dia mengancam dia akan berteriak dan akan mengatakan kalau dirinya mau ditiduri olehku kalau aku tidak mau menambah upah untuknya. Makanya dia mengambil kunci itu dan dia memaksa. Aku disini yang diteror!" "Aku tidak begitu! Jangan percaya Bang Raffi!" Mutia memekik. "Tapi kenyataannya begitu! Dan kau tambah marah saat aku bilang aku akan membatalkan kontraknya kan?" "Aku tidak melakukan itu. Aku punya rekamannya dan aku bisa tunjukkan!" "Mutia tidak perlu!" Tapi saat Mutia ingin membuka tasnya, Raffi langsung memekik. "Kita akan laporkan ini dan buka rekaman itu di kantor polisi." "Hey, kau orang cacat! Jangan sembarangan bikin laporan ya atau kau akan kena getahnya sendiri!" Jefri terlihat semakin panik. "Dan Mutia, apakah ini yang kau bilang suamimu? Lebih tegap dariku? Hahaha!" Jefri tergelak tawa meski dia masih menahan sakit di bagian dua telurnya. Tapi Mutia memang tidak peduli. "Suamiku lebih baik darimu! Dan aku tidak membutuhkan pria seperti dirimu! Aku akan membayar sepuluh kali lipat pembatalan fee untuk naskahku!" "Apa Mutia? Sepuluh kali lipat apa?" "Tidak perlu dipikirkan Bang. Di sini scam!" tegas Mutia memekik saat wajah Raffi mendongak menatapnya dan terlihat kaget. "Maaf, apa yang terjadi di sini?" Mereka semua tak sadar kalau ada seorang pria paruh baya yang mendengar keributan itu dan baru saja datang. "Pak Nasir, Selamat Pagi." Dan sang sekretaris sigap, dia langsung menyapa di saat Mutia mengarahkan pandangan ke meja ruangan tersebut saat mendengar namanya. "Jadi ini bukan ruanganmu, Pak Jefri? Ini ruangan Pak Nasir?" Mutia baru ngeh. "Apa jangan-jangan kau sengaja duduk di sana dan bilang akan rapat dalam waktu sepuluh menit karena kau tahu kedatangan Pak Nasir pemilik ruangan ini?" Ada papan nama Nasir dan Mutia sudah menyeletuk dan membuat wajah Jefri memerah karena luapan emosinya. "Raffi?" Tapi Nasir tidak langsung menanggapi Mutia dan tidak ada yang merespon ucapan Mutia. Nasir justru mengarahkan pandangannya pada pria yang duduk di kursi roda. "Halo, Om Nasir." Berkedut dahi Mutia karena tidak tahu kalau suaminya mengenal pemilik ruangan itu. "Perkenalkan yang di belakang ini adalah istriku, Mutia." "Oh, jadi naskah yang kau berikan padaku itu adalah naskah milik istrimu?" Raffi hanya tersenyum saja dan Mutia belum jelas apa yang terjadi, dia merespon kikuk. "Ngomong-ngomong Mutia, apa masalahnya sampai kau ribut dengan putra bungsuku di dalam? Sepertinya kau sangat membenci putraku?" "Putra Anda?" Mutia mengarahkan pandangannya pada Jefri dan kembali pada Nasir sambil mengangguk. "Dia ingin berbuat tidak senonoh pada saya. Ada bukti rekamannya sedikit di handphone saya. Dan dia meminta saya untuk membayar sepuluh kali lipat dari bayaran yang sudah diberikan pada saya dua setengah juta." "Apa?" Nasir menunjukkan wajah kagetnya. "Mutia bisa permisi sebentar? Saya ingin ke dalam dan kita bisa bicara di dalam ruangan nanti." "Ooh, iya!" Mutia memang menghalangi jalan di pintu itu sehingga dia pun bergeser dan membiarkan Nasir masuk. "Jefri duduk di sofa itu. Dan Mutia, Raffi masuklah! Buat diri kalian nyaman." Mata Nasir lalu mengarah pada sang sekretaris. "Tolong bawakan air dan cemilan untuk tamu kita." "Baik Pak Nasir, segera saya laksanakan." Selesai bicara, wanita itu menutup pintu di saat Nasir kini menata putranya dengan mimik wajah kecewa. "Seminggu ini, aku menyuruhmu mengurus pekerjaanku, bukan berarti untuk merendahkan Mutia atau siapapun yang datang ke ruangan ini. Dan apa itu bayaran dua setengah juta, Jefri?" "I-itu--" Jefri tampak kikuk. "Mutia, tolong perjelas padaku. Bagaimana kejadian tadi?" "Ayah masa kau lebih percaya dia daripada--" "Jefri, diam!" hardik Nasir. "Jangan permalukan aku! Mendiang Ayah Raffi, Pak Budiman, adalah pria berhati emas yang membantuku membangun perusahaan ini. Dan kau sudah membuat anak menantunya terhina!" tegas Nasir yang membuat Jefri tak bisa berkata-kata. Dia menunduk dan Mutia melirik suaminya, mulai paham situasinya. “Wah, jadi tanpa Bang Raffi aku tidak mungkinlah dapat kontrak di tempat ini,” bisik hati Mutia, sebelum dia menceritakan semua kejadian dan apa yang ingin diperbuat oleh Jefri. "Maaf ya, Mutia, Raffi, aku jamin yang seperti ini tidak akan pernah lagi terjadi. Aku akan memberikan pelajaran berharga bagi putraku dan sekali lagi, aku mohon maaf atas penghinaan yang dilakukan putraku!" "Om, tak masalah. Saat ini istriku juga tidak apa-apa, mungkin dia hanya sedikit terguncang tapi dari tadi Mutia juga sudah mengatakan dia tidak akan mempermasalahkan dan membawa ini ke ranah hukum kok." "Mutia, aku berjanji lain kali yang seperti ini tidak akan pernah terjadi lagi." "Iya Om Nasir, sudah ya, aku nggak enak jadinya kalau Om bilang maaf berkali-kali." Meski sudah berkali-kali Raffi dan Mutia memaafkan tapi tetap Nasir yang merasa tak enak terus saja mengutarakan kata maaf. "Dan Mutia, silakan tanda tangan kontrakmu. Lalu ini …," Nasir menunjuk satu poin. "Putraku sepertinya memang tidak menunjukkan padamu tulisan di perjanjian ini semuanya." Titik yang ditunjuk oleh Jefri membuat Mutia kaget sekali. "Beneran segede ini?"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN