Jujur Pada Reinald

1318 Kata
Waktu sudah menunjukkan pukul empat sore. Mobil yang dikendarai Reinald pun berhenti di halaman rumah mereka. Pria itu baru saja kembali dari kantornya. Di tangannya, sudah ada sebuah kantong belanjaan dengan merk sebuah toko kue terbaik di kota Bandung. Reinald membeli sebuah brownies serta eskrim box kesukaan Rea. “Assalamua’alaikum ...,” ucap Reinald sesampai di pintu rumahnya. “Wa’alaikumussalam ... Papa ....” Rea yang tadinya tengah bermain bersama Dimas, langsung bangkit dan menyusul ayahnya. Reinald membungkukkan tubuhnya dan Rea memeluk Reinald dengan sangat erat. “Tebak papa bawa apa?” tanya Reinald pada putri bungsunya. “Pasti papa bawain esk krim’kan?” “Lo, kok Rea tahu?” “Tahu dong, karena papa bawa kantong yang ada logo tokonya.” Reinald langsung menghujani putrinya itu dengan ciuman. Rea tertawa terpingkal-pingkal mendapat hujan ciuman dari ayahnya. “Hhmm ... Anaknya saja nih yang disayang? Ibunya dilupakan?” Andhini tersenyum, menghampiri sang suami dan mengambil alih kantong belanjaan yang sebelumnya ada di tangan Reinald. “Sayang ....” Reinald langsung menurunkan Rea dari gendongan, memeluk Andhini dan mencium puncak kepala wanita itu. “Mas, aku mau bicara sebentar. Kamu punya waktu’kan?” Wajah Andhini tampak sangat serius. “Ada apa, Sayang? Apa ada sesuatu yang penting?” Andhini mengangguk, “Sebaiknya kamu ganti pakaian dulu. Nanti aku akan bawakan teh hangat ke kamar.” “Memangnya ada apa, Andhini?” Reinald mulai khawatir. Andhini langsung tersenyum, “Nanti aku akan katakan. Oiya, Rea sayang ... kasih kantong ini ke bu Santi ya ... Sekalian Rea main dulu sama mbak Rara dan Dimas. Mama dan papa mau ngobrol sebentar.” “Iya, Ma.” Rea langsung mengambil kantong belanjaan berisi brownies dan es krim box yang dibeli oleh Reinald, lalu bocah kecil itu berjalan menuju dapur memberikan kantong itu pada asisten rumah tangga mereka. Reinald memegangi pinggang istrinya dan menatap Andhini dengan tajam. “Sayang, ada apa sebenarnya?” Andhini melepaskan tangan Reinald dari pinggangnya, “Tunggu aku di kamar. Aku akan buatkan teh hangat untuk kamu.” “Baiklah, jangan lama-lama.” Reinald mencubit pelan hidung bangir Andhini. Ingin rasanya pria itu mencium puncak hidung Andhini di sana, tapi Reinald sadar di sana bukan tempat yang tepat untuk melakukan hal itu. Walau ia berada di rumahnya sendiri, banyak orang lain di sana yang sewaktu-waktu bisa melihat apa yang seharusnya tidak mereka lihat. Reinald pun berjalan menuju kamar, membersihkan dirinya sesaat lalu mengganti pakaiannya dan duduk di atas sofa panjang yang ada di dalam kamar itu sembari menunggu Andhini. Andhini sendiri masih belum masuk ke dalam kamar. Padahal jika dihitung waktu yang dihabiskan, Reinald sudah menghabiskan waktu hampir sepuluh menit untuk mandi dan berganti pakaian, tapi teh hangat buatan Andhini masih belum juga datang. Tidak lama, pintu kamar pun terbuka. Andhini masuk seraya membawa sebuah baki berisi dua cangkir teh dan sepiring buah-buahan segar. “Sayang, maaf lama. Tadi Rea sedikit berulah.” Reinald yang sebelumnya menatap layar gawai, meletakkan kembali ponselnya di atas meja. Ia membantu Andhini memindahkan cangkir teh dan piring berisi potongan buah-buahan segar ke atas meja. Reinald kembali mendudukkan bokongnya di atas sofa. Ia juga menuntun sang istri untuk duduk di sampingnya. “Sayang, ada apa sebenarnya?” tanya Reinald. Pria itu terus memerhatikan wajah Andhini yang tidak sesegar biasanya. “Mas ... Minum dulu tehnya.” Andhini masih belum siap untuk mengucapkan apa pun. Reinald mengangguk. Ia tahu jika istrinya tengah menyimpan sesuatu. Reinald berusaha bersikap tenang dengan menyeruput teh hijau hangat yang baru saja dibuat oleh Andhini. “Aku sudah minum tehnya dan kerongkonganku kini terasa sangat segar. Sekarang katakan’lah apa yang ingin kamu katakan, Andhini.” Andhini menggenggam ke dua tangan suaminya. Perlahan, ia merebahkan tubuhnya di samping Reinald. Reinald melepaskan tangannya dari tangan Andhini dan balas memeluk istrinya itu dari samping. “Sayang, ada apa denganmu? Apa yang terjadi sehingga membuatmu seperti ini, Andhini?” “Mas, a—aku ....” “Iya, ada apa, Sayang?” Andhini melepaskan kepalanya dari bahu Reinald, lalu ia kembali menatap suaminya itu. “Mas, a—aku ... Aku sakit, Mas.” “Sakit? Maksud kamu apa, Sayang?” “Maafkan aku, Mas. Selama ini aku sudah merahasiakannya dari kamu. Aku tidak ingin membuatmu dan anak-anak kita khawatir. A—aku.” Andhini kembali memeluk suaminya itu. ia tidak sanggup menahan luapan air mata yang kini membasahi ke dua pipinya. “Sayang, memangnya kamu sakit apa?” “Ada tumor di rahimku, Mas. Kata dokter, tumornya sudah menyebar hingga keluar rahim. Aku harus segera melakukan operasi pengangkatan rahim. Tapi kalaupun aku lakukan itu, tidak menjami kalau sel tumornya akan mati sepenuhnya.” “Astaghfirullah ... Pantas saja selama ini wajahmu sering pucat dan kamu ... Ah, kenapa kamu baru mengatakannya sekarang, Andhini? Jadi selama ini erangan dan rasa sakit itu nyata? Bukan karena permainan semata?” “Maafkan aku, Mas. Justru karena itu aku tidak ingin memberi tahumu. Aku tidak ingin kamu kecewa terhadapku, Mas.” “Andhini, apa yang kamu katakan?” “Mas, aku mohon jangan memberi tahu anak-anak kita. Cukup aku dan kamu saja, Mas. Aku tidak ingin membuat Aulia, Asri, Andre dan Rea merasa khawatir. Aku tidak ingin mereka kehilangan senyum mereka. Berjanji’lah kepadaku, Mas.” Reinald sendiri tidak mampu menahan air matanya. Ia sendiri juga tidak sanggup membayangkan betapa menderitanya Andhini saat ini menahan rasa sakit yang kini menghinggapinya. “Sayang, sampai kapan kita akan sembunyikan semuanya dari anak-anak?” “Aku mohon, Mas. Jangan sampai anak-anak menjadi khawatir. Kasihan Andre yang saat ini tengah menempuh pendidikan di akademi kepolisian, atau Aulia yang jauh di Kalimantan sana. Berjanjilah kepadaku, Mas.” Andhini kembali memeluk suami tercintanya itu. Reinald mengangguk seraya membelai bahu Andhini. Hati pria itu sangat hancur ketika mengetahui istrinya tengan bertarung dengan penyakitnya. Tiba-tiba, mereka berdua mendengar suara ketukan pintu dari luar kamar. Andhini segera menyeka air matanya, bangkit dan berjalan menuju pintu kamar. “Rea, ada apa, Sayang?” “Mama, ada tamu.” “Tamu? Siapa?” “Ada om Andi di luar.” “Om Andi?” Andhini tampak berpikir. “Itu lo, om Andi yang sahabatnya papa.” “Ohiya, om Andi ya ... Sebentar mama akan panggilkan papa dulu.” Andhini langsung menoleh ke arah suaminya, “Mas, ada mas Andi datang.” “Oiya, aku lupa. Tadi pagi Andi datang ke kantor. Katanya sore ini akan mampir ke sini. Aku akan temui Andi dulu.” Andhini mengangguk lalu menoleh ke arah Rea, “Sayang, tolong sampaikan pada mbak Santi. Buatkan dua cangkir kopi untuk papa dan om Andi.” “Baik, Mama ....” Rea segera berlari menuju dapur sementara Reinald sudah bersiap dengan pakaiannya. “Sayang, aku temui Andi sebentar. Kamu tenang saja, Andhini. Aku akan usahakan pengobatan terbaik untuk kamu. Percayalah, aku akan lakukan apa pun untuk kebahagiaan dan kesembuhanmu. Nanti akan kita bicarakan lagi.” “Iya, Mas. Sebaiknya kamu temui mas Andi dulu. Aku juga akan bersiap menyapanya sebentar.” Reinald mengangguk. Sebelum meninggalkan istrinya di dalam kamar, Reinald memberikan sebuah kecupan sayang di puncak kepala Andhini. Ciuman khas yang selalu mampu membuat Andhini melambung tinggi, merasakan cinta yang sesungguhnya. Reinald berlalu dari kamar itu dan menemui Andi yang sudah menunggu di ruang tamu. “Andi, akhirnya kamu datang juga,” sapa Reinald seraya memeluk hangat sahabat baiknya semenjak remaja. “Maaf kalau aku sudah menganggu waktumu bersama Andhini.” “Ah tidak, kami hanya membahas sesuatu saja. Oiya, bisa kita berbincang di taman belakang? Ada yang ingin aku mintai pendapat sama kamu.” “Pendapat? Kamu dan Andhini sedang tidak ada masalah’kan?” Andi tampak mengernyit. Ia melihat gurat yang tidak biasa di raut wajah Reinald. Ya, Andi paham betul gestur tubuh dan wajah sahabatnya itu. Bisa dikatakan, ia sudah khatam dengan baik dan buruknya seorang Reinald Anggara. Bahkan semenjak remaja, mereka sudah bersama. Melihat gurat wajah dan raut yang tidak biasa dari wajah tampan sahabatnya, Andi yakin jika sahabatnya itu sedang tidak baik-baik saja.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN