Di rumahnya, Andhini yang tengah menonton televisi ditemani Dimas yang asyik terjaga dan bermain, dikejutkan dengan deringan ponselnya. Terlebih ponsel itu terletak di dekat Dimas. Bunyi yang keras membuat Dimas tersentak dan menangis. Andhini segera mengambil cucunya itu dan menggendongnya.
“Ada apa, Bu?” tanya sang pengasuh Dimas.
“Tidak apa-apa, Mbak. Dimas hanya kaget saja mendengar suar ponsel. Saya lupa memelankan nada deringnya.”
“Owh ... ibu angkat saja teleponnya, biar Dimas sama saya.”
“Tidak, Mbak. Nggak usah, nggak apa-apa kok. Sebentar lagi Dimas juga tenang. Mbak lanjutkan saja membereskan perkakas Dimas.”
“Baik, Bu.”
Tidak lama, Dimas pun terdiam. Andhini segera mengangkat panggilan vidio itu sesaat setelah Dimas terdiam.
“Assalamu’alaikum, Mas,” jawab Andhini.
“Wa’alaikumussalam ... Sayang, kenapa lama sekali mengangkat teleponnya?”
“Maaf, Mas. Tadi Dimas kaget waktu ponselku berdering dan ia menangis. Jadi aku tenangkan dulu.”
“Owh ... aku pikir karena apa? Jadi mana cucu opa?” Reinald begitu bahagia bisa menatap ajah cantik istrinya beserta Dimas yang ada di dalam pangkuan Andhini.
“Ini dia cucu opa.” Andhini memperlihatkan wajah Dimas ke arah Reinald. Seketika Dimas tertawa melihat senyum tampan kakeknya.
“Kalau sudah lihat Dimas, rasanya mas ini mau cepat-cepat pulang saja, Andhini. Andai saja bisa mengajukan pensiun dini.”
“Jangan bicara kayak gitu, Mas. Ribuan orang bahkan jutaan orang di luar sana berbondong-bondong ingin jadi ASN, kamu kok malah ngomong kayak gitu.”
“Entahlah ... Rasanya aku sudah lelah dengan semua pekerjaan ini.”
“Sstt ... Jangan bicara seperti itu, Mas.”
Reinald tersenyum, “Sayang, sudah dulu ya ... Aku harus segera menyiapkan semua berkas ini. Kalau semuanya sudah rampung, aku akan segera pulang.”
“Iya, Mas. aku tunggu kamu di rumah.”
“Aku mencintaimu, Andhini.”
Mendengar pernyataan Reinald, sontak saja d**a Andhini bergemuruh. Bagaimana tidak, kata cinta begitu menghipnotisnya. Andhini tahu jika Reinald tidak akan sanggup apabila ia tiada. Tapi apa mau dikata, takdir Andhini berkata lain. Penyakit serius yang menggerogotinya kini, membuat Andhini khawatir akan meninggalkan dunia ini sewaktu-waktu.
“Sayang, kenapa kamu diam saja?”
Andhini terkesiap, “Mas ... Tidak apa-apa, Mas. Entah kenapa, kata cinta yang kamu katakan itu selalu saja mampu menghipnotisku. Padahal kita ini sudah tidak muda lagi lo, tapi rasanya masih saja sama.”
“Tentu saja, Sayang. Karena cinta itu tulus dari sini.” Reinald menunjuk bagian dadanya.
“Aku juga mencintaimu, Mas.”
Reinald tersenyum, “Aku tutup dulu ya ... Assalamu’alaikum ....”
“Wa’alaikumussalam ....”
Panggilan vidio itu pun terputus. Andhini menghela napas, lalu ia meletakkan kembali ponselnya di atas meja. Andhini mengambil botol s**u lalu memberikannya pada Dimas. Wanita itu mulai menidurkan cucunya hingga Dimas pun terlelap.
***
Waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore. Deni dan Asri sudah sampai di resort tempat mereka menginap. Sebuah pulau kecil di Bali menjadi saksi tempat romantis untuk bulan madu sepasang pengantin baru itu.
Asri terlihat sangat lelah. Ia menghempaskan tubuhnya di atas dan membiarkan barang-barangnya begitu saja di atas lantai. Tiba-tiba saja ingatannya tertuju pada Dimas. Bayi kecilnya yang ia tinggalkan di rumah bersama pengasuh dan ke dua orang tuanya.
Asri yang awalnya berbaring, seketika langsung terduduk, “Kang, aku kangen sama Dimas.”
Deni tampak membereskan barang-barang mereka, “Akang juga kangen, makanya akang nolak bulan madu ini. Dimas masih terlalu kecil untuk ditinggal-tinggal begitu.”
“Tapi mau gimana, Kang. Papa yang maksa, kita nggak bisa bersikeras juga’kan?”
Deni hanya tersenyum. Pria itu tampam telaten mengemas barang-barang mereka hingga tampak sangat rapi.
“Aku nggak nyangka ternyata kamu rapi juga.” Asri memerhatikan suami tampannya itu.
“Mau gimana lagi atuh, namanya juga biasa hidup sendiri ya seperti ini’lah ....”
“Kang, aku ingin menghubungi Dimas.”
“Bukan’lah papa sudah melarang? Selama kita bulan madu, papa melarang kita untuk menghubungi Dimas atau siapa pun kecuali dalam keadaan darurat. Akang nggak berani menentang papa Rei. Soalnya, papa Rei kalau sudah mengamuk, berubah jadi macan.”
Asri terkekeh mendengar candaan suaminya, “Aku bilangin sama papa ya ....” Asri segera meraih ponselnya dan berniat mengerjai suaminya itu.
“Eh, dek Asri mau mengadu sama papa?”
“Iya, aku mau bilang kalau kamu baru saja sebuh papa itu kayak macan. Kebayang dong hukuman apa yang akan papa berikan ke kamu kalau papa lagi marah. Aku akan kirim pesan ke papa.” Asri pua-pura mulai mengetik sesuatu.
“Aduh, jangan atuh, Dek ... Bisa-bisa kena pecat akang jadi mantu.”
“Siapa suruh ngeledek papa dengan ucapan kayak gitu.”
“Akang teh cuma bercanda.” Deni berusaha meraih ponsel Asri, tapi Asri menjauhkan ponsel itu dari Deni.
Karena berebut ponsel, tanpa sadar posisi mereka kini sudah berhimpitan. Asri rebah di atas ranjang sementara Deni menindih tubuhnya. Wajah mereka pun nyaris beradu.
Dalam sekejap, Deni sudah tidak memedulikan lagi ponsel isrinya. Bibir manis Asri yang berjarak hanya beberapa senti meter saja dari bibirnya, siap untuk ia santap. Bagaimana pun juga, Deni adalah pria normal yang tentu saja berhasrat kepada wanita yang begitu ia cintai.
Tanpa pikir panjang, Deni langsung menyambar bibir manis itu. Mengulum bibir Asri hingga tanpa sadar Asri pun melepaskan ponsel itu dari tangannya. Ia membalas ciuman panas sang suami. Awalnya hanya berpagutan biasa, namun lama kelamaan ciuman itu semakin panas membara membuat Asri tidak mampu menahan desahan dan erangannya.
Deni seketika berhasrat. Pria itu sudah tidak mampu menahan nafsunya yang bergelora. Ia juga tidak punya alasan untuk menahan hasrat itu karena wanita cantik yang kini ia tindih adalah istri sahnya. Halal untuk ia apakan saja sesuka hatinya.
“Kang ...,” lirih Asri manja ketika bibir Deni mulai menjilati area lehernya.
Deni tidak menjawab, ia terus menikmati kulit manis itu sesuka hatinya. Perlahan, tangannya pun mulai meraih kancing kemeja Asri dan membuka satu persatu kancing kemeja itu. Deni segera membuang kemeja istrinya ke sembarang arah setelah pakaian itu terlepas dari tubuh Asri. Sementara bibirnya sama sekali belum melepaskan pagutannya di bibir Asri.
Puas menikmati bibir sang istri, Deni pun melepaskan ciuman itu dalam satu hisapan kuat. Asri tentu saja mengerang mendapat perlakuan demikian sebab begitu kuatnya hisapan Deni hingga bibir asri terasa tebal dan bengkak.
“Asri, maafkan aku,” lirih Deni seraya membelai lembut bibir manis istrinya.
“Minta maaf untuk apa, Sayang? Kamu berhak atas semuanya.” Asri mengambil tangan suaminya dan meletakkan ke dua telapak tangan itu di atas ke dua gundukannya.
Deden yang diperlakukan demikian, tentu saja memanas. Ia sudah tidak malu-malu lagi terhadap istrinya. Pria itu pun segera duduk dan melepaskan hodie yang ia kenakan. Tidak hanya hodie tapi juga kaus dalaman ia lepas dan buang sembarangan.
Dengan cepat, pria itu melepaskan be-ha yang masih melekat pada tubuh Asri. Lagi-lagi, Deni membuang benda itu secara sembarang. Tidak peduli di mana kini benda itu berada, yang pasti benda itu sudah tidak menghalangi pandangannya.
“Asri, aku sangat mencintaimu,” lirih Deni yang mulai menyusup wajahnya di antara celah gunung kembar istrinya.
Asri tidak mampu menjawab, karena sentuhan dan ciuman manja di area itu seketika membuatnya meremang dan basah. Hanya desahan dan erangan yang keluar dari bibirnya tanpa ada kalimat apa pun lagi yang keluar. Asri benar-benar terlena.
Ciuman yang diberikan oleh Deni perlahan demi perlahan turun ke bagian bawah. Ia mulai menarik rok plisket yang Asri kenakan. Tidak hanya rok plisket saja, tapi celana panjang dalaman juga ikut tertarik karenanya. Deni sengaja menyisakan segi tiga pengaman istrinya karena benda itu membuat gairahnya semakin memuncak.
“Kang ....” Asri semakin gelagapan. Ia hanya mampu meregang seraya meremas bantal yang ada di atas kepalanya. Sentuhan itu membuatnya menggila.
Beberapa menit pemanasan itu berlangsung, Deni pun tidak tahan dengan rudalnya sendiri. Celana pria itu mulai sesak dan ia pun segera melepaskannya.
Deni merasa lega tatkala celananya mulai lepas dan ia buang sembarangan. Benda itu serasa mendapat angi segar karena sudah bebas dari kungkungan.
Tanpa berpikir panjang lagi, Deni pun mulai melepas segi tiga miliknya dan segi tiga milik Asri. Membuat penyatuan yang membuat Asri terpekik ringan. Ternyata benda pusaka itu sudah berdiri kokoh hingga Asri meringis ketika penyatuan itu mulai terjadi.
Perlahan, Deni pun membuat peregrakan. Pergerakan demi pergerakan yang membuat istrinya lupa akan segalanya. Surga berbalut cinta yang halal sarat makna. Bermandikan keringat untuk pertama kalinya di tanah orang lain yang terkenal dengan surga keindahannya.
Pulau dewata Bali, menjadi saksi cinta dan penyatuan halal itu terjadi. Mereka terus merasakan surganya hingga mereka berdua pun lemas ketika Deni memuntahkan seluruh lahar hangatnya. Lemas dan terlelap di dalam dekapan masing-masing.