Empat Puluh Delapan

1585 Kata
Pada pukul setengah empat sore, Biro Hukum Eijun berkumpul satu kali lagi di seputar meja rapat utama. Semua orang hadir dan terhitung jumlahnya, termasuk Ivan, yang meskipun dalam usaha perlawanan yang sangat keras untuk melawan kelelahan terparah seumur hidupnya, dia nyaris tidak dapat mempercayai entah bagaimana, dirinya mendapatkan satu lembar tiket untuk sirkus ini. Dia dan Hakim Kojiro duduk agak menjauh dari meja, pas di depan dinding. Misaki Osikawa dan Kento Himura membaca surat kabar di sisi lain ruangan. Harry Kazuya belum mati, dia masih beristirahat dalam kegelapan di sofa Eijun. Ketika itu telah lewat waktunya bagi Eijun untuk pergi ke Nagano, dan ketegangan itu mulai terasa. Namun dia masih belum bisa pergi. Petisi Harry telah membangkitkan semangat seluruh tim dan memberikan mereka sedikit harapan. Robert Eijun bekerja dari sebuah daftar. Buku notes legal berwarna hitam itu, seperti biasa Riko dan Ibuki akan melacak kemajuan petisi Harry di mahkamah banding, pun berusaha terus mendesak kantor Gubernur sehubungan dengan penangguhan. Iwata Takanori masih harus menetapkan untuk memberi penangguhan atau harus menolak, dan dia biasanya menunggu hingga detik terakhir. Dia menyukai drama dan perhatian itu. Kazuya akan melacak petisi ketidakwarasan itu, yang masih bersama Sirkuit Kelima. Jika petisi itu ditolak di sana, mereka akan meminta kepada Mahkamah Agung Prefektur Pusat. Kento Himura akan tinggal di kantor dan menjaga Harry. Tidak satu orang pun yang tahu apa yang musti dilakukan dengan Harry, namun dengan keadaan seperti itu, dia pasti tidak akan mampu ke mana-mana. Seperti biasa, Misaki Osikawa akan menemani Eijun ke Nagano. Martha Tristin pun akan pergi, untuk mengamati dan mencatat. Eijun dengan gesit meneriakkan setiap perintah, menjawab setiap pertanyaan, menengahi konflik, lalu memandang ke arah pendeta dan bertanya, “Ivan, bisakah kau ikut kami pergi ke Nagano?” Menunggu beberapa detik, pendeta itu masih belum memberikan jawaban. “Untuk apa, Eijun?” Akhirnya dia berhasil membuka mulutnya. “Furuya Satoru mungkin akan membutuhkanmu.”  Ivan hanya bisa melongo dan tidak satu kata pun yang keluar dari mulutnya. Ruangan itu senyap, semua mata tertuju pada Ivan. Eijun mendesak: “Dia dibesarkan dengan ajaran gereja, Ivan, namun saat ini dia sinis terhadap agama. Dewan jurinya terdiri atas lima pemeluk Baptis, dua Pentakosta, satu Gereja Kristus, dan aku rasa sisanya ateis. Selama beberapa tahun terakhir ini, dia mulai percaya kalau pemeluk agama Kristen kulit putih menjadi alasan kenapa dia dihukum mati. Dia tidak mau lagi untuk ambil bagian dalam Tuhan mereka, dan aku tak mengharapkan kalau dia berubah pikiran dalam waktu dekat. Kendati demikian, pada saat terakhirnya, dia mungkin menghargai jika ada seseorang yang mau berdoa bersamanya.” Yang Ivan mau adalah ranjang yang nyaman di motel bersih dan tertidur selama dua belas jam. Namun, sebagai hamba Tuhan yang taat, dia tidak bisa menolak. Dia mengangguk perlahan dan menjawab, “Baiklah.” “Bagus. Kita akan berangkat bersama-sama lima menit setelah ini.” Ivan memejamkan matanya dan menggosok-gosok kening, sambil berbicara dalam batin, “Tuhan, apa yang sedang aku lakukan di sini? Tolong aku.” Kento Himura secara mengejutkan melompat dari kursi. Dia mengulurkan telepon genggamnya jauh-jauhm seolah-olah benda itu membara dan mengatakan keras-keras, “Ah astaga! Ini Hiro Akada. Dia mau menandatangani afidavit itu dan menarik kembali kesaksiannya.” “Itu dia di telepon?” tanya Eijun sedikit antusias. “Bukan. Dia mengirimkannya melalui SMS. Apa aku harus meneleponnya?” “Tentu saja!” karena antusiasnya, Eijun setengah membentak. Himura meraih ke tengah-tengah meja dan menekan tombol pengeras suara. Tidak satu orang pun bergerak, hampir tidak ada bunyi gesekan, hingga pesawat telepon itu berdering. Akhirnya, sebuah “Halo” lirih. “Hiro, ini Kento Himura, di Kanto. Aku baru saja mendapat SMS-mu, ada apa?” “Eh, aku mau menolong, Himura. Aku sungguh-sungguh bimbang soal ini.” “Menurutmu kau resah, lalu bagaimana dengan Furuya? Dia cuma punya waktu dua setengah jam untuk hidupnya, dan baru detik ini kau akhirnya melek dan ingin menolong.” “Aku sangat bingung,” jawab Hiro, nada ketusnya terdengar benar kalau dia frustasi. Robert Eijun mendekat dan mengambil telepon. “Hiro, ini Robert Eijun. Kau tidak mungkin lupa, kan?” “Tentu saja.” “Sedang di mana kau?” “Mission Bend, di apartemenku.” “Apa kau berkenan menandatangani afidavit yang berisi kau berdusta di persidangan Furuya Satoru?” Tanpa menunggu lama, Hiro menjawab dengan pasti, “Ya.” Eijun memejamkan mata dan menundukkan kepalanya. Di seputar meja, setiap orang di sana mengepalkan tinju dengan kesenyapan, mereka mengucapkan syukur yang paling tulus hingga tak mampu bersuara, mereka tersenyum lelah. “Oke kalau begitu. Begini rencananya. Ada seorang pengacara di Toei bernama Agnes. Kantornya di pusat kota di Jalan Clay. Kau kenal jalan di kota?” “Aku rasa iya.” “Bisa tidak kau menemukan sebuah kantor di pusat kota?” “Aku tidak tahu. Aku tidak yakin apakah aku bisa mengemudi.” “Apa kau mabuk?” “Tidak mabuk, tapi aku telah minum-minum.” Eijun otomatis melirik jam tangannya. Masih belum jam empat sore, dan Hiro Akada sudah mabuk. “Hiro, coba kau hubungi taksi. Aku akan mengganti ongkosnya nanti. Saat ini begitu penting buatmu untuk pergi ke kantor Agnes secapat mungkin. Kami akan mengirim afidavit itu melalui surel, kau harus menandatanganinya, dan kami akan mengajukannya di Nagasaki. Bisa, kan, kau melakukan ini, Hiro?” “Ya, akan aku coba.” “Itu bagian yang terkecil yang harus kau lakukan saat ini, Hiro. Sekarang ini Furuya ada dalam sebuah sel di Nagano, sepuluh meter dari ruangan kecil tempat mereka membunuh orang-orang, dan kebohonganmu membantu menempatkannya di sana.” “Maafkan aku.” Suaranya terdengar terisakk. “Kantor Agnes ada di Jalan Clay nomor 118, kau ingat-ingat itu, Hiro.” Hening selama sepuluh detik. Eijun menganggap bahwa Hiro sedang berusaha mengingat-ingat alamatnya. “Pergilah ke sana, Hiro. Dokumen afidavit itu akan menunggumu di sana. Kali ini, setiap menit bahkan detik sangatlah berharga, kau mengerti, Hiro?” “Oke, iya, iya.” “Hubungi aku sepuluh menit lagi.” “Iya.” Sesudah telepon dimatikan, Eijun meneriakkan perintah dan setiap orang terburu-buru nan sigap. Sembari berjalan menuju pintu, dia mengatakan, “Ayo kita berangkat, Ivan!” Mereka memasuki van bersama Martha Tristin yang berusaha menyamai pergerakan cepat mereka, dan Misaki Osikawa langsung tancap gas. Eijun menghubungi Agnes di Toei dan dengan cepat mengonfirmasi detail-detail. Ivan mencondong maju dan memandangi Misaki dari kaca spion. “Kata orang, perjalanan ke Nagano membutuhkan waktu tiga jam.” “Benar,” sahut Misaki. “Tapi kita tidak akan naik mobil.” Lapangan Udara Bersana Kanto terletak sekitar tiga kilometer di timur kota. Lapangan itu memiliki satu landasan pacu, barat ke timur, empat hangar kecil, sejumlah Cessna tua model biasa yang diparkir di dak, dan gedung logam berbentuk persegi untuk terminal. Mereka memarkir mobil, berlari-lari memasuki area lobi yang mungil, mengangguk kepada petugas yang berada di balik meja, lalu melangkah ke landasan pacu, tempat sebuah pesawat mengilap bermotor ganda King Air sedang menunggu. Pesawat itu milik seorang pengacara kaya teman Eijun yang juga pilot yang gemar terbang. Dia memasukkan mereka ke dalam pesawat, mengunci pintu, menyuruh mereka mengenakan sabuk pengaman, lalu menyabuk dirinya sendiri dan mulai menghidupkan tombol-tombol. Ivan masih berlum bicara pada istrinya lagi selama beberapa jam, dan keadaan berlangsung sedemikian cepat sehingga dia tidak yakin dari mana dia harus memulai. Kiki menjawab sesudah deringan pertama, seolah-olah dia telah memandangi telepon genggamnya sejak tadi. Mesin sudah menyala, dan seluruh kabin mendadak berguncang dan mulai terdengar bising. “Di mana kau?!” tanya Kiki. “Di pesawat terbang, meninggalkan Kanto, terbang ke Nagano untuk bertemu dengan Furuya Satoru.” “Aku hampir tidak bisa mendengar suaramu. Pesawat terbang siapa?” “Seorang teman Robert Eijun. Begini, Kiki, aku juga tidak bisa mendengarmu. Aku akan meneleponmu jika kami sudah mendarat di Nagano.” “Tolong berhati-hatilah, Ivan.” “Aku mencintaimu.” Ivan duduk menghadap bagian depan pesawat, kedua lututnya nyaris bersentuhan dengan lutut Martha Tristin. Dia memperhatikan si pilot memeriksa sebuah daftar sementara mereka pelan-pelan bergerak menjauhi landasan pacu. Eijun, Martha Tristin, dan Misaki semuanya enelepon, dan Ivan bertanya-tanya dalam hati, bagaimana mereka bisa menjalin percakapan di tengah-tengah kebisingan. Di ujung landasan pacu, King Air itu menambah kecepatan dan mengarah ke barat. Si pilot menggenjot mesing, pesawat itu semakin berguncang seolah-olah mau meledak, lalu si pilot berteriak, “Pegangan,” dan melepas rem. Mereka tersentak ke depan, dan keempat penumpang itu memejamkan mata. Dalam hitungan detik, mereka telah mengudara. Roda-roda pendaratan terlipat masuk dengan suara berdebum, namun Ivan sama sekali tidak punya gagasan apa yang didengarnya. Dalam keterburu-buruan itu, dia baru menyadari kalau dia tidak pernah terbang dengan pesawat terbang kecil sebelum ini. Dia juga tidak pernah berkunjung ke Kanto, menyopiri seorang p*******a kambuhan dan pembunuh, mendengarkan pengakuannya yang mengerikan, menyaksikan kepanikan biro hukum yang berusaha menyelamatkan laki-laki yang tidak bersalah, menjalani empat hari hampir tanpa tidur, mendapatkan surat tilang karena mengebut di Oklahoma, atau berkata ya terhadap undangan untuk berdoa bersama seorang laki-laki beberapa menit sebelum kematiannya. Mereka terbang di atas Kanto pada ketinggian dua ribu kaki dan menanjak terus. Pabrik pemisahan biji kapas masih terbakar, asap tebal bergumpal-gumpal dan membubung tinggi. Ivan memejamkan matanya lagi dan berusaha meneguhkan diri sendiri kalau dia berada di tempat dirinya tengah berada dan melakukan apa yang tengah dilakukannya. Dia tidak yakin. Dia berdoa dan meminta Tuhan untuk memegang tangannya dan membimbingnya saat ini, karena dia sama sekali tidak tahu apa yang harus dilakukan. Dia bersyukur pada Tuhan atas situasi yang sedikit tidak biasa ini, dan mengakui kalai semuanya ialah berkat intervensi Tuhan. Pada ketinggian lima ribu kaki, dagunya menumbuk dadanya, rasa lelah itu akhirnya tidak tertahankan lagi. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN