RUANGAN itu senyap, sedang di lain pintu, suara-suara terdengar gemuruh, dering telepon berdentang nyaring.
Hakim Kojiro mengatakan, “Aku rasa mustahil kalau kita bisa menemukan mayat gadis itu…”
Robert Eijun menggeleng, tangannya terlipat di depan d**a, sejenak lalu dia memandang Ivan yang mengatakan, “Tidak saat ini. Dua hari kemarin, Selasa mungkin, aku tidak yakin—aku merasa kayak sudah hidup dengan Harry selama satu tahun—namun bagaimana pun, Selasa lalu itu aku mengusulkan kalau memang cara paling jitu untuk menghentikan eksekusi itu adalah dengan menemukan mayat gadis itu. Tapi dia malah mengatakan kalau itu sulit. Alasannya sudah sembilan tahun berlalu dia menguburkan mayat gadis itu di sebuah daerah terpencil dan berhutan lebat. Dia pun mengatakan kalau dia pernah kembali selama beberapa kali untuk sekadar menemui gadis itu—aku tidak tahu apa artinya itu dan aku benar-benar tidak ingin tahu. Lalu berselang kemudian, aku kehilanga kontak dengan Harry. Aku mencarinya ke mana-mana seperti orang kesetanan, dengan ambisi membawanya beserta pengakuannya ke pihak yang berwenang, di sini dan di Shibuya, jika memang benar gadis itu yang terkubur di tempat itu, namun Harry tidak setuju. Lalu kami kehilangan kontak sekali lagi. Aku kasih tahu padamu, dia itu aneh, sangat aneh. Dia meneleponku tengah malam kemarin; saat itu aku di ranjang, benar-benar sedang tidur pulas, dan dia langsung mengatakan kalau dia ingin ke sini untuk menceritakan kisahnya, dan berniat menghentikan eksekusi. Aku pribadi merasa tidak punya pilihan. Aku pun heran, aku tidak pernah serumit ini sebelumnya. Aku berani bersumpah. Aku juga tahu kalau membantu seorang tahanan yang melanggar ketentuan pembebasan bersyaratnya itu salah, namun apa boleh buat. Jadi, kami meninggalkan Fukui sekitar jam satu dini hari tadi, dan sekali lagi aku mengusulkan supaya kami memberitahu pihak yang berwenang dan setidak-tidaknya segera mencari mayat gadis itu. Dia sama sekali tidak setuju.”
“Itu juga percuma saja, Ivan,” sahut Eijun. “Pihak berwenang di kota ini tidak bisa diharapkan. Mereka justru akan menganggap itu lelucon dan langsung menertawaimu. Mereka telah mendapatkan pelaku mereka, kasus itu sudah dianggap selesai. Hampir, aku rasa. Tidak satu orang pun di Shibuya yang akan peduli, sebab tidak ada investigasi yang sedang berjalan. Kau tidak bisa asal menghubungi Sheriff dan mengusulkan supaya dia bersama anak buahnya pergi ke sebuah hutan dan mulai menggali di suatu tempat di tepi sungai. Bukan seperti itu caranya, kalau pun seperti itu, tidak gampang melakukannya.”
“Kalau begitu, siapa yang akan menceri mayat gadis itu?” tanya Ivan.
“Aku rasa kita.”
“Aku mau pulang, Eijun. Istriku sangat marah. Temanku yang pengacara menganggapku gila. Dan menurutku mungkin aku memang gila. Aku telah melakukan sebisaku. Orang itu akan menjadi urusanmu mulai sekarang, aku sudah jengah berurusan dengannya.”
“Tenang, Pendeta. Aku membutuhkan bantuanmu saat ini.”
“Buat apa?”
“Intinya jangan terburu-buru pulang dulu, oke? Harry mempercayaimu. Lagian, kapan terakhir kali kau mendapatkan tiket barisan pertama dalam kerusuhan antar suku?”
“Tidak lucu.”
“Simpan video itu, Eijun,” potong Hakim Kojiro. “Coba nanti tunjukkan pada pengadilan dan Gubernur, namun jangan sampai kau menyebarkan itu ke publik.”
“Aku dapat mengendalikan video itu, namun aku sendirian tidak bisa mengendalikan Harry. Jika dia mau mengatakan sesuatu pada media, aku tidak bisa menghentikannya. Astaga, dia ini bukanlah klienku.”
***
Menuju pukul setengah tiga hari Kamis siang itu, setiap gereja di Kanto, hitam maupun putih benar-benar dijaga ketat oleh para pendeta, diakon, dan para guru sekolah Minggu, semuanya berjenis kelamin laki-laki, dan seluruhnya dilengkapi dengan senjata berat dan terlihat jelas. Mereka duduk di telundakan depan dan berbincang dengan gelisah, senapan-senapan berlaras pendek melintang di atas lutut. Mereka duduk di bawah teduhnya bayangan pepohonan di dekat jalanan, sesekali melambaikan tangan pada mobil melintas, banyak dari mereka membunyikan klakson sebagai tanda solidaritas. Mereka mengawasi setiap pintu dan halaman belakang, sambil merokok, mengunyah, dan mereka tidak lepas dari setiap bunyi dan gerakan. Mereka mencegah supaya tidak ada gereja di Kanto yang terbakar lagi.
Pabrik pemisah biji kapas tersebut telah ditinggalkan dua dekade sebelumnya, saat sebuah pabrik yang lebih baru menggantikannya di bagian timur kota. Pabrik itu sudah terlihat buruk sekali, gedung tua yang usang, dan dalam kondisi normal, kebakaran pasti disambut dengan senang hati. Panggilan kepada 911 itu tercatat pada pukul dua siang. Seorang remaja yang mengemudi melihat asap tebal dan menelepon dari ponselnya. Pasukan pemadam kebakaran yang kelelahan bergegas menuju pabrik tua itu, dan ketika mereka datang, percik api sudah menyala menembus asap. Oleh karena bangunan itu kosong, usang, b****k, dan tidak banyak kerugian yang ditimbulkan, mereka tidak perlu tergesa-gesa.
Asap hitam membumbung tinggi ke langit. Wali Kota bisa melihatnya dari kantornya di lantai dua, di dekat gedung pengadilan, dan usai berkonsultasi dengan Kepala Polisi, dia menelepon kantor Gubernur. Situasi dan kondisi di Kanto kelihatannya tidak akan membaik. Para penduduk detik demi detik merasa waswas, kian terancam bahaya. Mereka memerlukan Pasukan Nasional.
***
PETISI itu selesai persis sebelum pukul tiga sore, begitu juga afidavit Harry, tebalnya sekitar tiga puluh halaman. Harry Kazuya bersumpah secara tertulis kalau dia mengatakan hal yang sebenarnya, dan Riko mengirim petisi itu melalui surat elektronik pada kantor. Kelompok Pembela di Nagasaki, Staf di sana sedang menunggu. Petisi itu dicetak, dikopi sebanyak dua belas kali, dan diberikan kepada Mona, yang berlari keluar kantor, masuk ke mobil, dan melaju cepat melintas kota menuju kantor-kantor Mahkamah Banding Kriminalitas Kanto. Petisi itu diajukan pada pukul 15.20.
“Apa ini?” tanya pegawai panitera itu sembari memegang satu keping cakram.
“Video pengakuan dari pembunuh yang sebenarnya,” jawab Mona.
“Bagus, ini menarik sekali. Aku rasa kau ingin para hakim itu segera melihat rekaman ini secepatnya.”
“Saat ini juga, tolong.”
“Akan aku lakukan.”
Mereka berbincang sejenak, dan Mona meninggalkan kantor. Pegawai panitera itu lekas menyampaikan petisi itu kepada kantor dari kesembilan hakim. Di kantor hakim kepala, dia berbicara pada paniteranya dan mengatakan, “Kau mungkin mau melihat video itu terlebih dahulu. Di rekaman itu ada orang yang mengaku sebagai dalang pembunuhan itu.”
“Dan di mana orang itu sekarang?” tanya pegawai itu.
“Dia ada di kantor pengacara Furuya Satoru di Kanto, menurut pengacara Kelompok Pembela.”
“Jadi, Robert Eijun telah menemukan seorang saksi mata baru?”
“Ya, begitu kelihatannya.”
Sedang Mona meninggalkan kantor Mahkamah Banding Kriminalitas Kanto, dia mengambil jalan memutar sepanjang dua blok dan melintasi Gedung Kapitol. “Demo untuk Furuya” telah menarik begitu banyak orang di lapangan selatan. Para polisi ada di mana-mana, menyebar. Izin sudah dikeluarkan, dan Amandemen Pertama kelihatannya berjalan.
Kerumunan massa itu, yang hampir semuanya kulit hitam, mengalir masuk. Izin itu berlaku selama tiga jam, dari jam tiga sore hingga jam enam sore, saat eksekusi dilakukan, namun jelas terlihat kalau hal-hal sedikit tertunda, di Nagasaki, bukan di Nagano pastinya.
***
Gubernur tengah mengikuti rapat penting yang tidak ada kaitannya dengan Furuya Satoru. Pada pukul 15.15, rekaman video itu diterima oleh seorang asisten yang menangani setiap permohonan penangguhan, dan dia menonton keseluruhan dari empat belas menit rekaman video itu sebelum memutuskan apa yang musti dilakukannya. Meskipun dia menganggap cerita Harry lumayan bisa dipercaya dan mengerikan, dia masih merasa ada keraguan karena latar belakang dari pembunuh itu, dan kemauannya untuk mengaku baru muncul pada saat-saat terakhir. Dia pergi menemui Chiba Fukushi, pengacara dan teman dekat dari Gubernur, lalu menggambarkan video itu.
Chiba mendengarkan keluhannya dengan teliti, lalu menutup pintu ruang kerjanya dan meminta asisten itu duduk. “Siapa lagi yang sudah melihat video itu?” tanyanya.
“Masih aku,” jawab asisten itu. “Video itu disurel dari kantor Pengacara Eijun, dengan kode sandi. Aku langsung menontonnya, lalu pergi ke sini.”
“Dan isinya adalah sebuah pengakuan lengkap?”
“Iya, dengan banyak detail.”
“Dan kau mempercayai orang itu?”
“Aku tidak bilang seperti itu. Aku bilang dia terlihat tahu apa yang sedang dibicarakannya itu. Dia merupakan p*******a kambuhan, dan dia ada di Kanto saat gadis itu menghilang. Dia memberikan pengakuan sangat lengkap.”
“Apakah dia menyebut nama Furuya Satoru?”
“Kenapa tidak kau tonton saja rekaman video itu?”
“Aku tidak meminta usulmu, kan?” bentak Chiba. “Pokoknya tinggal kau jawab saja pertanyaanku.”
“Sori.” Asisten itu menghirup napas panjang. Dia secara tiba-tiba menjadi gugup dan gusar. Chiba mendengarkan, namun juga sambil sibuk memutar otak. “Dia menyebut nama Furuya Satoru hanya untuk mengatakan kalau dia belum bertemu dengannya dan kalau Furuya tidak ada kaitannya dengan kasus kriminal itu.”
“Dia sudah sangat jelas berbohong. Aku tidak mau merepoti Gubernur dengan beginian, pun aku mau kau merahasiakan rekaman video itu. Aku tidak punya waktu untuk menontonnya. Apalagi Gubernur. Kau paham?”
Asisten itu tidak mengerti, toh dia masih sanggup mengangguk. Chiba menyipitkan mata dan mengerutkan dahi.
“Kau benar-benar paham, kan?” Dia memastikan sekali lagi. “Rekaman video itu harus tetap tinggal di komputermu.”
“Baik, Pak.”
Begitu asisten keluar, Chiba langsung berlari menuju ruang kerja Waka Shohei, kepala juru bicara dan teman terdekat Gubernur. Ruang kerjanya penuh dengan para staf dan pemagang yang berkeliaran, jadi mereka berjalan menyusuri selasar.
Usai beberapa kenit membahas beberapa pilihan mereka, mereka semua sepakat kalau Gubernur tidak perlu melihat rekaman video itu. Jika memang Harry berbohong, maka rekaman video itu menjadi tidak ada relevansinya dan pelaku yang benar telah dieksekusi. Tapi apabila Harry—di dalam rekaman video itu—mengatakan hal yang sebenarnya, hal yang sepenuhnya sangat mereka ragukan, dan orang yang salah telah dieksekusi, kehebohan itu bisa sangat menghancurkan. Satu-satunya jalan agar bisa melindungi Gubernur Iwata Takanori yaitu apabila salah seorang dari mereka, atau mungkin si asisten, menanggung kesalahan itu dengan cara mengakui kalau mereka sudah menyimpan sendiri, atau mungkin bahkan telah menghilangan rekaman video itu. Iwata Takanori tidak pernah mengabulkan penangguhan dalam kasus hukuman mati, dan dengan begitu banyak perhatian yang muncul karena kasus Furuya Satoru ini, dia tidak akan mungkin mundur saat ini. Bahkan jika dia menonton rekaman video itu, dan bahkan apabila dia mempercayai Harry, dia tetap tidak akan mundur.
Chiba Fukushi dan Waka Shohei berjalan menuju ruang kerja Gubernur. Mereka diharapkan hadir di sana pada pukul empat sore, dua jam sebelum eksekusi, dan mereka tidak akan pernah berupaya memberitahu Gubernur mengenai rekaman video itu.