Bourbon itu biasanya Knob Creek, namun pada kesempatan khusus, minuman enak yang sebetulnya dikeluarkan dari laci. Masing-masing memperoleh satu gelas kecil Pappy Van Winkle, dan mereka bertiga sama-sama mengecap bibir. Mereka mulai sedikit lebih awal, namun Gubernur mengatakan dia memerlukan minuman keras. Shohei dan Chiba tidak pernah menolak. Mereka melepas jas, menggulung lengan kemeja, mengendurkan dasi, tiga laki-laki sibuk dengan banyak hal yang sibuk dengan pikirannya. Mereka berdiri di dekat sebuah kredenza di sudut, meneguk sedikit, memperhatikan demo dari sebuah televisi kecil. Jika mereka membuka jendela, mereka pasti dapat mendengar suara berisik tersebut. Seorang pembicara berkepanjangan lainnya tengah menyampaikan banyak cercaan pedas mengenai hukuman mati, isu rasial, dan sistem pengadilan Kanto. Istilah “pembunuhan oleh hukum” dipakai secara bebas. Sejauh ini, setiap pembicara menuntut supaya Gubernur menghentikan eksekusi. Keamanan Gedung Kapitol mengestimasikan kerumunan massa itu berjumlah sebanyak sejumlah ribu.
Di belakang punggung Gubernur, Shohei dan Chiba saling bertukar pandang dengan gelisah. Jika kerumunan massa bisa melihat video itu, kericuhan dijamin pecah. Haruskah mereka memberitahu Gubernur? Tidak, mungkin nanti saja.
“Chiba, kita musti mengambil keputusan tentang Pasukan Nasional,” kata Shohei.
“Apa yang terjadi di Kanto?”
“Hingga tiga puluh menit lalu, mereka telah membakar dua gereja, satu gereja kulit putih, yang satu gereja kulit hitam. Saat ini sebuah gedung tidak berpenghuni pun dibakar. Mereka meliburkan sekolah tadi pagi, sesudah terjadi pertikaian. Para demonstran kulit hitam berparade, dan memenuhi jalanan, mencari masalah. Sepotong batu bata dilemparkan dan memecahkan kaca belakang sebuah mobil polisi, namun sejauh ini tidak ada kekerasan lain. Wali kota ketakutan dan mengira Kanto akan meledak sesudah eksekusi.
“Siapa yang tersedia?”
“Unit di Tyler tengah bersiap-siap dan bisa langsung dikirim dalam waktu satu jam.Enam ratus tentara. Semestinya cukup.”
“Lakukan itu dan keluarkan siaran pers.”
Waka Shohei langsung keluar ruangan. Chiba meneguk sedikit lagi dan dengan ragu-ragu mengatakan, “Chiba, apa tidak lebih biak jika kita membahas tentang pemberian penangguhan selama tiga puluh hari itu? Agar situasi lebih tenang sedikit.”
“Astaga, tidak. Kita tidak boleh mundur hanya karena orang-orang kulit hitam merasa kesal. Kalau kita menunjukkan kelemahan saat ini, kita akan mendapat aksi yang lebih keras di masa depan. Jika kita menunggu tiga puluh hari, keributan dan kerusuhan itu toh akan terulang lagi. Aku tidak mau berubah pikiran. Kau kenal aku begitu baik.”
“Iya, iya. Aku hanya mengusulkan.”
“Jangan pernah menyebut itu lagi.”
“Baik, dimengerti.”
“Ini dia muncul,” kata Gubernur, sembari maju satu langkah mendekati televisi.
Kerumunan massa bersorak riuh-rendah saat Pendeta Isao Inaba naik ke podium. Pendeta Isao dikenal sebagai radikal kulit hitam yang terkenal keras yang menjelajahi seluruh negeri, dan cukup ceras untuk entah bagaimana menyelipkan dirinya ke dalam setiap konflik atau episode di mana di situ terdapat isu rasial. Dia mengangkat kedua tanngannya, menghimbau ketenangan, dan memanjatkan doa berbunga-bunga, meminta pada Tuhan Yang Maha Kuasa untuk mengasihani jiwa-jiwa sesat yang memimpin negara, mencelikkan mata mereka, mengkaruniai mereka dengan kebijakan, menyentuh hati mereka agar ketidakadilan yang serius ini bisa dihentikan. Dia meminta tangan Tuhan menganugerahkan mukjizat untuk menyelamatkan saudara mereka, Furuya Satoru.
Saat Shohei kembali, dia mengisi ulang gelas mereka, kedua tangannya terlihat sangat jelas sedang gemetar. Gubernur mengatakan, “Omong kosong ini sudah cukupDi luar kamera, Detektif Bonjami mengatakan, “Kau telah dibacakan hak-hak Miranda-mu, kan?”
“Sudah.”
“Dan kau memberikan pernyataan ini dengan sukarela, tanpa ancamanm tanpa janji apun pun, kan?”
“Ya.”
“Oke, kalau begitu ceritakan pada kami aoa yang terjadi pada hari Jumat malam itu, tanggal 4 Desember, sembilan belas hari yang lalu.”
Furuya Satoru mencondong maju dengan kedua siku di meja, dan terlihat seolah-olah hampir pingsan. Dia memilih tempat di meja, menatapnya, berbicara padanya. “Nah, aku dan Bella telah berpacaran dengan diam-diam, kami berhubungan seks, bersenang-senang.”
“Berapa lama hal itu telah berlangsung?”
“Tiga atau empat bulan. Aku menyukainya, dan dia menyukaiku, keadaan menjadi sangat serius. Sementara dia ketakutan, khawatir nantinya tepergok oleh kedua orang tuanya. Kami mulai bertengkar, dia mau putus, sedang aku tidak mau. Aku rasa bahwa aku jatuh cinta padanya. Setelah itu dia tidak mau menemaniku lagi. Dan ini yang membuatku kesal. Aku menginginkan dirinya, melebihi apa pun di dunia. Aku sangat terobsesi. Aku tergila-gila, aku tidak sanggup membayangkan orang lain yang akan memilikinya. Jadi, Jumat malam itu, aku pergi untuk mencarinya. Aku tahu di mana dia suka berkumpul bersama teman-temannya. Aku melihat mobilnya di mal, di sisi timur gedung mal.”
“Sebentar, Furuya, namun aku rasa tadi kau mengatakan mobilnya diparkir di sisi barat mal.”
“Benar, di sisi barat. Jadi aku menunggu, sangat lama.”
“Dan kau mengemudikan van ford hijau, milik orang tuamu.”
“Benar. Dan aku rasa saat itu sekitar pukul sepuluh malam hari Jumat, dan…”
Bonjamin mengatakan, “Tunggu, Furuya, tapi kau tadi mengatakan saat itu hampir jam sebelas.”
“Ya, sebelas.”
“Teruskan, kau ada di van hijaumu, menunggu gadis itu, dan kau melihatnya.”
“Betul. Aku benar-benar ingin menemuinya, jadi kami berkendara berputar-putar, mencari mobilnya, dan…”
“Sebentar, Furuya, kau mengatakan bahwa kau berkendara berputar-putar, tapi tadi kau mengatakan…”
“Oh, ya, aku dan Tatsuya Kimura…”
“Tapi sebelumnya kau mengatakan kalau kau sendirian, kalau kau telah menurunkan Tatsuya di rumah ibunya.”
“Benar, sori soal itu. Di rumah ibunya, benar. Jadi aku sendirian saja di mal dan aku melihay mobil Bella. Aku memarkir mobilku dan menunggu. Saat dia keluar, dia sendirian saja. Kami berbicara sejenak, dan dia setuju untuk masuk ke dalam van-ku. Kami pernah beberapa kali memakai van itu, ketika kami berkencan diam-diam. Aku mengemudi dan kami berbicara. Kami berdua sama-sama kesal. Dia bersikeras mau putus, sementara aku sebaliknya, bersikeras menolak. Kami berbicara di mana tak seorang pun akan mengusik kami, kau tahu. Tapi dia tidak mau mendengarkan. Dia mulai menangis, dan itu membuatku pun menangis. Kami berhenti di suatu jalan, dan aku mengatakan kalau aku ingin berhubungan seks yang terakhir kali. Awalnya dia kelihatan oke dengan itu, dan kami mulai b******u. Lalu dia menarik diri, menyuruhku berhenti, katanya dia mau kembali karena teman-temannya pasti mencari dirinya, namun, aku tidak sanggup berhenti. Dia mulai mendorongku supaya menjauh, dan aku menjadi kesal, sungguh kesal, tiba-tiba saja aku membencinya sebab dia menjauhkan diriku, sebab aku tidak bisa memilikinya. Jika aku kulit putih, maka aku dapat memilikinya, tapi karena aku kulit hitam, maka aku tidak cukup baik untuk dia, kau tahu. Kami mulai bertengkar, dan pada suatu waktu dia menyadaro kalau aku tidak akan berhenti. Dia tidak melawan, namun dia juga tidak menyerah. Saat selesai, dia menjadi sangat marah. Dia menamparku dan mengatakan aku memerkosanya. Lalu, tiba-tiba sesuatu terjadi, aku kehilangan kendali atau gelap mata, aku tidak tahu, intinya aku benar-benar menggila. Dia masih di bawahku, dan aku, memukulnya berkali-kali. Aku tidak percaya bahwa aku memukuli wajah cantinya itu, namun aku tidak bisa memilikinyam jadi tidak satu orang pun yang boleh memilikinya juga. Aku sungguh liar saat itu. Seperti manusia purba dan.., sebelum aku menyadari apa yang sudah aku lakukan, kedua tanganku telah melingkar di lehernya. Aku mengguncang dirinya, setelah itu dia terkulai, senyap. Semuanya senyap. Saat aku tersadar kembali, aku cuma bisa melihatnya, setelah itu aku baru sadar kalau dia sudah tidak bernapas. Aku mulai berkendara berputar-putar, aku tidak tahu aku harus pergi ke mana. Aku terus menunggu supaya dia terbangun lagi, namun dia tidak kunjung membuka matanya. Aku memanggil namanya berulang kali, tapi dia tidak menyahut. Aku rasa aku benar-benar panik ketika iut. Aku tidak tahu pukul berapa tepatnya saat itu. Aku mengemudi ke utara, dan saat aku sadar kalau matahari telah terbit, aku panik lagi. Aku melihat rambu jalan Sungai Merah. Aku ada di Rute 344, dan…”
“Bentar, Furuya, tapi sebelumnya kau mengatakan kalau kau mengemudi di Rute 244.”
“Ya, benar… Rute 244. Aku mengemudi ke jembatan, hari masih gelap, tidak ada lampu mobil sama sekali yang terlihat, senyap, tidak ada suara. Lalu aku mengeluarkannya dari belakang van dan melemparkannya ke sungai. Saat mendengar suara ceburan itu, aku mau muntah rasanya. Aku ingat sekali waktu itu, aku menangis terus sepanjang perjalanan.”