“Kurangnya bukti-bukti fisik, terdakwa juga mempunyai alibi yang rasional, berdasarkan keterangan kalau dia pada waktu itu berada di tempat lain, pun dia lulus paling tidak dari empat tes poligraf, dia juga selalu menyangkal keterlibatannya, seperti yang sering dituduhkan padanya. Hiro, demi tujuan dari percakapan ini, fakta kalau kesaksianmu di persidangan benar-benar tidak bisa dipercaya. Kau mengatakan tidak pernah melihat mobil van hijau di lapangan parkir di sekitar mobil Bella, itu mustahil. Kau meninggalkan mal melalui pintu masuk menuju bioskop. Dan gadis itu meletakkan mobilnya di sisi timur, di sisi yang berlawanan dari mal. Kau mengada-ada kesaksian itu untuk membantu Polisi mencekal tersangka mereka.”
Tidak ada ledakan, tanpa amarah, Hiro menerima semua tuduhan itu dengan tenang, persis seperti anak kecil yang tertangkap basah mencuri selembar uang kertas dari dompet ibunya dan tidak mampu berkata apapun.
“Teruskan,” katanya.
“Kau ingin dengar?”
“Aku meyakini kalau aku pernah mendengarnya.”
“Kau memang pernah mendengar. Kau mendengarnya di persidangan, delapan tahun lalu. Mr. Eijun menjelaskannya pada dewan juri. Kau begitu tergila-gila pada gadis itu, tapi gadis itu tidak memiliki kegilaan yang sama padamu. Drama yang identik pada anak SMA. Kalian pacaran putus-sambung, tidak ada hubungan seks, hubungan yang kurang mulus, dan pada suatu saat kau curiga bahwa dia berpacaran dengan pria lain. Dan ternyata pria itu adalah Furuya Satoru. Tentu saja, di Kanto, hal itu bisa menuju pada masalah-masalah rumit. Tidak ada yang tahu pasti. Tapi kabar itu justru menyebar tak terkendali. Kemungkinan gadis itu mencoba memutuskan hubungannya dengan Furuya. Sementara Furuya menyangkal hal tersebut. Kemudian setelah gadis itu dinyatakan menghilang, kau mengambil kesempatan itu untuk menyalahkan Furuya. Dan sekarang, kau berhasil menjadi salah satu faktor kehancurannya. Kau mengirim dia dalam penjara hukuman mati, serta sebentar lagi kau akan menjadi orang yang harus bertanggungjawab karena dengan kesaksianmu itu dia akan terbunuh.”
“Jadi, aku yang musti menanggung semua kesalahan sekarang?”
“Tepat sekali. Keteranganmu di persidangan memposisikan Furuya berada di tempat kejadian perkara, atau paling tidak begitu lah yang ada di dalam benak para dewan juri. Padahal sebenarnya, kesaksianmu itu nyaris menjadi bahan tertawaan karena sangat tidak konsisten, tapi kelihatannya para dewan juri ingin sekali mempercayaimu, sebab aku tahu kalau selain kau, tidak ada lagi seseorang yang punya hubungan besar dengan korban. Tentunya, kesaksianmu akan sedikit mempermudah mereka. Dan aku tahu bahwa kau sebenarnya tidak melihat mobil van hijau. Kau berbohong. Kau mengarang cerita. Kau juga menelepon Detektif Bonjamin dan memberikannya petunjuk tanpa nama. Dan setelah itu, kau tahu bagaimana cerita selanjutnya.”
“Aku tidak menelepon Bonjamin.”
“Omong kosong. Tentu kau meneleponnya. Aku punya banyak kenalan yang ahli dalam penelusuran seperti itu. Bahkan bodohnya kau tidak berupaya menyamarkan suaramu. Menurut para analis kami, kau sudah banyak minum tetapi kau tidak mabuk. Ada sebagian kata-katamu yang intonasinya agak sedikit ditarik-tarik. Kau mau melihat laporannya?”
“Tidak perlu. Hal itu tidak akan pernah diakui di dalam persidangan.”
“Hal itu disebabkan karena kami tidak tahu teleponmu sampai usai persidangan, dan itu juga karena Polisi dan Jaksa Penuntut merahasiakannya, yang semestinya mengarah pada pembalikan.”
Pramusaji itu muncul lagi sambil membawa sepiring Confit de Canard yang mendesis panas, semua itu untuk, Hiro. Himura menerima salad taco-nya dan meminta teh lagi. Setelah melalui proses beberapa gigitan, Hiro mengatakan, “Jadi, siapa pembunuhnya?”
“Siapa yang tahu? Bahkan tidak ada bukti kalau gadis itu sudah mati.”
“Mereka menemukan kartu sasana olahraga dan kartu pelajarnya.”
“Benar. Tetap saja mereka tidak bisa memprediksi seenaknya karena mereka masih belum menemukan mayatnya. Bisa saja gadis itu masih hidup di suatu tempat.”
“Kau tidak mungkin mempercayai itu.” Secuil daging ayam yang diperoleh melalui gesekan garpu dan pisau habis dilahapnya.
“Iya. Aku tidak percaya. Aku yakin bahwa dia sudah mati. Tapi saat ini hal itu tidak jadi masalah. Yang lebih penting sekarang karena kita sedang berpacu dengan waktu, dan kami membutuhkanmu, Hiro Akada.”
“Kau mau aku bagaimana, hem?” Sambil sedikit meninggikan dagunya.
“Tarik kesaksianmu dan menandatangin afidavit yang menyatakan keterangan yang sebenarnya. Katakan pada kami mengenai apa yang betul-betul kau lihat hari itu. Bahwa malam itu tidak ada apa-apa yang menyangkut Furuya Satoru.”
“Aku melihat mobil van hijau.”
“Kawanmu tidak melihat van hijau, padahal dia juga berjalan keluar mal bersamamu. Kau tidak mengatakan apapun padanya. Dan sesungguhnya, kau tidak bilang sesuatu pada siapapun menyoal kasus ini selama dua minggu lebih, namun kemudian setelah kau mendengar rumor bahwa ditemukannya kartu sasana olahraga dan kartu pelajar dari gadis itu di sebuah sungai, pada saat itulah kau mulai menyusun cerita karanganmu. Hiro Akada, kau memutuskan untuk menghancurkan Furuya Satoru, karena kau benci mengetahui bahwa gadis yang kau sukai itu lebih menyukai pemuda kulit hitam dibandingkan dirimu. Kau kemudian menelepon Bonjamin dengan petunjuk tanpa nama dan menciptakan sensasi baru melalui cerita karanganmu itu. Itu permainan yang sangat serasi. Mereka memaksa Furuya Satoru membuat pengakuan, dan hanya memakan waktu sealama lima belas jam, dan bingo! Momen itu menjadi menjadi berita halaman pertama di surat kabar. Judulnya ‘Furuya Satoru Mengaku.’ Setelah itu memorimu menciptakan sebuah mukjizat. Kau seolah-olah mendadak ingat kalau kau melihat sebuah mobil van hijau. Itu mirip sekali dengan milik keluarga Furuya Satoru, berkeliaran pada malam hari di seputar mal. Oh, ya, omong-omong kapan persisnya itu, Hiro? Tiga minggu setelah kejadian saat kau mengatakan pada Polisi terkait mobil van itu?”
“Aku melihat sebuah mobil van hijau, Detektif.”
“Apa mereknya Ford, Hiro, atau kau hanya memutuskan kalau mereknya Ford karena itulah mobil yang dimiliki keluarga Furuya? Apa kau memang sungguh-sungguh melihat seorang pemuda kulit hitam mengendarai sebuah mobil van hijau dengan merek Ford di seputar mal pada suatu malam atau kau hanya mengimajinasikan itu saja pada Polisi?”
Seolah-olah berupaya untuk menghindari memberi tanggapan, Hiro menjejalkan setengah potong lagi Confit de Canard ke dalam mulutnya kemudian mengunyahnya perlahan sembari melirik pengunjung restoran lainnya, kali ini dia tidak mampu membalas tatapan mata lawan bicaranya. Himura melahap sesuap salad-nya, kemudian berusaha mendesak lagi. Dia harus segera, jatah waktu tiga puluh menitnya akan habis sebentar lagi.”
“Begini, Hiro…” Intonasinya kali ini jauh lebih halus. “Kita bisa memperdebatkan kasus ini selama berjam-jam. Tapi bukan itu tujuanku. Aku ke sini jelas untuk membicarakan Furuya Satotu. Kalian berdua dulu berteman dekat, kalian tumbuh bersama-sama, kalian menjadi satu tim selama berapa lama.., lima tahun, ya? Kalian juga menghabiskan waktu bersama-sama yang sangat lama di lapangan futbol. Lelah dan berjuang bersama. Kalian pernah merasakan kemenangan bersama-sama, kalian juga saling menopang satu sama lain saat mengalami kekalahan. Astaga, kau menjadi wakil kapten di kelas terakhir SMA. Coba kau pikirkan tentang keluarganya, ibunya, kakak-kakaknya dan adiknya. Coba pikirkan kota Kanto, Hiro. Betapa buruk reputasi kota itu nanti bila terjadi salah satu warganya yang pernah membawa nama harum SMA Kanto harus dieksekusi mati? Kau harus membantu, Hiro. Furuya Satoru tidak membunuh siapa pun. Aku tahu bahwa dia sejak awal dia sudah dijebak.”
“Aku tidak menyangka kalau aku punya peran sebesar ini.”
“Oh, tapi ini kemungkinannya sangat kecil. Pengadilan-pengadilan banding tidak begitu terkesima dengan para saksi mata yang tiba-tiba mengubah kesaksiannya setelah persidangan lewat bertahun-tahun dan eksekusi tinggal dalam hitungan hari. Kalau kau memberikan afidavit pada kami, kami akan mengajukan itu ke pengadilan dan memberikan suara sekencang mungkin. Kami tahu bahwa kesempatan kami nyaris mustahil, tetapi demi membela orang yang benar dalam kasus ini, kami tetap harus mencobanya. Pada keadaan semacam ini, kami harus mencoba segala hal. Dari yang kemungkinan implikasinya kecil sekali pun.”
Hiro Akada mengaduk minumannya dengan sedotan. Memutar-mutar. Lalu menyeruput sedikit. Dia membasuh mulutnya dengan selembar tisu, kemudian berkata, “Kau tahu, ini bukan pertama kalinya aku dihadapkan pada persoalan beginian. Mr. Eijun meneleponku bertahun-tahun silam, memintaku untuk datang ke kantornya. Lama setelah persidangan usai. Ketika itu kupikir kalau dia sedang berencana untuk mengajukan banding. Dia juga memohon padaku untuk mengubah kesaksianku dan memintaku mengatakan sesuatu yang sesuai dengan pendapatnya. Aku menyuruhnya ngacir.”
“Aku mengerti. Aku sudah lama menghadapi kasus ini.”
Setelah menghabiskan setengah dari Confit de Canard-nya itu, Hiro mendadak kehilangan selera makannya. Dia menggeser piring di hadapannya dan mendekatkan minumannya. Dia mengaduk-aduk perlahan dan memperhatikan es batu berputar dalam cairan yang berselimut serbuk-serbuk kecil di dalamnya.”
“Situasinya begitu berbeda sekarang.” Himura menasehati dengan lembut, masih tetap genting. “Sudah di penghujung kuartal keempat, pertandingan itu sudah hampir selesai baginya.”
***
Bolpoin berwarna merah marun yang terjepit di dalam saku kemeja Himura itu sebenarnya adalah mikrofon. Terlihat sangat jelas dan di sebelahnya ada pena sungguhan kalau suatu saat dia benar-benar membutuhkannya untuk menulis. Seutas kabel tipis yang sengaja disisipkan dari saku kemeja Himura ke sebelah kiri saku depan celana panjangnya, tempat di mana dia menyimpang telepon genggamnya.
Perkiraan sekitar tiga sampai empat kilometer jauhnya, Eijun sedang mendengarkan pembicaraan antara mereka berdua. Dia tengah berada di dalam ruang kerjanya dengan pintu tertutup rapat. Dengan pesawat telepon berpengeras suara yang juga mampu merekam semuanya.
“Kau pernah melihatnya bermain futbol?” tanya Hiro. Sejurus kemudian menyilangkan paha kirinya ke atas paha kanannya.
“Tidak pernah.” Suara mereka terdengar jelas.
“Aku mengakui kalau dia benar-benar hebat. Dia gesit dan tidak kenal takut, dia bisa merobohkan pertahanan lawan sendirian. Kami memenangkan sebelas pertandingan saat kami duduk di kelas sepuluh dan sebelas. Tapi kami tidak pernah mengalahkan Inashiro.”
“Kenapa sekolah-sekolah bergengsi tidak merekrutnya? Dia mungkin bisa jadi aset berharga dalam futbol sekolah, apabila sekalipun secara akademik tidak terlalu bagus.”
Dari seberang, Eijun seolah-olah menyuruhnya supaya terus mengajak Hiro bicara.
“Masalah ukuran tubuhnya. Dia berhenti tumbuh mulai di kelas sepuluh, dan dia tidak pernah berhasil lagi menaikkan berat tubuhnya menjadi di atas seratus sepuluh kilo. Itu tidak cukup besar bagi Longhorns.”
“Mustinya kau melihatnya sekarang,” sanggah Himura dengan cekatan.
“Berat tubuhnya hanya sekitar tujuh puluh lima kilo, terlihat kurus kerempeng, dia mencukur habis rambut di kepalanya, habis tak tersisa, dan dia harus dikurung di dalam sel selama dua puluh tiga jam sehari. Kau bayangkan. Sepertinya dia mulai kehilangan jati dirinya. Atau mulai terlihat tidak waras.”
“Dia pernah menulis dua surat buatku, kau pernah tahu itu?”
“Tidak sama sekali.”
Eijun mencondongkan badannya mendekati telepon berpengeras suaranya. Dia juga belum pernah mendengar tentang surat itu.
“Tidak lama usai dia dipenjara, saat itu aku masih menetap di Kanto, dia menulis surat padaku. Dua surat, atau mungkim tiga. Aku sedikit lupa. Isi surat itu panjang sekali. Dia mengatakan dalam surat itu kalau dia dijatuhi hukuman mati dan betapa mengerikan keadaan di dalam penjara: jenis makanan, keramaian, suhu udara yang relatif gersang, bagaimana dia dikucilkan, dan seterusnya. Merasakan tekanan itu, dia bersumpah untuk tidak menyentuh Bella, tidak akan pernah lagi berhubungan dengannya. Dia bersumpah untuk tidak mendekati mal ketika Bella menghilang. Dia memohon padaku untuk mengatakan hal yang sebenarnya, sama seperti yang kau dan tim kalian lakukan, termasuk pengacara sialan itu. Dia memohon padaku untuk membantunya memenangkan persidangan bandingnya dan membawanya keluar dari penjara yang kerap dia sebut-sebut sebagai neraka itu. Dan aku tidak pernah membalas surat-surat itu.”
“Kau masih menyimpan surat-surat itu?”
Hiro menggeleng. “Tidak. Aku terlalu sering pindah.”
***
Pramusaji kembali muncul dari balik pintu kemudian membersihkan meja. “Mau margarita lagi?” tanyanya, tapi Hiro mengibaskan tangannya, tanda tak mau.
Himura mencondongkan bahunya dengan menopangkan siku di meja, sampai wajah mereka berdua hanya berjarak kisaran enam puluh senti. Dia memutar matanya, memastikan kembali kemudian berkata, “Kau tahu, Hiro, aku sudah menangani kasus ini selama bertahun-tahun. Aku sudah merelakan ribuan jam, bukan semata-mata untuk bekerja, tapi juga berpikir, berusaha membayangkan apa yang terjadi. Terus-menerus. Teoriku sekarang begini, kau tergila-gila pada gadis itu, lalu kenapa tidak? Dia sangat cantik, semua orang tahu itu, dia populer, jenis wanita yang ingin kau masukkan ke dalam saku celanamu dan membawanya pulang ke rumahmu untuk selamanya. Sayangnya, dia mematahkan hatimu, dan tidak ada hal lain lagi yang menyakitkan daripada itu bagi seorang remaja berusia tujuh belas tahun. Kau sakit hati, kau merasa hancur. Tidak lama sebelum sepenuhnya hatimu sembuh, Bella menghilang. Seluruh kota menderu kaget, dan kau pun merasa terpukul. Melalui kepopuleran namanya, semua orang menjadi ingin membantu untuk menemukannya. Bagaimana mungkin gadis itu bisa secara tiba-tiba menghilang? Siapa yang pantas dicurigai sebagai penculiknya? Siapa yang tega melukainya? Padahal menurut berita yang juga diketahui oleh semua orang kalau Bella tidak pernah punya riwayat masalah dengan siapapun. Mungkinkah kau percaya bahwa Furuya terlibat dalam hal ini? Kau cenderung mengesampingkan itu karena sekujur tubuhmu masih dibalut oleh emosi. Dan dalam keadaan seperti itu, kau memutuskan untuk melibatkan diri. Kau mengambil kesempatan dalam kesempitan. Kau menelepon Detektif Bonjamin yang juga kepayahan menyelesaikan kasus ini karena bukti-bukti yang dihasilkan cukup minim. Kau memberikannya petunjuk yang dianggap cukup masuk akal baginya. Dan mulai dari situlah kondisi mulai menambah kacau dan dramatis. Ketika itu, penyelidikan yang dilakukan oleh Polisi mulai berubah ke arah yang salah dan tidak seorang pun yang mampu menghentikan itu. Saat kau mendengar kalau ada berita di mana Furuya mengaku, kau berpikir telah melakukan hal yang benar. Padahal semuanya adalah akal-akalanmu saja. Kau menganggap telah menangkap pelaku yang benar. Setelah itu kau memutuskan kalau kau hendak menyumbangkan sedikit aksi. Yaitu kau mulai mengarang lagi cerita bahwa kau pernah melihat mobil van hijau di seputaran mal. Tiba-tiba kau menjadi saksi mata utama. Dengan minimnya keterangan, mendadak kau menjadi pahlawan bagi semua orang yang mengagumi seorang Bella Stefa yang menginginkan pelaku pembunuhannya segera ditangkap. Kemudian kau maju di persidangan. Percaya diri mengangkat tangan, dan mengatakan keterangan palsu. Kau terlibat dalam kasus ini, membantu gadis tercintamu itu. Furuya digiring pergi dengan rantai yang membelit, langsung divonis hukuman mati. Mungkin kau apatis dengan itu, berpikir suatu saat dia akan dieksekusi. Dan kau tidak mengerti karena saat itu kau masih remaja, masih dibalut dengan emosi. Sekarang mustinya kau menyadari betapa krusial permasalahan yang terjadi sekarang.”
“Detektif. Dia mengaku. Tidak ada paksaan.”
“Ya, memang benar. Dan pengakuannya itu sama bisa dipercayanya seperti kesaksianmu. Untuk berbagai alasan, beberapa orang terlibat memanipulasi kasus ini dengan mengatakan sesuatu yang tidak benar. Bukankah begitu, Hiro?”
Ada jeda kesunyian yang lumayan panjang ketika mereka berdua harus menimbang-nimbang tentang apa yang harus dikatakan selanjutnya. Di Kanto, Eijun menunggu dengan sabar, meskipun sebenarnya dia tidak pernah dikenal karena kesabarannya atau saat-saat di mana dia harus tenang.
Setelah dirasa tidak punya alibi lain, Hiro bertanya hal lain, “Afidavit ini, apa saja isinya?”
“Keteranganmu yang sesungguhnya. Kau menyatakan, resmi di bawah sumpah, kalau kesaksianmu di persidangan dulu tidak akurat sama sekali. Kantor kami akan menyiapkan surat pernyataannya. Kami bisa menyelesaikannya dalam waktu kurang dari satu jam.”
“Sebentar. Jangan tergesa-gesa. Jadi.., pada dasarnya aku diminta untuk membuat pengakuan bahwa selama ini aku telah berdusta dalam persidangan?”
“Kami bisa menyamarkan tata bahasa yang dipakai, tapi begitulah intinya.”
“Lalu afidavit itu akan diajukan dalam persidangan, dan nantinya akan dimuat di setiap surat kabar?”
“Pastinya. Media masa mengikuti kasus ini dari awal. Setiap mosi dan banding di detik-detik terakhir akan dilaporkan.”
“Jadi, ibuku akan dipastikan membaca berita itu di surat kabar kalau aku berdusta dalam persidangan. Aku akan mengakui kalau aku adalah pembohong. Benar begitu, Detektif?”
“Tentu saja. Tapi, apa yang lebih penting di sini, Hiro? Reputasi pribadimu atau nyawa orang yang tidak bersalah?”
“Tetapi kau bilang di awal kalau kemungkinannya akan sangat kecil, kan? Jadi, tidak bisa menjamin meskipun aku telah mengaku lantas eksekusinya dibatalkan. Siapa yang akan menang kalau begitu?”
“Yang jelas bukan Furuya Satoru.”
“Perkiraanku juga begitu… Eh, aku harus segera kembali ke toko.”
“Come on, Hiro.”
“Terima kasih untuk makan siangnya. Senang bertemu denganmu.” Tidak berselang lama, dia menghilang dari balik meja.
Himura menghela napas berat dan menatap meja di depannya dengan tatapan kosong, tidak percaya. Dia semestinya sudah mendapat kesempatan sedikit. Dia kemudian mengeluarkan telepon genggamnya dan dengan perlahan mulai berbicara dengan bosnya, “Kau mendengar semuanya?”
“Ya, per kata, dengan jelas.”
“Ada yang bisa kita pakai untuk langkah selanjutnya, Eijun?”
“Untuk sementara tidak. Sebetulnya percuma saja.”
“Menurutku juga demikain. Maaf, Eijun. Kupikir dia tadi akan bersedia mengakui.”
“Kau sudah berusaha melakukan apa yang kau bisa, Himura. Usaha yang bagus. Dia menyimpan kartu namamu, kan?”
“Ya.”
“Telepon dia lagi sepulang kerja, hanya sekadar menyapa dan mengingatkan dirinya kalau kau berkenan mendengarkan kapan saja dia mau bicara.”
“Aku bakal berusaha menemuinya. Untuk minum-minum. Sepertinya itu adalah hobinya. Mungkin saja aku bisa membuatnya teler dan ada mukjizat dia mengatakan sesuatu.”
“Dan pastikan itu terekam.”
“Ya!”