“Ivan! Kau dengar aku?” kata Kiki memberitahu lewat interkom. Ivan melirik jam tangannya kemudian menggeleng. Suara yang sama sekali tidak ingin dia dengar adalah suara yang berasal dari pemilik auditor gereja.
“Apakah ada kertas di printer?”
“Aku tak tahu,” jawab Kiki. “Sebentar, aku periksa dulu.”
Kiki enggan menekan saluran dua dengan risiko memulai diskusi membosankan, meskipun tidak terlalu panjang tentang keuangan gereja sampai 31 Oktober. Seraya mendengarkan ocehan tentang angka-angka itu, dia menekan tombol-tombol papan ketiknya. Dia mencetak seluruh berkas yang memuat tentang rentetan peristiwa hukum dari Furuya Satoru; ringkasan hukuman mati yang dijalankan di Pengadilan Kanto, dan kisah pengalaman Furuya selama menjalani hukuman di penjara. Ketika diberitahu kalau printer-nya kehabisan kertas, dia secara sadar meluncur ke Galeri Foto Furuya Satoru sekaligus melihat lamat-lamat foto masa kecil Furuya Satoru bersama orangtua, dua kakak laki-laki, serta satu adik perempuannya. Furuya kecil yang tengah mengenakan style jubah yang biasa dipakai ketika paduan suara di gereja; pelbagai pose foto Furuya ketika menjadi linebacker; sebuah foto polisi; sampul berita surat kabar harian; foro Furuya yang dikawal memasuki gedung pengadilan dengan kedua tangan yang terborgol; beberapa foto proses persidangan; beberapa arsip foto kegiatan tahunan di penjara; mulai tahun 2002 dengan dirinya yang melihat kamera sambil melotot sombong dengan wajah tirus seorang laki-laki menginjak usia dua puluh tujuh tahun.
Ketika auditor itu selesai berceramah tentang kondisi keuangan gereja, Ivan berjalan menuju luar ruangan dan mendapati istrinya yang sedang memilah-milah kertas hasil cetakannya, seraya membaca sepintas. “Apa kau membaca ini?”tanyanya, sambil melambaikan setumpuk kertas.
“Membaca apa? Ada ratusan halaman. Huft...”
“Dengar,” kata Kiki, lalu dia mulai membaca isi kertas itu; “Mayat seorang gadis yang bernama Bella belum pernah ditemukan, dan untuk sementara ini sangat mungkin menggagalkan pendakwaan di beberapa yurisdiksi, sementara hal itu tidak mampu menghambat proses di persidangan Kanto. Sebenarnya, Kanto adalah salah satu prefektur Jepang yang mempunyai peraturan hukum yang maju dan mengizinkan pendakwaan yang berhubungan dengan kasus-kasus pembunuhan tetap dilaksanakan di mana bukti-bukti belum memadai. Sekaligus, dalam hal eksekusi, mayat korban tidak selalu diperlukan.”
“Belun. Aku belum sampai sejauh itu.”
“Kau percaya?”
“Aku belum yakin apa yang harus aku percaya.”
Telepon berdering. Dengan sedikit reaksi terkejut, Kiki menyambar telepon itu dan dengan ringkas memberitahu pada penelepon kalau Pendeta tidak bisa dihubungi.” Setelah mematikan teleponnya, dia melanjutkan, “Baiklah kalau begitu, lalu apa rencana kita, Pendeta?”
“Belum ada rencana. Langkah selanjutnya ialah aku musti berbicara lagi dengan Harry Kazuya. Rasa-rasa curiga bahwa semestinya dia tahu di mana letak mayat gadis itu, kemudian aku akan mendesaknya mengakui pembunuhan itu.”
“Bila seandainya dia mengaku, lalu apa?”
“Aku belum tahu.”
“Belum artinya akan,” gumam Kiki.
***
Beberapa orang dari kepolisian membuntuti Hiro Akada selama tiga hari sebelum dirinya ditemukan sedang menghubungi seseorang. Hiro tidak bersembunyi, dan tidak sulit ditemukan. Saat ini dia bekerja sebagai asisten manajer di gudang besar pusat penjualan onderdil mobil di pinggiran kota Saitama, yang merupakan pekerjaan ketiganya selama empat tahun terakhir. Hiro sebelumnya sudah pernah menikah dan kemudian bercerai. Kemungkinan dia akan mengurus yang kedua. Dia sudah tidak tinggal satu atap dengan istrinya yang sekarang, dan dia sudah mundur ke sudut-sudut netral, sementara pengacaranya menunggu. Tidak banyak yang mereka berdua ributkan, paling tidak, bukan persoalan harta. Namun dari pernikahan keduanya itu, dia memiliki anak laki-laki yang menderita autis, sementara tak seorang pun dari keduanya yang berniat untuk memperoleh hak asuh. Alhasil mereka punya alasan untuk tetap ribut.
Berkas Hiro sama usangnya seperti kasus itu sendiri, si penyelidik kasus itu sampai hapal isinya. Lulus SMA, pemuda ini bermain futbol selama satu tahun di universitas tingkat junior, setelah itu mengundurkan diri. Dia wara-wiri di sekitar Kanto selama beberapa tahun, gonta-ganti pekerjaan dan menghabiskan sepanjang harinya di sasana olahraga, tempat di mana dia melahap steroid dan mengubah fisiknya menjadi seperti spesimen raksasa. Dia sering sesumbar dengan pekerjaan barunya sebagai pembentuk tubuh profesional, tapi karena bosan, dia berhenti dari pekerjaan itu. Dia kemudian menikahi seorang gadis lokal, menceraikannya, lantas pindah ke Kyoto, dan akhirnya bergeser ke Tokyo. Berdasarkan buku tahunan sekolahnya dulu, angkatan 2002, dia berencana memiliki sebuah peternakan sapi sebagai alternatif apabila kariernya tidak sukses di NFL.
Sementara kariernya di NFL tidak berhasil, pun peternakan sapi yang dia harapkan tidak terealisasi, sekarang Hiro menggeluti papan penjepit dengan dahinya yang semakin mengerut. Dia sedang memandangi kipas air mobil ketika gerombolan penyelidik itu mendatanginya. Saat itu hampir tengah hari, sangat terik, dan toko onderdil itu boleh dibilang sepi sekali.
“Kau Hiro Akada?” tanya si penyelidik dengan senyuman khas intimidatif, pas dengan kumisnya yang tebal.
Hiro menunduk dan melihat lencana plastik di saku kemeja yang memuat namanya. “Benar. Dan sebelum kau ke sini, sepertinya kau sedikit banyak sudah tahu tentangku.” Dia berusaha membalas senyuman si penyelidik itu. Bagaimanapun, tokonya melayani penjualan eceran. Dan seperti budaya perdagangan, di mana pelanggan harus dipuja. Tapi, Hiro merasa bahwa laki-laki itu gelagatnya tidak seperti pelanggan.
“Namaku Kento Himura.” Salah seorang penyelidik mengenalkan diri. Sepertinya dia pemimpin di antara para penyelidik itu. “Aku detefktif swasta.” Tangan kanannya terjulur cepat, persis seperti hantaman petinju yang ditujukan ke daerah lambung. “Senang bertemu denganmu.”
“Iya,” balas Hiro singkat seraya menyambar uluran tangan itu.
Mr. Himura berusia sekitar lima puluhan. Dengan spesifikasi; d**a bidang, diusung dengan wajah bulat tangguh yang dibalut rambut kelabu di bagian atasnya, tampak membutuhkan ketelatenan setiap pagi. Dia menggunakan style blazer navy model standar, celana poliester hitam yang meregang kuat di bagian pinggang, tentu saja dengan sepatu bot dengan sudut runcing di bagian ujungnya yang masih mengilap.
“Kau detektif macam apa?”
“Aku bukan polisi, Hiro. Aku detektif swasta. Aku mendapat tugas dari pemerintahan Kanto.”
“Kau punya pistol?”
Himura menyibak blazernya. Pistol itu sudah mentereng di bawah ketiak kirinya. “Kau ingin melihat legalitas senjata apiku?”
“Tidak perlu. Kau bekerja untuk siapa?”
“Tim pembela kasus Furuya Satoru.”
Pundak Hiro meregang, merosot sedikit, bola matanya berotasi dan tekanan udara keluar dari lubang hidungnya menandakan frustasi; dia seolah-olah hendak berkata, “Itu lagi, itu lagi.” Tapi detektif itu sudah mengestimasikan hal demikian, reaksi cepat sudah dia persiapkan. “Aku akan mentraktirmu makan siang, Hiro Akada. Kita sepertinya tidak bisa mengobrol di sini. Ada restoran Perancis di tikungan. Kau bisa temui aku di sana. Aku perlu waktu setengah jam saja. Hanya itu permintaanku. Kau mendapatkan makan siangmu, sementara aku mendapat pertemuan. Selepas itu kau tidak akan bertemu lagi denganku dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama.”
Menu utama makan siang adalah Confit de Canard. Dokter memberitahunya supaya menurunkan berat badannya, tapi dia sangat suka masakan Perancis yang berlemak dan digoreng kering.
“Apa maumu?” tanyanya setelah menghabiskan seperempat makanannya.
Himura melirik ruangan, memastikan tidak ada orang lain yang mendengarkan. “Tiga puluh menit saja. Begini, Hiro Akada, aku bukan polisi…”
“Kau sudah mengatakan itu tadi.”
“Aku tidak punya otoritas, tidak punya surat izin penggeledahan, tidak punya hak menanyakan apapun. Tapi aku tahu bahwa kau lebih mengerti tentang kasus ini daripada kau.”
Himura selanjutnya akan melapor pada Eijun bahwa persis dugaannya kalau Hiro Akada terlihat gugup. Dia berhenti tersenyum, matanya terpejam, sama seperti seseorang yang putus asa dan merasa bahwa dia sudah dipastikan kalah. Terlihat dari ekspresinya kalau dia tahu pada akhirnya hari ini akan tiba. Melalui ekspresi wajah, Himura seolah-olah yakin bahwa dirinya akan mendapatkan peluang dari keterangan sosok yang tengah ada di depannya.
Hiro melahap makanannya lalu melirik jam tangannya dan berkata, “Aku akan ke sana lima belas menit lagi. Pesankan aku margarita racikan mereka sendiri.”
“Oke.” Himura berpikir kalau minum alkohol pada siang hari akan potensial menimbulkan masalah, setidaknya bagi Hiro. Namun kalau dipikir-pikir lagi, mungkin alkohol akan sedikit membantu.
Margarita racikan kedai itu dihadirkan dalam kendi transparan berbentuk seperti mangkuk, dan isinya lebih dari cukup untuk menghilangkan dahaga beberapa orang. Sementara waktu semakin berlalu, margarita itu mulai kondensasi di permukaan gelas, es batu di dalamnya mulai mencair. Himura menyeruput teh dengan lemon. Sejurus kemudian dia mengirim pesan kepada Eijun: “Aku masih menemui HA. Kami sedang makan siang sekarang. Sampai jumpa nanti.”
Hiro datang tepat waktu. Dia mendekatkan mangkuk gelas itu, mengambil sedotan, dan menyedot dalam jumlah besar minuman beralkohol itu. Himura berbasa-basi seadanya sambil menunggu pramusaji itu selesai menulis pesanan mereka. Kemudian badan detektif itu condong dan berterus terang.
“Eksekusi hukuman matinya akan dilakukan Kamis ini. Apa kau tahu?”
Hiro mengangguk. “Aku membacanya di surat kabar. Aku membicarakannya dengan ibuku, kabarnya seluruh kota mendengung.”
Ibu Hiro Akada masih menetap di Kanto. Ayahnya bekerja di Tokyo, mungkin keduanya sudah berpisah. Kakak laki-lakinya menetap di Kanto, sementara adik perempuannya pindah ke Kyoto.
“Hiro, kami sedang berusaha menghentikan eksekusi itu. Dan kami butuh bantuanmu.”
“Siapa yang kau maksud dengan kami?”
“Aku sedang bekerja untuk Robert Eijun.”
Hiro tersedak. “Orang sinting itu masih saja terlibat?”
“Tentu. Dia akan selalu terlibat. Sejak hari pertama Furuya terlibat dalam kasus ini, wakilnya adalah Eijun. Sementara aku yakin kalau dia akan tiba di Saitama untuk menyaksikan babak terakhir dari kasus ini. Sekaligus kasus ini adalah momentum terakhirnya menjadi penasihat hukum. Kecuali kalau kita bisa menghentikan eksekusi itu.”
“Aku membaca surat kabar tentang rentetan jalannya persidangan itu. Sangat mustahil untuk bisa mengajukan banding. Tidak ada hal yang bisa dilakukan.”
“Itu mungkin benar. Tapi, kita tetap tidak boleh menyerah. Nyawa seseorang sedang dipertaruhkan di sini, bagaimana mungkin kita menyerah begitu saja?”
Hiro menenggak seluruh isi minumannya. Himura berharap kalau dia merupakan peminum pasif yang menenggak habis kemudian lemas di pojokan. Bukan mereka yang setelah minum lantas membuat kegaduhan seluruh isi bar.
“Agaknya kau yakin kalau dia tidak bersalah, ya?”
“Benar. Sejak awal aku sudah yakin.”
“Berdasarkan apa?”