Di lantai tiga Rumah Sakit Kanto, Kana Hamabe sedang melewati masa-masa pemulihan setelah usai menjalani operasi kandung kemih dan kondisinya mulai membaik. Ivan membersamai selama dua puluh menit dengannya, menghabiskan dua butir cokelat murahan dan basi yang dikirimkan salah seorang keponakan Kana Hamabe. Di lantai empat, dia merapatkan diri bersama istri Ryota Kise yang besar kemungkinan sebentar lagi akan menjanda, anggota setia jemaat Gereja Bethany di mana jantung rapuhnya terpaksa menyerah. Masih ada sekitar tiga pasien lagi yang akan dijenguk Ivan, tapi kondisi ketiganya stabil, bisa dipastikan mereka tetap bisa melihat hari esok. Di lantai dua, dia melacak Dokter Shigeaki yang terlihat sedang memaksakan waktu istirahat kecilnya di kafetaria kecil dengan melahap sepotong roti lapis dingin dari mesin dengan tumpukan kertas di atas meja yang menunjukkan catatan pasien di Rumah Sakit Kanto.
“Kau sudah makan siang?” tanya Dokter Shigeaki dengan ramah usai mempersilakan pendetanya duduk. Ivan duduk dengan memandangi roti lapis tipis itu, roti putih dengan selapis tipis daging kalengan yang tersembunyi di tengah-tengahnya. “Terima kasih, aku sudah sarapan sebelum ke sini.”
“Baiklah kalau begitu, kita bisa memulai pembicaraannya sedikit demi sedikit. Begini, Pendeta, aku berhasil mencari tahu, meskipun tidak banyak sejauh yang bisa aku lakukan. Kau bisa memakluminya, kan?”
“Tentu, dan aku juga berharap kau tidak melangkah lebih jauh lagi dengan tidak menggali hal-hal yang bersifat personal.”
“Aku tahu, aku tidak pernah sampai sejauh itu. Aku juga sudah bertanya ke beberapa pihak, ada banyak cara untuk mendapatkan sejumlah fakta. Orang yang kau cari itu memang terakhir pernah ke sini dua kali satu bulan yang lalu, banyak rangkaian tes, dan mengenai toksoplasmosisnya itu memang benar. Bukan diagnosis bagus.”
“Terima kasih, Dokter.” Ivan sempat tercenung sedikit. Dia sedikit heran ketika mengetahui bahwa Harry Kazuya mengatakan hal yang sebenarnya. Minimal tentang penyakitnya.
“Hanya informasi itu yang bisa aku berikan, Pendeta.” Dokter Shigeaki berhasil makan, membaca, dan mengobrol pada waktu yang bersamaan.
“Tidak masalah. Aku yang justru berterima kasih.”
“Memang kejahatan apa yang telah dia lakukan sehingga kau sampai ikut melibatkan diri?”
Kau terlihat tidak sungguh-sungguh ingin tahu, batin Ivan. “Sesuatu yang buruk. Dia penjahat kambuhan. Riwayat kriminalnya panjang.”
“Kenapa dia malah datang ke Gereja Bethany?”
“Semestinya kau tahu, Dokter. Kami terbuka untuk semua orang. Kami sewajarnya menerima semua anak Tuhan, tidak peduli bagaimana latar belakang dan siapa dia, atau mempunyai catatan kriminal pun tidak.”
“Iya, aku kira begitu. Lalu, apa dia berbahaya?”
“Tidak, Dia tidak terlihat berbahaya.” Ivan menutup obrolan dengan ucapan terima kasih sekali lagi dan mengundurkan diri.
“Sampai ketemu di hari Minggu,” kata dokter itu, lantas memutar matanya pada sebuah tumpukan laporan medis.
***
Rumah Singgah Kanto adalah bangunan berbentuk persegi, dengan lapisan dinding bata merah dan jendela-jendela yang nyaris semua dicat, tipe bangunan yang serba guna, bisa dipakai buat apa saja, kemungkinan begitu, karena dibangun dengan terburu-buru sempat puluh tahun sebelumnya. Siapa saja yang terlibat dalam pembangunan rumah singgah itu, pasti dalam kondisi kepepet, sampai tidak mampu memperkirakan untungnya menggunakan jasa-jasa arsitek. Hari Senin, pukul tujuh malam, Ivan menyongsong dari trotoar dan melangkah masuk di depan meja resepsionis, tempat seorang bekas tahanan sedang mengawasi keadaan. “Iya, Sir?” katanya tanpa nada permulaan yang hangat.
“Aku mau menemui Harry Kazuya. Apa dia ada?” tanya Ivan.
Monitor itu menghadap ke sebelah kanannya, di sebuah ruangan ruangan yang cukup luas dan terbuka, di mana kurang lebih selusin laki-laki ada di sana tengah duduk dalam pelbagai tahapan relaksasi dan menonton pesawat televisi yang sangat kencang suaranya. Kala itu tayangannya adalah Wheel of Fortune. Kemudian dia memandang ke arah yang berlawanan, pada sebuah ruangan yang cukup luas dan hening dengan selusin laki-laki yang entah sedang membaca beberapa n****+ kusam, bermain dam-daman, ada yang spaneng main catur. Sementara Harry sedang duduk sendirian di kursi goyang yang terbuat dari rotan, di salah satu sudut yang tampak tersembunyi sebagian di balik surat kabar.
“Di sebelah sana,” tunjuk laki-laki di meja resepsionis. “Tanda tangani di sebelah sini,” tambahnya.
Ivan menyodorkan kembali kertas yang sudah mewakili jejak kehadirannya itu lantas berjalan ke sudut ruangan. Saat Harry melihatnya mendekat, dia menyambar tongkatnya dan berdiri. “Aku tidak menduga kau berinisiatif ke sini,” ujarnya, ekspresinya jelas-jelas serupa dengan kata-kata sambutannya.
“Kebetulan aku sedang berada di dekat-dekat sini, aku mampir. Kau punya waktu sebentar untuk mengobrol?”
Orang lain mudah untuk mengabaikan pertemuan antara Ivan dan Harry. Para pemain dam-daman dan catur justru masih tetap lanjut bermain tanpa terusik.
“Tentu saja.” Sambil memandang sekeliling, “kita ke bangsal saja.” Ivan mengekor dan memperhatikan kaki kiri Harry yang berhenti sedetik dengan setiap langkah, penyebab seretan itu. Tongkatnya memukul lantai, sementara mereka terus merambat maju.
Betapa menderitanya, pikir Ivan, untuk menjalani hidup setiap detik dengan toksoplasmosis di mana semakin lama semakin besar tengkorakmu yang kelihatannya akan seperti hendak retak dan meledak. Walaupun Harry seorang kriminal, Ivan tetap tidak mampu menahan diri untuk merasa kasihan. Bagaimana pun, dia itu seorang laki-laki sekarat; tidak punya keluarga, teman, atau mimpi yang mampu mendongkrak semangatnya menjalani hidup.
Bangsal yang dimaksudkannya itu merupakan ruangan kecil dengan empat meja lipat panjang dan agak lebar di setiap sisinya mengarah ke dapur. Para petugas bersih-bersih sedang membuat kegaduhan di belakang sana, membanting panci dan wajan disusul dengan tertawa terengah-engah. Musik rap keluar dari radio. Sungguh penyamaran yang sempurna dalam rangka pembicaraan yang rahasia.
“Kita bisa bicara di sini saja.” Remah-remah makanan berceceran tak keruan. Bau menyengat minyak goreng merebak di udara. Mereka duduk berhadap-hadapan. Ada beragam alasan dari Ivan agar mengajaknya berbicara di sudut lain, tapi dia ingat kalau dia tidak boleh membuang-buang waktu.
“Kau mau kopi?” tawarnya ramah.
“Tidak. Terima kasih.”
“Pintar. Daerah ini punya kopi terburuk. Lebih buruk daripada penjara.”
“Harry… Selepas kau pergi tadi pagi, aku mencoba mencari di internet dan menemukan sebuah situs untuk Furuya Satoru. Aku menghabiskan sisa waktu pagiku hanya untuk menyimak dunia anonim itu. Mempesona dan memilukan. Ada keraguan yang sangat serius tentang kesalahannya.”
“Benarkah?” sahutnya dengan tertawa. “Jelas-jelas ada keraguan, Pendeta. Karena anak itu memang tidak ada hubungannya sama sekali dengan apa yang menimpa gadis itu.”
“Bella Stefa? Apa yang menimpanya?”
Sebuah ekspresi terkejut, layaknya antilop yang dari kejauhan tersorot oleh sekelompok singa. Sunyi. Harry membungkam kepalanya dengan bantuan kedua tangannya, sedikit memijat-mijat. Pundaknya mulai tidak bisa diam, berguncang. Cedutan mulai merambat, datang dan pergi, lalu datang kembali. Ivan tidak bisa lepas perhatian dan dia mulai hampir bisa turut merasakan penderitaan itu. Sementara musik rap terus berdentum tak acuh dari dapur.
Ivan mencoba pelan-pelan merogoh saku mantelnya dan mengeluarkan sebuah kertas yang sengaja dilipat. Dia membuka lipatannya dan menyodorkan ke meja. “Kau kenal gadis ini?” Itu adalah salinan foto hitam-putih yang dicetak dari sebuah situs internet Bella Stefa, serasi dengan balutan kostum pemandu soraknya dan tersenyum lugu layaknya seorang gadis remaja.
Awalnya, Harry tidak memberikan reaksi apa pun. Dia hanya memandangi foto itu lamat-lamat seolah-olah tidak pernah bertemu sebelumnya. Lama sekali, dan dengan sangat mengejutkan air matanya mulai menetes. Tidak ada sesenggukan, napasnya normal, tak ada sedu sedan, tidak ada kalimat spontan berupa minta maaf, hanya air mata yang membanjiri kedua sisi pipinya. Dia tetap memandangi foto itu. Tidak berusaha menyapu air matanya. Lalu memandangi Ivan, dan kedua laki-laki itu saling menatap, sementara Harry masih bercucuran air mata. Foto itu mulai agak sayu, setengahnya basah.
Harry mendumel, membersihkan kerongkongan, kemudian disusul satu kalimat, “Aku benar-benar ingin mati.”