Tiga Puluh Empat

1519 Kata
KELUARGA Satoru menghabiskan malam itu di sebuah motel murah di pinggiran kota Hateruma, tidak sampai berjarak enam kilometer dengan mobil dari lembaga permasyarakatan Miyazaki, tempat Furuya Satoru dikurung. Motel itu menerima bisnis yang lumayan dari keluarga para tahanan, termasuk aliran yang lumayan aneh dari para istri mereka yang berasal dari luar negeri. Rata-rata sekitar dua puluh tahanan laki-laki yang dijatuhi hukuman mati menikah dengan para perempuan Eropa yang tidak pernah bisa mereka sentuh secara fisik. Setiap pernikahan itu tidak diakui secara resmi oleh negara, namun bagaimana pun para pasangan itu menganggap diri mereka menikah dan membawa status itu hingga ke tingkat tertinggi yang memungkinkan. Para istri itu saling berkorespondensi dan sering bepergian bersama ke Kanto untuk menjenguk suami mereka. Dan mereka menginap di morel yang sama. Empat di antaranya tengah makan di meja dekat keluarga Satoru kemarin malam. Mereka biasanya mudah dikenali, dengan dandanan norak. Mereka memang suka mencari perhatian. Di kampung halaman mereka dianggap selebriti minor. Furuya Satoru semula sudah menolak seluru tawaran menikah itu. Menjelang hari-hari terakhirnya, dia menolak setiap tawaran penulisan buku, permintaan wawancara, lamaran pernikahan, dan kesempatan tampil di Najwa—Menggebrak Keras! Dia pun menolak bertemu dengan pendeta penjara dan pendetanya sendiri, Pendete Jun Matsumoto. Furuya Satoru sudah tidak percaya lagi dengan agama. Dia sudah tidak ingin menjadi bagian dari Tuhan yang sama, yang dipuja-puja dengan penuh takzim oleh Umat Kristen yang taat dan yang bersikeras membunuhnya. Minami Satoru terbangun dalam gelap ruang kamar 109. Masa tidurnya relatif sedikit selama beberapa bulan terakhir ini, hingga saat ini rasa letih dianggap sebagai sesuatu hal yang generik. Dokter telah memberikannya beberapa pil, namun itu justru membumerang dan membuatnya semakin gelisah. Kamar itu terasa hangat dan dia menyibakkan selimur. Anak perempuannya, Akame, tidur di ranjang yang satunya lagi, hanya beberapa pangkal jauhnya dari ranjang Minami Satoru, dan dia terlihat tertidur pulas. Sedang anak laki-lakinya tidur di ruangan sebelah. Salah satu peraturan penjara ialah memperbolehkan mereeeka untuk mengunjungi Furuya Satoru dari jam delapan pagi sampai tengah hari pada hari terakhirnya. Usai perpisahan terakhir mereka nanti, Furuya Satoru akan dipindahkan ke bilik kematian di Penjara Nagano. Pukul delapan pagi masih berjam-jam lagi. Jadwal itu sudah ditetapkan, seluruh aktivitas ditentukan oleh sistem yang terkenal efektivitasnya. Pada pukul lima, keluarga Satoru akan melapor di sebuah kantor kepenjaraan di Nagano, setelah itu berkendara sebentar dengan menggunakan van menuju bilik kematian; mereka akan dikawal ke dalam ruang saksi mata yang sempit, cuma beberapa detik sebelum suntikan mematikan itu diberikan. Mereka akan melihat Furuya Satoru di brankar, slang-slang telah dipasang di kedua lengannya, mendengarkan setiap pesan terakhirnya, menunggu kira-kira sekitar sepuluh menit-an untuk mendengarkan pernyataan resmi kematian, sesudah itu pergi dengan cepat. Dari sana, mereka akan berkendara menuju rumah pemakaman setempat untuk mengambil jenazah Furuya Satoru dan segera membawanya pulang. Apa mungkin ini hanyalah mimpi—mimpi yang buruk? Apakah dirinya benar-benar di sana, terbangun dalam kegelapan dan membayangkan saat-saat terakhir anak laki-lakinya? Tentu saja. Dia telah menjalani mimpi buruk itu selama sembilan tahun sekarang, sejak hari itu dia telah diberitahu bahwa Furuya Satoru bukan saja ditangkap, namun juga mengaku. Mimpi buruk itu adalah injil sesudah Kitab Suci-nya, setiap bab menceritakan tragedi lain, setiap halaman penuh dengan kesedihan dan keterpanaan. Akame berguling, ranjang murahan itu berdecit dan berderak. Lalu dia menenang dan bernapas berat. Bagi Minami Satoru, satu ketakutan selalu digantikan oleh yang berikutnya: keterkejutan yang melumpuhkan ketika melihat anak laki-lakinya di penjara untuk pertama kali, dalam baju terusan oranye, matanya liar dan ketakutan; rasa ngilu di perutnya ketika dia memikirkan Furuya di penjara terkurung dan terkucil dari keluarganya dan dikelilingi para penjahat; harapan agar mendapatkan persidangan yang adil, namun nyatanya dikagetkan saat menyadari kalau persidangan tersebut justru jauh dari adil; ratap tangisnya yang keras dan tidak terkendali saat hukuman mati itu dijatuhkan; bayangan akhir anak laki-lakinya saat dituntun keluar ruang sidang oleh setiap deputi yang begitu sombong dalam pekerjaan mereka; banyak pengajuan banding yang tidak ada habisnya dan menutup harapan yang semakin memupus; banyak kunjungan ke penjara yang tidak terhitung jumlahnya, di mana dia dia melihat seorang pemuda bugar dan kuat perlahan-lahan mulai rusak. Dia kehilangan banyak teman selama waktu itu dan dia benar-benar tidak peduli. Beberapa ada yang merasa ragu tentang ketidakbersalahannya Furuya Satoru. Beberapa juga menjadi jengah sebab pembicaraan tentang anak laki-lakinya yang tidak ada habisnya. Namun dia terobsesi dan tidak mampu memikirkan hal yang lain. Gimana mungkin mereka bisa memahami perasaan yang harus ditanggung seorang ibu? Sedang mimpi buruk itu tidak juga berhenti-berhenti. Tidak pada hari ini, saat Kanto akhirnya mengeksekusi Furuya Satoru. Tidak minggu depan, saat dia menguburkan mayat Furuya Satoru. Tidak pada suatu titik di masa depan, saat kebenaran akhirnya diketahui, jika hal itu akan terjadi. Setiap kengerian itu semakin bertambah, dan ada hari-hari saat Minami Satoru meragukan kemampuannya sendiri untuk turun dari ranjang. Dia begitu lelah kalau terus-menerus harus berpura tegar. “Kau masih belum bisa tidur, Ma?” “Belum, Sayang.” “Apa kau sudah sempat tidur sejenak?” “Tidak, aku rasa tidak. Aku masih belum bisa tidur sama sekali.” Akame menyibakkan selimutnya dengan kedua kakinya dan meregangkan kedua kaki. Kamar itu terlewat gelap, tanpa cahaya sedikit pun dari luar. “Saat ini masih jam setengah lima pagi, Mama.” “Aku tidak bisa melihat jam.” “Jam tanganku menyala dalam gelap.” Akame termasuk satu-satunya anak dalam keluarga Satoru yang memiliki gelar sarjana. Dia mengajar di taman kanak-kanak di sebuah kota dekat Kanto. Dia memiliki suami dan ingin berada di rumahnya sendiri, di ranjangnya, jauh dari rumah orang tuanya. Dia memejamkan mata sebagai usaha untuk melanjutkan tidur, namun hanya berhasil beberapa detik saja, sebelum dia membuka mata lagi dan menatap langit-langit kamar. “Ma, aku harus memberitahumu sesuatu.” “Apa itu, Sayang?” “Aku tidak pernah memberitahu siapa pun tentang ini sebelumnya, dan aku tidak akan pernah melakukannya. Jujur, aku sudah menanggung beban ini sejak lama sekali, dan aku ingin kau adalah orang yang tahu tentang ini sebelum mereka membawa Furuya Satoru.” “Baiklah, apa itu, Sayang? Aku dengarkan.” “Untuk beberapa saat lamanya, sesudah persidangan dan setelah mereka membawanya pergi, aku menjadi skeptis dengan ceritanya…” “Apa itu skeptis, Sayang?” “Aku menjadi ragu, Ma. Aku rasa aku hanya mencari alasan untuk meragukan dirinya. Apa yang mereka katakan, menurutku rasanya memang masuk akal…” Minami Satoru mulai sedikit memicingkan matanya, pendapat anaknya itu membuat dia semakin melupakan bahwa dia masih belum tidur sama sekali. “Aku bisa melihat Furuya berpacaran secara diam-diam dengan gadis itu, dia khawatir ketahuan, dan aku bisa melihat gadis itu juga berupaya memutuskan hubungan, sementara Furuya menolaknya. Kemungkinan dia mengendap-endap keluar rumah ketika malam itu, tepatnya saat aku sedang tertidur. Dan saat aku mendengar pengakuannya di persidangan, aku mau tidak mau harus mengakui kalah pengakuannya itu membuatku cemas. Mereka tidak pernah menemukan mayat gadis itu, dan jika Furuya melemparkannya ke sungai, kemungkinan itu sebabnya mereka masih belum bisa menemukannya hingga sekarang. Aku berusaha memahami segala sesuatu yang terjadi secara objektif. Aku ingin mempercayai bahwa sistem pengadilan tidak sepenuhnya rusak. Pun aku meyakinkan diriku sendiri kalau Furuya kemungkinan juga bersalah, kalau mereka mungkin menangkap pelaku yang benar. Aku menulis padanya, terus berkunjung ke sana untuk menjenguknya dan lain-lain, namun dalam hati aku yakin dia memang bersalah. Untuk sementara waktu, hal itu membuat aku merasa lebih baik, dengan cara yang aneh. Ini berlanjut selama berbulan-bulan, mungkin satu tahun.” “Apa yang mengubah pendapatmu?” “Eijun. Kau ingatkan waktu itu, saat kita pergi ke Nagasaki untuk mendengarkan persidangan banding secara langsung itu?” “Tentu, aku ingat.” “Itu kira-kira sekitar satu tahun lebih sesudah persidangan.” “Aku juga hadir di sana, Sayang.” “Kita duduk di ruang sidang yang besar itu, sam-sama memandangi sembilan hakim yang semuanya kulit putih, segalanya terlihat begitu penting dengan balutan jubah hita mereka, sedang di seberang ruangan duduk keluarga Stefa dan ibunya yang bermulut besar, dan Eijun sendiri sedang berdiri berdebat untuk kita. Dia sangat bagus. Dia menjelaskan jalannya persidangan dan menunjukkan betapa lemah buktik-bukti perkara yang ada. Dia mencemooh jaksa penuntut dan hakim. Dia tidak takut apa pun. Dia menyerang dengan gencar soal pengakuan itu. Dan dia melemparkan fakta—pertama kalinya—bahwa polisi tidak memberitahu dia tentang penelepon tanpa nama itu, yang mengatakan bahwa pelakunya adalah Furuya. Itu benar-benar mengagetkan diriku. Bagaimana polisi dan jaksa penuntut bisa menahan bukti seperti itu? Namun persidangan tetap tidak menghiraukan itu. Aku ingat bahwa Robert Eijun berdebat dengan sangat serius, hingga saat itu aku tersadar bahwa dia, si pengacara itu, orang kulit putih dari wilayah kota yang kaya, tidak memiliki keraguan sedikit pun kalau kakakku tidak bersalah Sedang aku langsung mempercayainya saat itu juga, dan di tempat itu. Aku merasa sangat malu karena telah meragukan kakakku sendiri.” “Tidak apa-apa, Sayang.” “Tolong jangan katakan hal ini pada siapa pun, Ma.” “Tidak akan pernah. Kau tahu kalau kau bisa mempercayai ibumu.” Mereka duduk dan pindah ke tepi ranjang masing-masing, melipat tangan, dahi-dahi mereka bersentuhan. Akame mengatakan, “Kau ingin menangis atau berdoa?” “Kita bisa berdoa nanti, namun kita tidak bisa menangis nanti.” “Benar. Kalau begitu ayo kita menangis sepuas hati sekarang.”
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN