LALU-LINTAS menjelang fajar sedikit lebih ramai saat mereka mendekati Kota Oklahoma. Kening Harry menempel di kaca jendela di sisi penumpang, mulutnya menganga dab berliur mengibakan. Tidur siangnya sudah masuk jam kedua, dan Ivan merasa senang dengan ketenangan itu. Dia sempat berhenti sejenak di dekat sebuah kedai sebelum dia melewati kota, dia membeli secangkir kopi, minuman memuakkan yang mengucur dari mesin yang dalam kondisi normal pasti akan langsung dibuangnya ke selokan. Namun, meski kopi tersebut mengalami defisit dalam hal cita rasa, kafeinnya sangat ampuh, dan Ivan langsung merasa segar dan bersemangat, dia merasakan denyutan di kepalanya, kali ini spidometernya persis ada di angka lima puluh kilometer per jam di atas batas kecepatan.
Harry Kazuya meminta satu botol bir di pemberhentian terakhir. Ivan menolak dan membelikan Harry satu botol air. Dia menemukan sebuah stasiun radio dan mendengarkannya dengan volume yang tidak terlalu keras. Pada pukul 05.30, dia menghubungi istrinya, tapi Kiki tidak banyak bicara. Di selatan Kota Oklahoma, Harry Kazuya tersentak dari tidurnya dan mengatakan, “Aku rasa aku ketiduran.”
“Iya, benar. Kau barusan tertidur.”
“Pendeta, beberapa obat yang aku minum ini membuatku kebelet pipis terus. Boleh kita mampir sebentar di rest area?”
“Tentu saja,” jawab Ivan. Apa lagi yang bisa dikatakannya selain itu? Dia melirik sekilas ke arah jam. Mereka akan keluar dari jalan bebas hambatan di suatu tempat di utara Denton, dan mengarah ke timur melalui jalanan dua arah.
Mereka berhenti lagi untuk membeli kopi dan air untuk kesekian kali. Harry Kazuya telah berhasil menghabiskan dua batang rokok, menyedot dan mengembus dengan cepat, seolah-olah dia menganggap bahwa itu adalah kesempatan merokoknya yang terakhir, sedang Ivan dengan cepat mengisi bensin di pom. Sekitar lima belas menit berselang, mereka sudah kembali ke jalanan dan melaju dengan cepat ke arah selatan melewati daratan rata Oklahoma.
Sebagai hamba Tuhan, Ivan merasa wajib untuk paling tidak mencari tahu tentang iman. Dia memulai dengan sedikit mencoba-coba, “Kau tadi telah menceritakan masa kecilmu, Harry, dan kita tidak perlu membicarakan itu lagi. Omong-omong, aku cuma ingin tahu, apa kau pernah diajak ke gereja atau mendengarkan khotbah pendeta ketika masih kecil dulu?”
Cedutan itu datang lagi. Begitu juga perenungannya. “Tidak,” sahut Harry, dan untuk sejenak kelihatannya hanya itu jawabannya. Lalu, “Aku tidak pernah melihat ibuku pergi ke gereja. Sanak saudaranya tidak banyak. Aku rasa mereka malu terhadap dirinya, jadi mereka menjauh. Kenicihi jelas tidak tertarik dengan gereja. Paman Moka musti dicekoki agama banyak-banyak, namun aku yakin dia telah di neraka saat ini.”
Ivan mendapati sebuah peluang. “Jadi kau percaya pada neraka?”
“Aku rasa, ya. Aku percaya kita semua pergi ke suatu tempat sesudah kita mati, dan aku tidak bisa membayangkan kau dan aku pergi ke tempat yang sama. Bisak tidak kau, Pendeta? Maksud aku begini, aku sudah menghabiskan sebagian besar hidupku di penjara, dan percayalah, ada beberapa tipe manusia tertentu yang tidak bisa dibilang manusia seutuhnya. Orang-orang ini dilahirkan keji. Mereka kejam, sadis, tak berjiwa, orang-orang gila yang tidak bisa ditolong. Kalau mereka mati, mereka akan pergi ke suatu tempat yang buruk.”
Ironi itu hampir menggelitik. Seorang pembunuh yang mengaku, juga p*******a kambuhan, mengutuk sesamanya yang jahat.
“Di rumahmu apakah ada Kitab Suci?” tanya Ivan yang berusaha mengilah dari topik mengenai kejahatan-kejahatan sadis.
“Tidak pernah ada satu pun. Tidak pernah ada buku intinya. Aku dibesarkan dengan p********i, Pendeta, disendokkan ke mulutku oleh Paman Moka dan disimpan di bawah ranjang Kenichi. Hanya sampai situlah pengalaman membacaku ketika di masa kecil dulu.”
“Apa kau percaya Tuhan, Harry?”
“Gini, Pendeta.., aku tidak mau bicara soal Tuhan Yesus, pertaubatan, dan lain sebagainya. Aku sudah mendengar semua itu selama aku di penjara. Banyak orang yang malah menjadi sangat kacau saat dihukum kurungan dan mulai mendekap erat-erat Kitab Suci. Aku rasa beberapa dari mereka memang berniat, tapi itu pun terdengar bagus di sidang-sidang pembebasan bersyarat. Aku hanya tidak percaya saja.”
“”Apa kau siap menghadapi kematian, Harry?”
Senyap sebentar. “Gini, Pendeta, usiaku empat puluh tujuh tahun, dan hidupku sudah sekacau seperti tabrakan besar kereta api. Aku jengah hidup di penjara. Aku sudah bosan hidup dengan dipenuhi perasaan bersalah atas apa yang selama ini telah aku lakukan. Aku bosan mendengar suara mengibakan orang-orang yang aku lukai. Aku sudah bosan dengan semua hal sialan itu, Pendeta, jelas, kan? Sori untuk bahasanya. Aku bosan terus-menerus menjadi pecundang yang hidup di tepi batas masyarakat. Aku benar-benar bosan dengan itu semua. Aku tidak bangga dengan tumorku, oke? Sulit dipercaya, namun saat tumor itu tidak sedang berusaha meretakkan tengkorak kepalaku, aku rasanya sedikit menyukai benda terkutuk itu. Dia memberitahuku apa yang akan terjadi kemudian. Hari-hari telah dihitung, dan aku tidak keberatan. Aku tidak akan melukai orang lain. Tidak satu orang pun akan merindukanku, Pendeta. Tidak satu orang pun. Seandainya aku tidak punya tumor, aku akan meneguk satu botol pil dan vidka dan mengapung selamanya. Mungkin akan aku lakukan itu.”
Percuma saja berusaha keras berbicara dari hati ke hati tentang iman. Enam belas kilo berlalu sebelum Ivan berkata, “Apa yang kau bicarakan, Harry?”
“Tidak ada. Aku hanya ingin duduk di sini, melihat jalanan dan tidak memikirkan apa pun.”
“Menurutku itu terdengar bagus. Apa kau lapar?”
“Tidak, terima kasih.”