Gubernur melangkah maju dan menekan tombol untuk mematikan televisi. “Nah, hanya itu yang harus aku lihat. Mari kita pergi.” Mereka bertiga meluruskan dari, membuka gulungan lengan kemeja, mengenakan jas, dan berjalan ke arah luar ruangan. Di selasar, mereka bertemu seorang petugas keamanan, yang telah dipersiapkan untuk kesempatan itu. Mereka menuruni telundakan hingga ke jalanan dan berjalan cepat menuju Gerung Kapitol. Mereka menunggu, tidak terlihat oleh kerumunan massa, hingga Pendeta Isao Inaba menyelesaikan pidatonya yang panas. Kerumunan massa bersorak ramai saat dia menutup pidatonya dengan bersumpah untuk membalas dendam. Saat Gubernur mereka tiba-tiba muncul di podium, suasana hati orang-orang itu langsung berubah. Sejenak, mereka yang hadir menjadi bingung, namun saat mereka mendengar kata-kata “Saya Iwata Takanori, Gubernur Kanto,” mereka mencemoohnya dengan seruan “huuuu” yang sangat kompak.
Iwata berteriak balik, “Terima kasih atas kehadiran kalian di sini untuk mengekspresikan hak berkumpul bersama seperti yang tercetus dalam Amandemen Pertama. Tuhan memberkati Jepang.” Huuu yang bahkan lebih keras. “Negara kita adalah negara Asia yang paling maju, sebab, kita mencintai demokrasi, sistem terbaik di seluruh dunia.” Huuu keras untuk demokrasi. “Kalian telah berkumpul di sini karena kalian percaya kalau Furuya Satoru tidak bersalah. Nah, saya di sini untuk mengatakan pada kalian kalau dia bersalah. Dia telah dinyatakan bersalah dalam sebuah persidangan yang adil. Dia memiliki pengacara yang bagus. Dia sendiri mengaku sudah melakukan kejahatan itu.” Seruan huuu, siulan dan teriakan marah sekarang melebur dalam satu sorakan, dan Iwata Takanori terpaksa berteriak sekencang-kencangnya ke dalam mikrofon. “Kasusnya telah diperiksa oleh lusinan hakim yang duduk di lima pengadilan berbeda, dan setiap keputusan yang menentang dirinya diambil secara bulat.”
Saat teriakan dan seruan itu menjadi terlalu keras untuk melanjutkan pidatonya, Iwata berdiri dan menyeringai angkuh pada kerumunan massa tersebut. Seorang Gubernur yang berkuas, di hadapan mereka yang tidak mempunyai sedikit pun. Dia mengangguk, mengakui kebencian mereka terhadap dirinya. Saat kebisingan itu sedikit mereda, dia mencondong maju ke mikrofon, dan dengan gaya sedramatis mungkin dan kesadaran penuh kalau apa yang mau dikatakannya akan tersiar di setiap berita sore dan malam di Kanto, mengatakan, “Saya menolak memberikan penangguhan kepada Furuya Satoru. Dia monster. Dan dia bersalah.”
Kerumunan massa itu kembali berseru keras dan mendesak maju. Iwata melambaikan tangan, memberi hormat ke arah setiap kamera, dan kemudian perlahan melangkah mundur. Dia langsung dikerumuni para petugas keamanannya dan digiring pergi menuju tempat aman. Waka Shohei dan Chiba mengekornya, tidak satu orang pun mamu menahan senyuman. Gubernur mereka baru saja melakukan aksi teatrikal yang indah, yang tidak diragukan lagi akan memenangkan setiap pemilihan sejak saat itu.
***
Santapan terakhir, perjalanan terakhir, pernyataan terakhir, Furuya tidak pernah mampu memahami makna penting dari detail terakhir ini. Buat apa repot dengan apa yang dimakan seseorang sebelum meninggal? Toh makanan itu tidak akan memberi penghiburan, atau menguatkan tubuh, atau menunda hal yang tidak terhindarkan itu. Makanan itu, berikut keseluruhan organ tubuhnya akan lekas hancur lebur. Jadi, apa gunanya makanan itu? Sesudah mencekoki seseorang dengan bubur selama bertahun-tahun, buat apa memanjakan dirinya dengan sesuatu yang mungkin dinikmatinya persis sebelum dirinya dibunuh?
Dia samar-samar teringat hari-hari awal sesudah dirinya dijatuhi hukuman mati, dan perasaan ngerinya tentang apa yang harus dimakannya. Dia telah dibesaran oleh peremuan yang menghargai dan menikmati dapur, dan meskipun Minami Satoru begitu banyak menaruh kepercayaan pada minyak dan tepung, dia pun menanam sayur-mayurnya sendiri dan selalu berhati-hati dengan setiap makanan kalengan. Dia senang menggunakan bahan rempah, bumbu, dan merica. Daging ayam dan sapinya selalu dibumbui hingga meresap. Daging pertama yang dicicipi Furuya di penjara ialah sepotong daging babi yang mencurigakan, dan benar-benar tidak berasa. Dia kehilangan selera makan pada minggu pertama itu dan tidak pernah mendapatkannya lagi.
Saat ini, di babak terakhir, dirinya diharapkan memesan santapan mewah dan harus bersyukur atas kemurahan hati terakhir ini, Meski konyol, sebagian besar tahanan yang dijatuhi hukuman mati memikirkan santapan terakhir mereka dengan serius. Karena tidak ada hal lain yang bisa mereka pikirkan. Furuya telah memutuskan beberapa hari sebelumnya kalau dia tidak mau diberi makanan yang bahkan mirip dengan masakan ibunya dulu. Jadi, dia memesan satu piring piza dan segelas root beer. Makanan itu munculpada pukul empat sore, didorong masuk ke dalam ruangan sel oleh dua orang penjaga dan dihidangka di baki. Furuya Satoru tidak mengatakan apa pun sementara mereka keluar. Dia telah tidur sepanjang sore, menunggu piza-nya, menunggu pengacaranya. Menunggu mukjizat, meski menjelang jam empat sore, dia menyerah.
Di selasar, tidak jauh dari balik jeruji, para penontonnya mengawasi tanpa mengatakan apa pun. Seorang penjaga, seorang pejabat penjaram dan pendeta penjara yang dua kali berupaya berbicara dengannya. Dua kali Furuya Satoru menolak tawaran mereka mengawasinya begitu cermat, namun menduga itu untuk mencegah bunuh diri. Bagaimana mungkin dia membunuh dirinya sendiri tidak jelas, tidak dalam sel sementara ini. Jika Furuya Satoru bisa bunuh diri, dia pasti telah melakukannya beberapa bulan yang lalu. Dan saat ini dia berharap untuk melakukannya. Riwayatnya pasti tamat saat itu juga, sehingga ibunya tidak perlu menyaksikan kematiannya.
Bagi lidah yang telah ternetralisir oleh roti putih tanpa rasa, saus apel tawar, dan “daging-daging misterius” yang tidak ada habisnya, piza itu herannya cukup enak. Dia menyantapnya lamat-lamat.
Salah seorang penjaga penjara menghampiri sel Furuya dan bertanya, “Bagaimana piza-nya, Furuya?”
Furuya tidak memandang sipir itu. “Lumayan bagi orang Jepang,” jawabnya lirih
“Kau butuh yang lain? Katakan saja padaku.”
Furuya Satoru menggeleng. “Aku butuh banyak hal, Bung, namun tidak satu pun yang bisa kau berikan. Dan jika seandainya bisa pun, kau tidak akan melakukannya. Tinggalkan aku saat ini.”
“Aku rasa pengacaramu tengah dalam perjalanan ke sini.”
Furuya Satoru mengangguk takzim, tanpa mengindahkan penjaga penjara itu lagi, dia mengais satu potongan piza lagi.